• logo nu online
Home Warta Nasional Keislaman Regional Opini Kiai NU Menjawab Dinamika Taushiyah Obituari Fragmen Tokoh Sosok Mitra
Minggu, 5 Mei 2024

Regional

Selamat dari Perang Suriah, Mufassir Muda NU Ungkap Pola Tebar Isu Kaum Radikal

Selamat dari Perang Suriah, Mufassir Muda NU Ungkap Pola Tebar Isu Kaum Radikal
Muhammad Najih Arromadloni AH saat memaparkan materi anti radikalisme di aula Kecamatan Pedurungan, Kota Semarang (Foto: NU Online Jateng/Rifqi)
Muhammad Najih Arromadloni AH saat memaparkan materi anti radikalisme di aula Kecamatan Pedurungan, Kota Semarang (Foto: NU Online Jateng/Rifqi)

Semarang, NU Online Jateng

Suriah, merupakan sebuah negara yang indah, Makmur, dan damai lengkap dengan segala perbedaan agama. Dulu, Suriah menjadi pusat peradaban agama-agama. Lingkungan yang damai ini sering memberikan inspirasi sehingga banyak penyair besar lahir karena lingkungan yang damai seperti Kahlil Gibran.

 

"Negaranya sosialis, tidak terlalu kaya tapi makmur, pendidikan gratis, kesehatan gratis, dan masyarakatnya dermawan, senang bersedekah," kata pendiri Muhammad Najih Arromadloni, Pendiri Center of Research for Islamic Studies Foundation (CRIS Foundation) yang merupakan sebuah yayasan yang berorientasi pada bidang penelitian.

 

Gus Najih, sapaan akrabnya menerangkan hal itu saat memberikan pembekalan anti radikalisme, suku, agama, ras, antarentik dan golongan (SARA), dan cyber hoax yang digelar Gerakan Masyarakat Anti Radikalisme, Intoleranisme, dan SARA (Gema Rasa) di Aula Kecamatan Pedurungan, Kota Semarang, Sabtu (5/6).

 

"Dulu sangat harmonis, berabad-abad masyarakat di sini (Suriah) hidup dengan harmonis, tidak ada gab sama sekali, dari segi kesejahteraannya dulu negara yang tidak punya hutang, saya termasuk yang dapat beasiswa belajar. Ini dulu sebelum perang," kata santri yang telah berhasil menamatkan hafalan Al-Qur'an 30 Juz ini melanjutkan.

 

Dalam kesempatan itu, Gus Najih juga mengungkapkan pola yang disebarkan oleh para pelaku radikal-teror, yakni selalu menggunakan sesuatu yang paling dibenci masyarakat sebagai isu. "Isu yang digunakan untuk menggulingkan pemerintah adalah hasil pemerintah. Syiah dijadikan isu karena paling dibenci, di Indonesia Partai Komunis Indonesia (PKI) dijadikan isu karena masyarakat punya sejarah dan trauma dengan PKI," ujarnya.

 

Mereka dengan lantang menuding presiden maupun ulama yang sebenarnya sebagai antek komunis. Bahkan, untuk mendukung agenda politik tersebut, para pelaku teror juga tidak segan melakukan fitnah dengan pelabelan buruk terhadap ulama. Dia sebut contoh Prof KH Quraish Syihab, KH Musthofa Bisri (Gus Mus) dituduh liberal, Prof KH Said Aqil Siraj dituduh Syiah, dan Habib Muhammad Luthfi bin Yahya tokoh Sufi dunia asal Pekalongan dituduh penjilat kekuasaan.

 

Dengan pelabelan tersebut lanjut dia, masyarakat diharap tidak percaya terhadap ulama yang sebenarnya. "Padahal Prof Quraish Shihab ini seorang habib, masih keturunan Rasulullah, ketika beliau menerangkan tafsir Al-Qur'an masyaallah, begitu dalam tapi dilabeli liberal dan sesat, " terangnya.

 

Untuk menarik minat masyarakat, mereka menciptakan ulama jadi-jadian. Cover majalah berubah diisi ustadz yang tidak jelas kapasitas ilmu agamanya. Umumnya berlatar belakang artis, mantan penyanyi, motivator, dan sejenisnya. "Masyarakat harus kritis, harus paham mana ulama yang sebenarnya, dan ulama jadi-jadian," tegasnya.

 

Negara-negara Timur Tengah yang demikian indah sambungnya, menjadi hancur tak berbentuk oleh peristiwa yang disebut Arab Springs. Suriah termasuk yang terkena gelombang Arab Spring, sampai terjadi demonstrasi di mana-mana dan berujung pada penggulingan kekuasaan.

 

"Ini demonstrasi yang terjadi pertama. Demonstrasi gaya baru, dengan simbol bendera yang aneh-aneh seperti bendera tauhid dengan mengusung isu agama. Di era itu demonstrasi dilakukan di masjid, biasanya demo itu di kantor pemerintahan," ingatnya.

 

Mufassir muda Nahdlatul Ulama (NU) yang kini berada di jajaran Pengurus Pusat Majelis Ulama Indonesia (MUI) ini bersyukur selamat dari perang Suriah yang terjadi akibat arus Arab Springs. Meski demikian, ia sangat sedih lantaran kehilangan banyak guru tafsir Al-Qur'an dan hadits, salah satunya Syekh Muhammad Adnan Al-Afyouni.

 

Ia lantas mengungkapkan salah satu peristiwa bom saat pengajian tafsir di masjid. Seseorang yang tidak dikenal tiba-tiba berjalan ke arah Sang Mufti yang tengah mengajar. Pria yang tidak jelas tersebut lantas meledakkan diri setelah berjarak sekira 6 meter dari mimbar. "Peristiwa itu menewaskan teman-teman saya dan guru saya. Seandainya saat itu saya masih berada di sana, tentu saya juga ikut jadi korban," tuturnya.

 

Kepada para peserta yang umumnya awam dunia keislaman, Gus Najih mengingatkan bahwa para pelaku aksi teror yang beragama Islam pada umumnya menganut ajaran Wahabi, apa pun bendera dan faksinya. Disebut di antaranya Jamaah Anshorud Daulah (JAD), Islamic State of Iraq and Syiria (ISIS) atau Islamic State (IS), Al-Qaeda, dan sebagainya. Di Indonesia, pada umumnya berjejaring dari Surakarta atau Solo.

 

"Semua pelaku teror yang tertangkap berjejaring dari Solo," ungkapnya.

 

Menurutnya, ideologi Wahabi mampu mendoktrin berbagai lapisan masyarakat, baik akademisi sekaliber profesor dan guru besar Pancasila, praktisi, bahkan tentara sekalipun. Teroris juga tidak pernah memilih korban. Mereka bisa meledakkan bom di masjid, gereja, mall, atau tempat umum lain.

 

Ia lantas mengingatkan penyimpangan ajaran agama dengan klaim Bendera Rasullullah. Sepanjang sejarah Islam, kata Gus Najih, tidak pernah dikenal istilah Bendera Rasulullah. Ironisnya, mereka yang menggunakan bendera bertuliskan kalimat tauhid satu sama lain saling membunuh.

 

"Karena memang nafsu kekuasaan yang dilabeli agama, bukan ajaran agama," bebernya menegaskan.

 

Kegiatan yang dilaksanakan dengan protokol kesehatan ketat, lengkap dengan layanan rapid antigen bagi peserta dan tamu undangan ini juga menghadirkan Reserse Kriminal Khusus (Reskrimsus) Kepolisian Daerah (Polda) Jateng, Iptu Endro Prabowo yang memaparkan sebaran hoaks serta cara melakukan klarifikasi atau cek fakta.

 

Penulis: Ahmad Rifqi Hidayat

Editor: Ahmad Hanan


Regional Terbaru