Pemkab Pati Larang Sound Horeg, Ketua PCNU: Lebih Banyak Mafsadatnya
Rabu, 28 Mei 2025 | 18:00 WIB
Pati, NU Online Jateng
Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Pati secara resmi melarang penggunaan sound horeg atau perangkat pengeras suara berkekuatan tinggi dalam berbagai acara masyarakat. Kebijakan ini dituangkan dalam Surat Edaran Bupati Pati Nomor Β/277/000.1.10 tentang Larangan Penggunaan Alat Pengeras Suara/Sound Horeg pada Kegiatan/Acara Keramaian.
Larangan tersebut diterbitkan dalam rangka menjaga ketenteraman dan ketertiban umum di wilayah Kabupaten Pati. Dalam surat edaran yang ditandatangani oleh Bupati Sudewo pada Ahad (25/5/2025) disebutkan bahwa setiap penyelenggaraan kegiatan masyarakat dilarang menggunakan sound horeg dengan intensitas suara lebih dari 60 desibel dan/atau yang dapat mengganggu lingkungan sekitar, membahayakan kesehatan, serta merusak konstruksi bangunan.
Fenomena penggunaan sound horeg yang kian marak di Kabupaten Pati, terutama dalam karnaval sedekah bumi dan kegiatan keramaian lainnya, menjadi perhatian pemerintah dan aparat kepolisian. Kepala Kepolisian Resor Kota (Kapolresta) Pati, AKBP Jaka Wahyudi, menyatakan pihaknya mendukung penuh kebijakan tersebut.
“Jika kegiatan yang menggunakan sound horeg masih nekat dilaksanakan, maka konsekuensi hukum akan menanti. Penegakan hukum tidak hanya berlaku untuk kegiatan di lokasi, namun juga di jalan raya,” tegas Kapolresta, Selasa (27/5/2025).
Tanggapan PCNU Pati
Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kabupaten Pati turut mendukung kebijakan Pemkab tersebut. Ketua Tanfidziyah PCNU Pati, KH Yusuf Hasyim, menilai penggunaan sound horeg lebih banyak menimbulkan mafsadat dibandingkan maslahat.
“Realita yang terjadi di lapangan, efek suara yang ditimbulkan sound horeg selain merusak lingkungan rumah, bangunan, dan fasilitas, juga membahayakan dari sisi kesehatan, terutama bagi para lansia, anak-anak kecil, dan juga ibu hamil,” ujarnya saat dikonfirmasi oleh NU Online Jateng, Rabu (28/5/2025).
KH Yusuf Hasyim juga menyoroti sisi pemborosan dari fenomena ini, karena untuk mendatangkan perangkat suara besar tersebut masyarakat harus mengeluarkan biaya hingga puluhan bahkan ratusan juta rupiah.
“Alangkah lebih baik dimanfaatkan untuk kegiatan sosial yang membantu masyarakat. Kalau ini justru banyak madharat-nya. Kalau kaidah fikih:
دَرْءُ الْمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْمَصَالِحِ
(Dar’ul mafasid muqaddamun ‘ala jalbil mashalih), menolak kerusakan lebih diutamakan daripada menarik kemaslahatan,” tandasnya.
Penulis: Angga Saputra
Terpopuler
1
Idul Adha Jatuh pada Hari Jumat, Apakah Masih Wajib Shalat Jumat?
2
Mikrofon Kemanusiaan: Kekuatan Media Menjadi Jembatan Kepedulian
3
Yuni Yusrotin, Anak Tukang Becak Asal Bojonegoro Raih Wisudawan Terbaik di UIN Walisongo Semarang
4
Semarang Zoo Tambah Tiga Koleksi Satwa Baru, Upaya Tingkatkan Daya Tarik dan Edukasi
5
IKA PMII Pati Soroti Kenaikan PBB hingga 250 Persen, Desak Pemkab Jelaskan kepada Publik
6
Risma MAJT Genap 20 Tahun, Pengurus Baru Ditantang Dirikan Z-Coffee
Terkini
Lihat Semua