• logo nu online
Home Warta Nasional Keislaman Regional Opini Kiai NU Menjawab Dinamika Taushiyah Obituari Fragmen Tokoh Sosok Mitra
Minggu, 28 April 2024

Opini

Natal, Pesantren, dan Harmoni Kemasyarakatan di Indonesia

Natal, Pesantren, dan Harmoni Kemasyarakatan di Indonesia
Foto: Ilustrasi (nu online)
Foto: Ilustrasi (nu online)

Pada tahun 1975 keluarga Pak Sartono pindah rumah yang terletak persis di sebelah barat Pondok Lor yang merupakan bagian dari Pondok Pesantren Al-Muayyad Solo. Rumah itu sebelumnya milik Pak Herli. Ia seorang muslim yang taat. Karena pindah dinas, Pak Herli menjual rumah itu dan jatuh kepada Pak Sartono yang seorang pendeta Kristen Protestan. 


Di sebelah utara Pondok Lor adalah rumahku, dengan kata lain Pondok Lor dan rumahku bersebelahan persis dengan rumah Pak Sartono.  Kepindahan Pak Sartono dan keluarganya ke sebelah barat pondok ini sejak awal tidak pernah dipersoalkan. Mbah Kiai Umar Abdul Mannan selaku pengasuh pondok juga tidak pernah mempersoalkannya. 


Hubungan pondok dan keluargaku dengan keluarga pendeta ini cukup baik. Hal yang masih aku ingat dengan baik hingga saat ini adalah saat Natal di tahun-tahun pertama bertetangga dengan keluargaku dan pondok.  Selama beberapa tahun keluargaku dan beberapa santri pondok sering mendapat kiriman dari keluarga Pak Sartono berupa roti atau nasi beserta lauknya, seperti ingkung ayam. 


Kami yang masih anak-anak usia belasan tahun waktu itu senang sekali mendapat kiriman itu karena makanannya enak dan bergizi meskipun ada yang mengatakan bahwa nasi atau roti itu adalah sebagai simbol daging Yesus, sedangkan minumannya adalah darahnya.  Mendengar keterangan yang entah dari mana asalnya itu kami tidak ambil pusing. Kami tidak mempersoalkan hal-hal yang bersifat teologis semacam itu. 


Bagi kami, masalah itu adalah urusan mereka. Kami hanya melihat roti, nasi, lauk dan minuman itu tak lebih dari sekadar benda-benda duniawi untuk menghilangkan rasa lapar dan haus secara fisik. Bagi kami nasi ya nasi. Roti ya roti. Teh ya teh. Tidak lebih dari itu. Innamal a'mâlu bin niyyât (setiap amal tergantung niatnya).  Jadi bagi kami tak ada masalah. Kami bahkan merasa senang dan bersyukur mendapat rezeki itu karena memang masakannya enak. Persoalan halal apa tidak masakan itu, kami tidak meragukan kehalalannya karena kebetulan pembantu sekaligus juru masak Pak Sartono, yakni Mbok Tuk, adalah seorang muslimah yang dulu sewaktu masih kecil juga belajar mengaji di pondok. 


Begitulah hubungan baik kami antara santri-santri pondok dengan keluarga Pak Sartono di saat natal. Persoalan-persoalan teologis menjadi urusan masing-masing. Lakum dînukum waliyadîn (bagi kalian agama kalian, bagiku agamaku). Persoalan kemasyarakatan menjadi urusan bersama yang harus dijaga dengan baik. Semua itu telah menjadi kenangan manis bagi kami generasi 'zaman old' yang mungkin menarik untuk diceritakan kepada generasi 'zaman now.'


Kiai Umar Solo dan Ketertarikan Seorang Tionghoa


KH Ahmad Umar Abdul Mannan (1917-1980) adalah seorang kiai Pengasuh Pesantren Al-Muayyad Magkuyudan Solo, Jawa Tengah yang memiliki toleransi tinggi. Kiai Umar tidak pernah mengajari atau menanamkan kebencian kepada orang-orang dari kelompok etnis ataupun agama lain. Kiai Umar pernah berhubungan dekat dengan seseorang dari etnis Tionghoa yang tidak beragama Islam. 


Ia bekerja sebagai pegawai Perusahaan Listrik Negara (PLN) di Solo.  Pegawai PLN yang beretnis Tionghoa itu bernama Mugisi. Kiai Umar sering berinteraksi dengan Pak Mugisi terkait dengan tugasnya sebagai penagih rekening listrik terutama untuk wilayah Mangkuyudan -lokasi Pondok Pesantren Al-Muayyad- dan sekitarnya. 


Kiai Umar menaruh perhatian dan respek kepada Pak Mugisi, bukan saja karena Mugisi memiliki perbedaan etnis tetapi juga perbedaan agama.  Mugisi beragama Buddha atau malah Kong Hu Cu. Lebih menarik lagi bagi Kiai Umar adalah Pak Mugisi sering hanya memakai celana pendek ketika berkeliling menarik tagihan listrik, termasuk ketika menagih ke Kiai Umar. Hal seperti ini bagi kalangan santri  merupakan hal yang kurang lazim dalam sopan santun  kepada seorang kiai.  


Suatu hari Mugisi hendak menarik tagihan listrik ke Kiai Umar yang pada waktu itu sudah bersiap-siap naik ke masjid untuk jamaah shalat Dzuhur. Kiai Umar meminta agar Pak Mugisi berkeliling dulu ke pelanggan lain dan setelah itu baru kembali ke Kiai Umar. Mugisi menyambut baik permintaan Kiai Umar. Selesai berkeliling ke para pelanggan, Mugisi kembali ke pondok untuk bertemu dengan Kiai Umar. 


Di ruang tamu, Kiai Umar sudah menunggunya. Mugisi dipersilakan masuk dan duduk di dalam untuk menikmati makanan dan minuman yang telah disediakan Kiai Umar. Di ruang inilah Kiai Umar menyerahkan uang pembayaran listrik sambil berbincang-bincang dengan Mugisi. Hal seperti ini berlangsung terus menerus hingga akhirnya secara diam-diam Mugisi mengagumi seluruh keramahan, kebaikan dan nasihat-nasihat bijak Kiai Umar.  


Mugisi merasakan sekali Kiai Umar sangat berbeda dengan sebagian orang Solo dalam memandang orang-orang etnis Tionghoa. Kekaguman Mugisi pada Kiai Umar dari waktu ke waktu semakin meningkat hingga akhirnya Pak Mugisi memohon Kiai Umar untuk menuntunnya membaca dua kalimat syahadat. 


Ya, Mugisi memeluk Islam dengan disaksikan para santri dan masyarakat di masjid pondok. Kiai Umar kemudian memberikan nama baru untuk Pak Mugisi dengan nama Muhammad Salim. Sejak memiliki nama baru ini, Mugisi tidak lagi memakai celana pendek ketika keluar rumah untuk bekerja. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1960-an yang waktu itu saya mungkin belum lahir atau masih sangat kecil. 


Cerita ini sendiri saya dengar langsung dari  H Ali Marsidi, mantan ketua RT yang rumahnya di sebelah barat Pondok Pesantren Al-Muayyad.  Marsidi tahu betul peristiwa itu karena menyaksikan sendiri. Marsidi juga bercerita bahwa setelah Mugisi masuk Islam, satu per satu dari anggota keluarganya menyusul masuk Islam. Kabar terakhir yang didengar Marsidi adalah bahwa Mugisi sudah dua kali naik haji ke Tanah Suci di Mekah. 


Singkatnya, Kiai Umar tidak menjadikan perbedaan etnis dan agama sebagai penghalang dalam berinteraksi sosial (muamalah) sebagai sesama warga negara dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Mugisi hanyalah salah seorang dari sekian banyak orang Solo yang menjadi saksi atas toleransi dan penghormatan Kiai Umar terhadap perbedaan etnis dan agama. Bahwa kemudian Mugisi memeluk agama Islam, hal itu atas keputusan sendiri yang yang dilindungi Undang-Undang.   


Muhammad Ishom, Dosen Fakultas Agama Islam (FAI) Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Surakarta.


Opini Terbaru