• logo nu online
Home Warta Nasional Keislaman Regional Opini Kiai NU Menjawab Dinamika Taushiyah Obituari Fragmen Tokoh Sosok Mitra
Sabtu, 27 April 2024

Opini

JELANG MUKTAMAR KE-34 NU

Maaf, Ini NU Bung

Maaf, Ini NU Bung
Foto: Ilustrasi (nu online)
Foto: Ilustrasi (nu online)

Nahdlatul Ulama (NU) Insyaallah sebentar lagi akan melaksanakan Muktamar ke 34, di Lampung. Ada yang memprediksi, perhelatan lembaga tertinggi organisasi tersebut akan berlangsung dinamis, bahkan tidak jauh berbeda dengan pelaksanaan kegiatan serupa sebelumnya, di Jombang, Jawa Timur. 

 

Aroma kontestasi sudah mulai terasa seiring ramainya isu yang dikumandangkan, seperti dikotomi PMII-HMI, Palestina-Israel dan isu primordial lainnya. Peniup atau pelontar isu-isu tersebut sahut menyahut sehingga suaranya nyaring dan memekakkan telinga. Mereka bak para profesional di bidangnya yang mahir dan fasih melakukan kerja-kerja 'politik' dari pembentukan opini sampai penggalangan suara. Bahkan, tidak menutup kemungkinan munculnya 'broker- broker' yang berorientasi pragmatisme. 

 

Subyektivitas saya sebagai aktivis yang puluhan tahun bergumul dengan NU, sejatinya para kandidat Ketua Umum PBNU bersikap rileks dan jauh dari ambisi untuk tampil sebagai winner dalam kontestasi, apalagi menempuh cara yang tidak sesuai dengan tradisi NU. Mereka bukan petarung yang bernafsu untuk mengalahkan rivalnya, dengan membabi buta. Sebab, mereka tampil dibarengi niat fastabiqul khairat dalam konteks perkhidmatan. Mereka juga bukan politisi yang kemaruk jabatan dan memiliki agenda bagi-bagi kedudukan setelah menang. Tetapi, mereka adalah para ulama yang tampil sebagai qadatul ummah atau pelayan umat, yaitu alladzina yandluruna ila ummah bi ainil rahmah atau yang selalu memanusiakan manusia penuh kasih sayang. 

 

Tetapi, kandidat yang ulama tersebut dikhawatirkan akan tergoda oleh para pendukung dan simpatisannya lengkap dengan berbagai motifnya. Watak kiai yang selalu khusnudzan, dibreakdown oleh pendukung dan simpatisannya menjadi materi atau narasi yang provokatif dan intimidatif. Lebih-lebih mereka mayoritas para pendengung atau out sider yang tidak memiliki hak suara. Demikian pula, pengurus wilayah terjerumus pada sikap menghegemoni pengurus cabang. Seolah pengurus wilayah memiliki hak memaksa atau mengharuskan para pengurus cabang untuk satu suara dengannya. Bagi cabang yang tidak patuh, dikenai pasal subordinasi dan diancam diberikan sanksi. 

 

Kerja Politik 

 

NU adalah jamiyah diniyah bukan partai politik. Karenanya bentuk kerja-kerja politik dalam proses suksesi kepemimpinan, selain tidak relevan juga sangat berisiko. Taruhannya sangat mahal dan jika terjadi kerusakan, maka recoverinya membutuhkan waktu yang relatif lama. NU memiliki tradisi yang humanis dan friendly dalam proses suksesi kepemimpinan. Bahkan, dalam tradisi lama, banyak tokoh yang tidak bersedia dicalonkan dan didukung, apalagi bersaing dalam pemilihan. Misalkan ada yang akhirnya bersedia, maka dia akan berikrar sebagaimana Abu Bakar ketika diangkat sebagai khalifah. 

 

Sementara itu bentuk kerja politik berorientasi pada kemenangan dan kekuasaan. Bahkan dikenal istilah machiavellism dalam merebut kekuasaan. Karenanya, selain memunculkan intrik dan sejenisnya juga mengakibatkan dendam dan luka.  Inti dari kerja model politik adalah membuat mungkin sesuatu yang kurang atau tidak mengkin dan membuat tidak mungkin sesuatu yang mungkin. Dan ini biasanya dilakukan oleh sejumlah politisi. 

 

Setidaknya ada dua Muktamar NU yang diduga 'diboncengi' kerja kerja model politik, yaitu Muktamar Cipasung dan Muktamar Jombang. Muktamar Cipasung ditengarai adanya dugaan intervensi pemerintah pada saat itu. Abu Hasan yang secara figural dirasa kurang atau tidak mungkin menjadi Ketua Umum PBNU, karena berbagai pertimbangan, ternyata mampu nyaris mengalahkan KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur yang secara figuran sangat kuat. Dari sini setidaknya, jika dikehendaki dan dikondisikan, tokoh atau figur yang sangat berkualitas tidak ada jaminan terpilih dan menang. 

 

Muktamar ke-33 di Jombang juga mencatat sejarah baru sekaligus menyisakan persoalan yang belum clear 100 persen sampai sekarang. Proses Muktamar berlangsung panas dan berlarut larut. Ada amarah yang dibarengi teriakan keras, ada hujatan sampai ada tetesan air mata ulama kharismatik. Lantunan shalawat nabi yang dikumandangkan sejumlah peserta tidak mampu meredam emosi sejumlah peserta. Hal tersebut berbeda dengan Muktamar di Krapyak, Yogyakarta. Di situ, shalawat nabi ampuh meredam emosi sejumlah peserta.
Muktamar Jombang juga melahirkan polarisasi dan terjadinya disharmoni serta istilah istilah baru, seperti NU Khittah, NU Garis Lurus dan sebagainya. Ekses seperti itu tidak boleh dianggap sederhana. Juga tidak bisa dimaknai sebagai hal baru sebagai konsekuensi logis dari dinamika organisasi. Itu adalah hal baru (al-jadid) yang tidak ashlah. 

 

Baca jugaMenyoal Diskursus PMII HMI dalam Muktamar Ke-34 NU

 

 

Pembelokan Haluan

 

Kerja model politik sangat dimungkinkan dibarengi dengan muatan politik. Muatan politik inilalah yang dikhawatirkan membelokkan biduk jamiyah. Karena secara teori forum muktamar memungkinkan dilakukan perubahan konstitusi organisasi, setidaknya melahirkan keputusan yang pro politik praktis, setidaknya mendorong NU inblock terhadap parpol tertentu. 

 

Mencermati (sekilas) fenomena yang bisa ditangkap dari (sedikit) statemen KH Said Aqil Siroj dan KH Yahya Cholil Staquf, ada perbedaan orientasi politik dari keduanya. KH Said terkesan lebih kooperatif terhadap partai politik, setidaknya terlihat dari relasinya dengan parpol tertentu, bahkan Sekjennya seorang politisi. Tidak bisa dipungkiri bahwa NU sangat seksi bagi parpol, karena melimpahnya basis massa. Apalagi misal ada semacam political will untuk mendukung parpol tertentu dengan membuat hujah siyasiyah yang disandarkan pada aspek historis dan kedekatan emosional. Dimungkinkan parpol yang menghendorse kandidat tertentu akan mencari modus seolah-olah concern terhadap NU. Tapi, jika berhasil mendapatkan ruang dan peluang akan 'menunggangi' jam'iyyah utuk kepentingan politiknya. Sementara KH Yahya Cholil Staquf terkesan ingin menegakkan netralitas NU secara murni dan konsekuen. Sikap politik equa distance terhadap semua parpol akan semakin dipertegas. Kiai Yahya Staquf juga secara terang benderang menginginkan tidak ada calon Presiden Indonesia dari NU untuk Pilpres mendatang. Tentunya, akan membiarkan politisi atau kader NU yang menjadi calon Presiden secara pribadi. 
Sepertinya, dia ingin menempatkan NU pada maqom di atas parpol. Tidak bisa dipungkiri persoalan netralitas dan sikap kembali ke khitah masih berjalan dinamis. Meski secara yuridis tafsir tentang khitah dinyatakan sudah final, masih saja ada yang mencoba membuat tafsir baru untuk kepentingannya. 

 

KH Sahal Mahfudz (almaghfurlahu) dalam kapasitasnya sebagai Rais Aam PBNU berulang kali memperingatkan tentang tafsir kembali ke khittah. Dijelaskan, tafsir tentang khitah sudah selesai dan tidak perlu tafsir baru. Seperti diketahui, beliau adalah top leader NU yang jauh dari hiruk pikuk politik praktis atau politik kekuasaan. Beliau istiqamah menjaga dan mengamalkan khitah. Beliau tidak tertarik jabatan pemerintahan. Meminjam istilah Prof  Sumanto al-Qurtubi, beliau termasuk katagori ulama asketis, yaitu ulama yang memilih mengurusi umat, menjauhi hingar bingar politik praktis dan istiqamah mulang ngaji. 

 

Kiai Yahya Cholil Staquf, barangkali akan mengikuti jejak Kiai Sahal Mahfudz. Tentunya dalam waktu yang sama melakukan perbaikan manajemen. Sebagai ulama yang juga mafhum dunia politik, Kiai Yahya Staquf barangkali memiliki memori yang baik tentang pilpres yang melibatkan KH Hasyim Muzadi (almaghfurlahu) yang saat itu berpasangan dengan Hj Megawati Soekarno Putri, Ketua Umum parpol terbesar. Kiai Hasyim Muzadi yang saat itu menjadi Ketum PBNU tidak dicalonkan oleh parpol yang notabene mengaku sebagai anak kandung NU. Sulit mengambil konklusi, dalam konteks tersebut, apakah Kiai Hasyim Muzadi sebagai korban politik atau mengalami kecelakaan politik. Subyektivitas saya, korban atau kecelakaan sama-sama merugikan dan menyedihkan. 

 

Netralitas NU adalah ikhtiar untuk menyelamatkan organisasi dari kemungkinan menjadi korban atau kemungkinan kecelakaan, termasuk bagi basis struktural. Karena itu, kerja model politik yang dilakukan para pendukung kandidat perlu dicermati dan dihindari. Ingat, ini adalah NU yang memiliki  jarak yang sama dengan semua parpol dan masalah afiliasi warga diserahkan kepada individu. 

 

Muktamar NU bukan proyek politik yang sarat dengan intrik dan membuka privasi kandidat secara vulgar. Wallahul a'lam bis-shawab

 

A Mufid Rahmat, penulis mantan Ketua Pimpinan Wilayah (PW) Gerakan Pemuda (GP) Ansor Jawa Tengah


Opini Terbaru