• logo nu online
Home Warta Nasional Keislaman Regional Opini Kiai NU Menjawab Dinamika Taushiyah Obituari Fragmen Tokoh Sosok Mitra
Rabu, 24 April 2024

Opini

Menyuarakan Kembali Sistem AHWA untuk Pemilihan Ketua Umum PBNU

Menyuarakan Kembali Sistem AHWA untuk Pemilihan Ketua Umum PBNU
Foto: Ilustrasi
Foto: Ilustrasi

Polemik maju mundurnya Muktamar NU ke-34 di Lampung sudah berakhir dengan istilah yang populer di kalangan Nahdliyin 'Gegeran Menjadi Gergeran'. Tidak hanya itu, panitia juga sudah merilis 'Rundown Muktamar' yang akan dilaksanakan dalam musyawarah tertinggi di NU tersebut. 

 

Dalam rundown itu sudah jelas Pemilihan Rais Aam PBNU akan dilakukan melalui sistem Ahlul Halli Wal Aqdi (AHWA) sedangkan Pemilihan Ketua Umum PBNU masih tetap dengan cara pemilihan langsung. Hal itu sebagai konsekuensi ditolaknya sistem AHWA untuk pemilihan Ketua Umum PBNU oleh  suara mayoritas PWNU dalam Musyarah Nasional (Munas) dan Konferensi Besar (Konbes ) di Jakarta 25-26 September kemarin.

 

Meski sudah mentok, sejumlah tokoh NU di daerah melalui media online maupun cetak mengaku akan tetap memperjuangkan sistem AHWA untuk pemilihan Ketua Umum PBNU dalam Muktamar ke-34 NU di Lampung pada 23-25 Desember mendatang.

 

Katib PWNU Jawa Timur KH Syafrudin Syarif dalam wawancara yang dimuat majalah Aula Edisi November 2021 menegaskan akan terus memperjuangkan sistem AHWA untuk pemilihan Ketua Umum PBNU. Menurutnya sistem AHWA asli produk NU sejak awal NU berdiri. Mulai dari masa Hadratus Syekh KH Hasyim Asy'ari sampai KH Abdul Wahab Hasbullah. Sistem AHWA juga dinilai berhasil dalam pemilihan rais aam sampai rais di tingkat ranting serta mangurangi bahkan meniadakan risywah atau transaksi jual beli suara. Transaksi  jual  beli suara dalam pemilhan ketua NU sering menyeruak ke permukaan dan mengakibatkan konflik internal yang berkepanjangan di tingkat bawah yang berdampak melambatnya dinamika jamiyah NU di suatu daerah. 

 

Dalam suatu kesempatan transit sehabis Pengajian Ahad Pagi di MWCNU Sukorejo, Kendal seorang mubaligh asal Kabupaten Batang menyebut intervensi ekternal dalam Konferensi NU tidak hanya berhenti di tingkat Cabang tapi telah merengsek tingkat MWC dan Banomnya. Pengkondisian tingkat MWC ditengarai sebagai sasaran antara pengkondisian tingkat Cabang, karena ketua MWC sebagai pemegang hak suara dalam Konfercab NU. Pengkondisian Konfercab NU dipandang memiliki nilai strategis bagi pihak ekternal untuk kepentingan Pilkada atau pemenangan caleg tertentu dalam sebuah Daerah Pemilihan (Dapil).

 

Sistem pemilhan ketua NU secara langsung di tingkat MWCNU dengan pemegang hak suara ketua ranting juga mudah diintervensi pihak ekternal yang ingin bermain. Loyalitas, militansi terhadap organisasi, dan kemampuan menghadapi tekanan dari pihak ekternal masih menjadi persoalan tersendiri. Hal tersebut tidak akan terjadi manakala sistem pemilihan ketua NU juga menggunakan sistem AHWA sebagaimana pemilihan Rais.  Dalam pemilihan menggunakan sistem AHWA untuk pemilihan rais peroleh suara terbanyak dalam tabulasi tidak otomatis menjadi rais terpilih. Kasus  ini pernah terjadi dalam 2 Konferensi MWCNU Sukorejo Kendal sejak ditetapkannya sistem AHWA dalam pemilihan rais sebagai implementasi hasil Muktamar ke-33 NU di Jombang tahun 2015.

 

Ketika Konferensi MWCNU Sukorejo 16 Mei 2016 dalam penjaringam anggota AHWA KH Abdulloh mendapat suara terbanyak. Namun sidang AHWA menetapkan KH Ibadi sebagai rais terpilih. Menurut Kiai Ibadi yang dipilih waktu itu almaghfurlah KH Ahmad Mashadi yang sebelumnya menjabat wakil rais namun menolak karena alasan kesehatan, sehingga dirinya yang ketiban sampur. Demikian juga dengan Konferensi MWCNU Sukorejo 21 Agustus 2021. Kiai Nurudin yang sebelumnya menjabat katib berhasil mengumpulkan suara terbanyak dalam tabulasi. Namun sidang AHWA kembali menetapkan KH Ibadi menjadi Rais terpilih. "Selama Mbah Ibadi masih sehat dan bersedia, saya tidak akan pernah mau," cerita Kiai Nurudin yang menghormati seniornya karena sama-sama alumni API Tegalrejo Magelang.

 

Situasi seperti itu nampak sulit terjadi dalam pemilihan ketua tanfidziyah. Yang terjadi justru sebaliknya adanya konflik internal yang berkepanjangan akibat kepentingan internal yang masuk dalam Konferensi. Kondisi semacam itu nampaknya hanya akan bisa diatasi jika pemilihan ketua NU juga menggunakan sistem yang sama yaitu AHWA. Namun demikian karena sudah menjadi keputusan Munas dan Konbes NU tentang pemilihan rais dan ketua PBNU maka harus tetap kita hormati. Kecuali jika Muktamirin bersepakat merubahnya dalam forum tertinggi NU itu. Jika tidak, lima tahun ke depan potensi pihak ekternal ikut bermain dalam Konferensi NU di berbagai tingkatan sangat mungkin terjadi. Selamat bermuktamar


 

Fahroji, Kontributor NU Online Jateng dan mantan Ketua MWCNU Sukorejo, Kendal 


Opini Terbaru