• logo nu online
Home Warta Nasional Keislaman Regional Opini Kiai NU Menjawab Dinamika Taushiyah Obituari Fragmen Tokoh Sosok Mitra
Jumat, 17 Mei 2024

Opini

Perlukah Kita Memanusiakan Manusia?

Perlukah Kita Memanusiakan Manusia?
Foto: Ilustrasi (percik.id)
Foto: Ilustrasi (percik.id)

Manusia sebagai makhluk sosial yang sudah barang tentu tidak bisa hidup sendiri, pasti membutuhkan dan memerlukan bantuan dari orang lain. Maka dari itu, pentingnya tanamkan dan perlukan sikap memanusiakan manusia agar setiap individu merasa dihargai dan tidak ada yang merasa dirugikan. Salah satu contohnya yakni rasa empati, maksudnya kemampuan memahami apa yang dirasakan orang lain, melihat dari sudut pandang orang tersebut dan juga membayangkan diri sendiri berada pada posisi orang tersebut. Dengan sikap empati secara langsung kita memainkan peran penting dalam membangun dan menjaga sarana menjalin hubungan silaturahim hubungan antara sesama manusia.

 

Dari sikap empati tentu manusia harus paham betul mengenai attitude yang ada di masyarakat. Bahkan ketika kita mengerti dan memahami nantinya akan mampu menerapkan nilai dan norma dalam bersosial dengan yang lainnya serta mampu menjadikan lingkungan sekitar dapat dikatakan sebagai masyarakat yang madani. 

 

Lalu, bagaimana untuk bisa mewujudkan masyarakat yang madani? Kita harus memiliki bekal yang cukup terkait pemahaman dan pengalaman luas. Karenanya harus dibarengi dengan beberapa tindakan seperti halnya mampu menempatkan politik yang demokratis, partisipatoris, menghormati, dan menghargai publik seperti halnya kebebasan hak asasi, partisipasi, keadilan sosial, menjunjung tinggi etika dan moralitas. 

 

Dilansir dari buku Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education) 2003 karya A Ubaedillah dan Abdul Rozal, masyarakat madani merupakan sebuah sistem sosial yang tumbuh berdasarkan prinsip moral yang menjamin keseimbangan antara kebebasan individu dengan kestabilan masyarakat. Konsep memanusiakan manusia merupakan sikap berpegang kepada nilai-nilai keadilan, kesetaraan, dan nilai tali persaudaraan. 

 

Istilah memanusiakan manusia bagi saya, secara sederhana merupakan upaya yang membuat manusia menjadi lebih berbudaya dan berakal budi. Dengan begitu maka sesama manusia harus menerapkan sikap saling menghargai, menghormati, dan tidak mengadili. Dengan mengamalkan sikap memanusiakan manusia, maka membuatnya terhindar dari sikap sombong atau merasa dirinya paling sempurna daripada orang lain. Konteks memanusiakan manusia di sini yang saya tekankan, yakni salah satunya ikut mendonasikan bantuan kepada orang-orang yang membutuhkan, tidak semena-mena terhadap orang lain, menghargai pemikiran atau gagasan orang lain, menghormati saat seseorang itu sedang bicara, memberi makan fakir atau miskin serta masih banyak lagi hal-hal yang berkaitan dengan sikap memanusiakan manusia. 

 

Saya mengutip kata-kata bijak bahwa menghargai orang lain jika anda ingin dihargai, jangan menghina jika tak mau dihina, dan jangan merendahkan orang lain jika tak mau direndahkan. Sebagai bentuk penghargaan kepada sikap mengenai memanusiakan manusia dalam Islam tercantumkan pada Surat al-Isra ayat 70, Allah SWT berfirman:

 

وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِيْٓ اٰدَمَ وَحَمَلْنٰهُمْ فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنٰهُمْ مِّنَ الطَّيِّبٰتِ وَفَضَّلْنٰهُمْ عَلٰى كَثِيْرٍ مِّمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيْل

 

Artinya:
“Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan”. (QS Al-Isra’:70). 

 

Imam Fakhruddin Ar-Razi seorang ilmuwan muslim berkebangsaan Persia polimatik menjelaskan bahwa manusia adalah makhluk di bumi yang memiliki banyak kelebihan berupa takrīm dan tafdlīl dibandingkan dengan makhluk lainnya. Takrīm diindikasikan dan dianugerahkan kepada manusia oleh Allah  SWT dengan sesuatu sifat bawaan seperti akal bisa berbicara dan berbahasa, struktur tubuh yang sempurna, dan wajah-wajah yang rupawan.

 

Adapun tafdlīl lebih diarahkan kepada kemampuan manusia dalam menggunakan potensinya mampu menemukan akidah yang benar, cara hidup yang baik dan etika yang mulia. Takrīm dari Allah SWT berimplikasi kepada kemuliaan manusia di bumi secara totalitas bahwa manusia mendapatkan hak untuk menaklukkan daratan dan lautan sebagai ma’īsyah-nya (rizki), manusia juga berhak mendapatkan rizki dari hal-hal yang baik, manusia semuanya sama dan sederajat, sehingga tidak dibenarkan apapun bentuk praktiknya yang menjadikan manusia tidak sederajat dengan manusia lainnya.

 

Dengan demikian, jika ada suatu sistem yang menggerogoti ke-takrīm-an, maka secara tegas sistem itu harus ditentang. Di antara sistem yang dapat menggerogoti ke-takrīm-an adalah diberlakukannya model perbudakan dan perdagangan manusia, karena dengan adanya perbudakan sama saja dengan mengurangi ke-takrīm-an manusia itu sendiri, karena tidak bisa bekerja dan menikmati hasil jerih payah untuk diri sendiri melainkan dieksploitasi oleh pihak-pihak lainnya.

 

Menurut KH Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus) mengatakan, puncak dari orang alim itu kalau dia sudah menjadi manusia seperti yang diajarkan Nabi Muhammad SAW yaitu manusia yang mengerti manusia dan manusia yang memanusiakan manusia. Hal itulah yang mungkin selama ini telah dicapai oleh Almarhum KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) semasa hidupnya. Jalan kehidupan Gus Dur memperjuangkan rakyat kecil dan kaum minoritas yang termarginalkan sangat melekat dengan rakyat Indonesia, Gus Dur selalu menyapa mereka agar tidak lagi dikebiri oleh kepentingan kekuasaan. Contoh lainnya, masalah jaminan kesehatan rakyat kecilpun harus mendapatkan hak yang layak, tidak boleh lagi ada diskriminasi, semua itu merupakan cita-cita perjuangan Gus Dur yang menginginkan setiap warga Negara Indonesia mendapatkan jaminan sosial yang sama. 

 

Contoh lain dalam berdemokrasi, merupakan salah satu komitmen yang terus diperjuangkan Gus Dur semasa hidupnya. Komitmennya lebih mengarah kepada perjuangan yang bersasaran pada mengangkat harkat dan martabat kaum marjinal. Namun, bukan hanya warga muslim saja yang Gus Dur perjuangkan, Akan tetapi juga warga Tionghoa, warga agama non-Islam, pengikut aliran kepercayaan, dan kaum minoritas lainnya. Memperjuangkan nasib kaum marjinal menjadi sasaran utama perjuangan Gus Dur dalam demokratisasi di Indonesia. 

 

Dengan mengangkat kaum marjinal, maka diharapkan tidak terjadi penindasan dan pengistimewaan kepada warga negara. Perjuangan Gus Dur melindungi segenap warga bangsa, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan berbangsa dan keadilan sosial merupakan bentuk perwujudan dan pengaplikasian kita terhadap UUD 1945 dan Pancasila. 

 

Dari sosok Gus Dur inilah, harapan saya pribadi dan tentunya buat pembelajaran bagi diri saya pribadi sangat berharap supaya bisa belajar dan mengambil hikmah yang sudah ditorehkan oleh para sesepuh kita terdahulu mengenai sikap memanusiakan manusia. Tinggal para generasi selanjutnya yang merawat dan mempertahan warisan gemilang itu. 

 

Semoga kita bisa menjalankan segala akivitas kita dengan baik dan tentunya diakui sebagai warga NU yang taat dan diakui semuanya sebagai santri Hadratus Syekh KH Hasyim Asy’ari dan mendapatkan berkahnya. Wallahu A’lam Bis Shawab

 

A’isy Hanif Firdaus, Sekretaris Umum IKAF Pusat (Ikatan Keluarga Al-Fajar) Babakan-Lebaksiu-Tegal, Sekretaris PR IPNU Dukuh Kedawon, Lembaga Pers dan Penerbitan PAC IPNU Kecamatan Larangan, Brebes 


Opini Terbaru