• logo nu online
Home Warta Nasional Keislaman Regional Opini Kiai NU Menjawab Dinamika Taushiyah Obituari Fragmen Tokoh Sosok Mitra
Kamis, 28 Maret 2024

Opini

Sumber Hukum Islam yang Disepakati para Ulama

Sumber Hukum Islam yang Disepakati para Ulama
Foto: Ilustrasi (FathulGhofur.com)
Foto: Ilustrasi (FathulGhofur.com)

Al-Qur’an adalah kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Sedangkan hubungan al-Qur'an dengan ushul fiqih sangat erat dalam menentukan dasar untuk menentukan hukum Islam (Dalil utama fiqih). Selain Al-Qur’an sebagai sumber hukum Islam, juga terdapat hadits, ijma, dan juga qiyas. 

 

Hadits merupakan semua perbuatan, perkataan, ataupun ketetapan Nabi Muhammad. Sedangkan ijma merupakan sebuah kesepakatan bersama oleh para mujtahid Islam berupa perbuatan setelah sepeninggal Rasulullah. Qiyas adalah bentuk dalil hukum sistematis yang diambil dengan mengeluarkan suatu hukum yang serupa dari hukum yang telah ditetapkan oleh Al-Qur'an dan Sunnah.

 

Al-Qur’an mempunyai kedudukan dan fungsi yang sangat penting bagi umat Islam itu sendiri. Begitu juga dengan Hadits, Ijma’ dan Qiyas. Sebagai sumber hukum Islam setelah Al-Qur’an, Hadits, Ijma dan Qiyas memiliki kedudukan dan fungsi yang sangat penting bagi umat Islam.

 

Al-Qur'an

Al-Qur’an adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Muhammad dalam bahasa Arab yang berisi khitab Allah dan berfungsi sebagai pedoman bagi umat Islam. Fungsi Al-Qur’an adalah sebagai petunjuk bagi umat manusia. Menurut Ali Syari’ati, petunjuk yang terkandung dalam Al-Qur’an berupa tiga hal. 

 

Pertama, petunjuk yang berupa dokrin atau pengetahuan tentang struktur kenyataan dan posisi manusia di dalamnya, seperti: petunjuk moral dan hukum yang menjadi dasar syari’at.

 

Kedua, petunjuk yang terdapat dalam ringkasan sejarah manusia baik para raja, orang orang suci, nabi, kaum, dan sebagainya. 

 

Ketiga, petunjuk yang berupa mukjizat, yaitu kekuatan yang berbeda dengan apa yang dipelajari. Banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang mempunyai kekuatan lain, atau difugsikan lain oleh umat Islam. 

 

Berdasarkan periodisasi turunnya, maka kandungan umum Al-Qur’an dapat dikelompokkan ke dalam dua fase, yaitu Fase Makkah, yang bermula dari diangkatnya Muhammad menjadi Rasul hinga hijrahnya Rasul dan umat Islam ke Madinah. Wahyu yang turun berhubungan dengan pembangunan ajaran-ajaran agama Islam. Topik topik wahyu yang turun berdasarkan masalah: tauhid, eksistensi Allah SWT, masalah eskatologis, kisah kisah umat terdahulu, shalat, dan tantangan bagi orang orang kafir. Fase Madinah, yang dimulai sejak awal hijriyah hingga wafatnya Rasul, wahyu yang turun berbeda topiknya dengan masa sebelumnya. Pada fase ini, wahyu yang turun behubungan dengan masalah hukum yang dibutuhkan guna membangun masyarakat Islam yang baru terbentuk tersebut. 

 

Hadits

Hadits adalah peraturan sahabat tentang Rasulullah baik mengenai perkataan, perbuatan, maupun taqrirnya. Dalam penggunaannya sebagai sumber ijtihad, para ulama cenderung menganggap Al-Qur’an sebagai satu kesatuan dan hadits sebagai satu kesatuan. Ayat mana saja boleh ditafsirkan dengan hadits mana saja tanpa memperhatikan unsur waktu dan keterkaitan antara keduanya. 

 

Di samping itu terdapat ulama yang memandang kedudukan hadits lebih rendah dari Al-Qur’an. Hal ini berseberangan dengan fungsi hadits sebagai penjelas Al-Qur’an, yang mana antara penjelas dengan yang dijelaskan harus memiliki hubungan sebab akibat. Oleh karena itu, pemahaman terhadap fungsi hadits sebagai penjelas Al-Qur’an dalam tataran praktisnya, bukanlah sesuatu yang mudah. Diperlukan berbagai ilmu pendukung, khususnya aspek historis, guna melihat keterkaitan antara penjelasan dalam hadits dengan ketentuan dalam Al-Qur’an.

 

Ijma

Ijma berarti 'kesepakatan' atau konsensus dan ketetapan hati untuk melakukan sesuatu. Mayoritas ulama mendefinisikan ijma sebagai kesepakatan seluruh mujtahid pada suatu masa terhadap suatu hukum syara’ setelah wafatnya Rasulullah. Fungsi ijmak antara lain:
a. Mengeliminir kesalahan-kesalahan dalam berijtihad, yang mungkin saja terjadi jika ijtihad dilakukan secara individual saja.
b. Menyatukan pendapat-pendapat yang berbeda melalui kesepakatan yang dicapai, dan
c. Menjamin penafsiran yang tepat atas Al-Qur’an dan keotentikan hadis.

 

Qiyas

Qiyas adalah menganalogikan suatu masalah yang belum ada ketetapan hukumnya (nash/dalil) dengan masalah yang sudah ada ketetapan hukumnya karena adanya persamaan ‘illat. Menganalogikan diartikan sebagai mempersamakan dua persoalan hukum sekaligus status hukum di antara keduanya. Dalam pelaksanaanya, qiyas harus memenuhi rukun-rukun sebagai berikut:
a. Ashl (Maqis alaih): yaitu masalah yang sudah ada ketetapan hukumnya atau sudah ada nashnya, baik dari Al-Qur’an maupun hadits.
b. Furu’ (Maqis): yaitu masalah yang sedang dicari ketetapan hukumnya.
c. Hukm Ashl: yaitu hukum masalah yang sudah ditetapkan oleh nash.
d. Illat: yaitu sifat yang terdapat dalam ashl, dengan syarat: sifatnya nyata dan dapat dicapai dengan indera, konkrit tidak berubah, dan sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai.

 

Dalam mengambil setiap hukum pastilah ada rujukan atau tempat diambilnya suatu keputusan, yaitu sumber hukum Islam yang tentunya sumber yang pokok dan utama adalah Al-Qur’an dan diperjelas oleh hadits.

 

Di samping itu ada pula bermacam macam metode yang merupakan produk dari penemuan para ulama yang selanjutnya terus mengalami perkembangan dengan pesat berdasarkan permasalahan yang semakin kompleks. Di antara metode tersebut adalah ijma, qiyas, istihab, istihsan, urf, dan saddus dzariah.

 


Silvi Luqman Sari, mahasiswa Institut Islam Nahdlatul Ulama (Inisnu) Temanggung


Opini Terbaru