Tokoh

Mengenang KH Ahmad Djuz’an, Perintis Awal Kajian Tafsir Jalalain di Juwiring Klaten

Selasa, 1 Oktober 2024 | 19:00 WIB

Mengenang KH Ahmad Djuz’an, Perintis Awal Kajian Tafsir Jalalain di Juwiring Klaten

(Foto: Dok. Istimewa)

Klaten, NU Online Jateng

KH Ahmad Djuz’an dikenal sebagai pendiri Pesantren Al Fattah Kemiri, Tlogorandu, Juwiring, Klaten. Ia wafat di usia 54 tahun pada hari Jum’at (25/10/2019) silam, atau bertepatan dengan tanggal 26 Syafar 1411 Hijriah. 


Semasa hidup, dalam keadaan sakit yang dideritanya Kiai Ahmad Djuz’an tetap menjalankan dakwah dengan mengajar santri-santrinya di Pesantren Al Fattah Kemiri. Selain itu, ia juga mengampu kajian kitab Tafsir Jalalain pada rutinan Ahad pagi yang dikelola oleh Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU) Kecamatan Juwiring disamping berdakwah di lingkungan masyarakat.


Sepeninggalnya ‘Almaghfurlah KH Ahmad Djuz’an’, masyarakat Juwiring kehilangan sosok guru, orang tua, dan panutan yang disegani oleh berbagai kalangan khususnya dilingkungan warga Nahdliyin Kecamatan Juwiring. 


Duka mendalam dirasakan oleh keluarga besar Pesantren Al Fattah, terutama para santri yang tanpa mengenal waktu telah dididik, ditempa dan dibimbing oleh Kiai Ahmad Djuz’an.


Yamdi Aryadi, salah seorang santri yang dikenal dekat dengan Kiai Ahmad Djuz’an menceritakan bahwa semasa hidupnya, Kiai Ahmad merupakan seorang sosok yang ramah dan mengayomi.


“Dalam keseharian Kiai Ahmad dikenal sebagai sosok yang ramah dan mengayomi baik kepada keluarga, santri, jami’iyah dan jama’ah. Pintu rumahnya setiap saat terbuka lebar untuk silaturahmi,  konsultasi perihal keagamaan atau pun permasalahan yang lain. Penyampaiannya dalam berdakwah mudah diterima dan menyentuh hati,” jelasnya.  


Khidmah KH Ahmad Djuz’an di Nahdlatul Ulama (NU) ditandai dengan terbentuknya majelis ahad pagi kajian Tafsir Jalalain di lingkungan Majelis Wakil Cabang Nahdlatul Ulama (MWCNU) Juwiring. 


“Berbekal istiqomah hingga akhirnya berubah menjadi sebuah majelis dengan jama’ah yang begitu besar sebagai wadah konsolidasi warga Nahdliyin,” tutur Aryadi. 


Hal senada juga disampaikan Agnes Ika Damayanti, santriwati Ponpes Al-Fattah yang kini menjadi mahasiswa program studi Ilmu Al Qur’an dan Tafsir di UIN Salatiga. Ia merasa terkesan dengan metode dakwah bilhaal dan cara penyampaian Kiai Ahmad yang mudah dimengerti dan dipahami.


“Menurut saya wejangan dan pesan Kiai Ahmad yang tetap membekas ialah nasehat untuk terus menimba ilmu selagi muda ibarat mengukir pada sebuat batu yang menginspirasi untuk tetap bersemangat melanjutkan nyantri menghapal Al-Qur’an. Selain metode dakwah yang sederhana dengan contoh-contoh nyata dalam kehidupan bermasyarakat,” katanya. 

                                
Sementara itu, santri generasi awal Kajian Kitab Tafsir Jalalain, Iskhaq Bashori mengatakan bahwasanya KH Ahmad Djuz’an ialah seorang ulama dengan penyampaian tausyiah yang mudah dimengerti, dipahami, dan membawa kesejukan. 


“Awal mula majelis Ahad pagi Tafsir Jalalain hanya beranggotakan 18 orang pada 20 Syawal 1419 H atau 7 Februari tahun 1999. Karena keistiqomahan dan penyampian Kiai Ahmad dengan bahasa yang sederhana sehingga mudah dimengerti serta membawa kesejukan rohani bagi jama’ah, akhirnya dengan mudah cepat berkembang untuk selanjutnya dibawah pengelolaan LDNU Juwiring pelaksanaannya bergilir ke setiap ranting NU,” pungkasnya.