Antropolog UGM: Masih Banyak Hal Unik dan Menarik yang Bisa Dikaji dari Al-Qur’an
Jumat, 11 Maret 2022 | 15:00 WIB
Sukoharjo, NU Online Jateng
Dalam proses pengkajian Al-Qur’an, khususnya dalam aspek interaksi manusia dengan kitab suci Al-Qur’an dan bukan lagi seputar teks, seorang peneliti membutuhkan teori dan pendekatan khusus.
"Teori yang selama ini berkembang dalam wacana tersebut sering dipahami dengan istilah Living Qur’an. Dalam upaya melihat fenomena Living Qur’an, seorang peneliti harus membekali diri dengan ragam paradigma," ujar Antropolog Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof Heddy Shri Ahimsa-Putra
Hal itu disampaikan pada acara seminar bertajuk New Trends on Qur’anic Studies yang diselenggarakan Program Studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir (IAT) Universitas Islam Negeri (UIN) Raden Mas Said (RMS) Surakarta, Rabu (9/3) lalu.
Menurut Heddy, ada beberapa paradigma yang bisa digunakan untuk melihat fenomena living Qur’an. Di antaranya paradigma evolusionisme, difusionisme, fungsionalisme, performing art, dan lain-lain. Dari beberapa paradigma yang disebutkan, ternyata banyak sekali isu yang dapat dikaji ke dalam satu penelitian yang memiliki banyak aspek kebaruan dalam pengkajian Qur’an.
“Dengan begitu, maka ke depan kajian-kajian Qur’an dapat semakin berkembang dan dapat merespons tantangan zaman,” jelas Guru Besar Guru Besar Antropologi Fakultas Ilmu Budaya UGM itu.
Selain itu, lanjut Heddy, selama ini para pengkaji Al-Qur’an, khususnya peneliti Muslim dalam memandang interaksi umat Islam dengan Al-Qur’an secara taken for granted, juga sesuatu yang biasa saja terjadi. Hal ini karena Al-Qur’an memang diyakini sebagai kitab suci dan sumber ajaran umat Islam.
“Padahal, jika diperhatikan ada banyak hal unik yang bisa dikaji dan sering kali menarik perhatian pengkaji Barat dari kalangan non-Muslim,” ungkapnya.
Pendekatan Sosiologis
Sementara itu narasumber lainnya, pakar sosiologi agama dari Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Universitas Sebelas Maret (UNS), Yuyun Sunesti menjelaskan tentang pentingnya melakukan kajian terhadap masyarakat dalam kaca mata sosiologis. Ia menjelaskan bahwa seorang peneliti harus mengambil jarak dengan objek yang diteliti, sehingga hasil kajiannya benar-benar objektif.
Yuyun juga menjelaskan seorang pengkaji gejala sosial, juga harus membedakan agama sebagai keyakinan, dengan agama sebagai gejala sosial. Hal itu penting karena sebagai penganut agama, selama ini kita pasti menganggap bahwa agama pasti benar.
"Sehingga terkadang kita tidak bisa menganalisis dengan memadai dalam sebuah penelitian yang kita lakukan,” papar Yuyun.
Kegiatan seminar yang diikuti oleh kurang lebih 100 peserta ini, dilaksanakan secara luring dan daring sekaligus. Turut hadir dalam kesempatan ini, para dosen dan mahasiswa IAT mengikuti kegiatan dengan cukup antusias.
Pengirim: Nur Rohman
Editor: Ajie Najmuddin
Terpopuler
1
Idul Adha Jatuh pada Hari Jumat, Apakah Masih Wajib Shalat Jumat?
2
Pemkab Pati Larang Sound Horeg, Ketua PCNU: Lebih Banyak Mafsadatnya
3
LAZISNU Purbalingga Salurkan Bantuan Sembako untuk Korban Tanah Bergerak di Karanganyar
4
Sosok Mbah Ijo, Jimat Kesetiaan NU Wonosobo
5
IKA PMII Pati Soroti Kenaikan PBB hingga 250 Persen, Desak Pemkab Jelaskan kepada Publik
6
Risma MAJT Genap 20 Tahun, Pengurus Baru Ditantang Dirikan Z-Coffee
Terkini
Lihat Semua