• logo nu online
Home Warta Nasional Keislaman Regional Opini Kiai NU Menjawab Dinamika Taushiyah Obituari Fragmen Tokoh Sosok Mitra
Kamis, 2 Mei 2024

Nasional

MODERASI BERAGAMA

Dua Bangunan Tempat Beribadah di Solo Simbol Kerukunan Antarumat Beragama 

Dua Bangunan Tempat Beribadah di Solo Simbol Kerukunan Antarumat Beragama 
Bangunan gereja dan masjid di Surakarta berdempetan (Foto: NU Online Jateng/Muhammad Ishom)
Bangunan gereja dan masjid di Surakarta berdempetan (Foto: NU Online Jateng/Muhammad Ishom)

Surakarta, NU Online Jateng
Di Kota Surakarta terdapat dua tempat ibadah beda agama yang terletak bersebelahan persis. Kedua tempat tersebut adalah Masjid Al-Hikmah dan Gereja Kristen Jawa (GKJ) Joyodiningratan. Keduanya bahkan berbagi alamat yang sama, yakni Jl Gatot Soebroto No 222 Surakarta sebagai simbol persatuan dan kerukunan. Kerukunan antarumat beragama inilah yang melatarbelakangi ditetapkannya tempat ibadah ini sebagai cagar budaya.


Kedua tempat ibadah tersebut hanya dipisahkan oleh tembok pembatas luas tanah. Sebelah kanan tembok merupakan ruang masjid yang digunakan untuk shalat sedang di sebelah kirinya digunakan untuk kantor gereja. Terdapat tugu lilin setinggi kira-kira 1,5 meter yang berdiri tegak di sudut depan antara masjid dan gereja. Tugu ini sejak didirikan puluhan tahun lalu menjadi pengingat dan pendorong bagi kedua belah pihak pada setiap generasi untuk selalu mengupayakan kerukunan, kerja sama, saling memahami dan hormat menghormati sebagaimana amanat para pendiri kedua tempat ibadah beda agama ini. 


GKJ Joyodiningratan dibangun pada masa penjajahan Belanda, yakni pada tahun 1939. Masjid Al-Hikmah dibangun setelah kemerdekaan, yakni pada tahun 1947. Umat dari dua agama berbeda  ini tidak pernah mengalami konflik berarti sejak awal berdirinya. Setiap kali ada potensi permasalahan kedua belah pihak dapat mengantisipasi dan menyelesaikannya dengan baik. Misalnya, ketika Idul Fitri jatuh pada hari Ahad,  kebaktian di gereja diundur agak siang karena jamaah shalat Idul Fitri di Masjid Al-Hikmah yang berlangsung di pagi hari meluber ke lahan parkir depan gereja. Sebaliknya pada hari Natal, pihak Masjid tidak keberatan lahan di depan masjid digunakan anggota jemaat GKJ Joyodiningratan untuk parkir mobil. 


Pihak Masjid atas inisiatif sendiri juga tidak menggunakan lound speaker tepat pada hari Natal, hari sebelum dan sesudahnya kecuali untuk mengumandangkan adzan. Sedangkan kegiatan pengajian, tadarus dan pujian-pujian (shalawat) setelah adzan tidak menggunakan lound speaker.  Hal ini untuk menghormati jemaat gereja yang sedang menjalankan kebaktian Natal  di malam hari.


Hal tersebut sebagaimana dikemukakan Ketua Takmir Masjid Al-Hikmah, Muhammad Nasir. (Jumat, 15 Desember). “Kalau Hari Natal, kita tidak mengudara di malam hari selama 3 hari. Hanya adzan saja,” terangnya. 


Selain itu, di Hari Paskah dan Jumat Agung yang jatuh setiap bulan Maret atau April, lound speaker juga tidak dihidupkan di malam hari. "Kecuali untuk adzan untuk menghormati mereka yang sedang beribadah menurut keyakinannya," imbuh Nasir.  
 


Milik Dunia 


Keberadaan GKJ Joyodingratan dan Masjid Al-Hikmah ini telah menarik perhatian banyak pihak termasuk tokoh-tokoh dari manca negara seperti Syekh Ibrahim Mogra. Pada tahun 2008  ulama asal Leicester Kerajaan Inggris tersebut mengunjungi Masjid Al-Hikmah.  Ketua Dewan Ulama Kerajaan Inggris tersebut melaksanakan shalat Jumat di masjid Al-Hikmah dan kemudian berdialog dengan sang imam dan para jamaah. 


Dari masjid, Syekh Ibrahim mengunjungi gereja dan berdialog dengan  Pdt Widiatmo Herdjanto, S.Th. dan para  jemaat GKJ Joyodiningratan. Seusai dialog, Syekh Ibrahim mengungkapkan kekagumannya atas keunikan kedua tempat ibadah ini. ”Monumen ini milik dunia,” ungkapnya.
 

"Di Inggris juga ada masjid yang bersebelahan dengan gereja tetapi antara keduanya masih dipisahkan oleh jalan. GKJ Joyodiningratan dan Masjid Al-Hikmah benar-benar unik," terangnya. 


Pada tahun 2010, kedua tempat ibadah ini mendapat kunjungan tamu dari Amerika Serikat. Ia adalah Farah Pandith, Duta Besar Keliling dari Amerika Serikat untuk Dunia Islam saat itu. Kunjungannya ke tempat ini dengan didampingi oleh Jokowi – Wali Kota Surakarta saat itu.   


Di depan kedua bangunan yang hanya dipisahkan dengan tembok ini keduanya diambil gambarnya. Setelah itu Farah Pandith mengambil gambar kedua tempat ini dan mengungahnya di akun sosmednya dengan kepsen, “They share the wall.” (Mereka berbagi tembok).


Cagar Budaya


Gereja dan masjid tersebut kini dirasa semakin penting khususnya bagi warga Surakarta, sebagai salah satu monumen kerukunan antarumat beragama. Oleh karena itu, pada tahun 2014 Pemerintah Kota Surakarta melalui Keputusan Kepala Dinas Tata Ruang Kota Surakarta Nomor 646/401/2014 telah menetapkan Gereja Joyodiningratan yang berdiri pada tahun 1939 sebagai cagar budaya. 


Penetapan itu karena GKJ Joyodiningratan dianggap telah sesuai dengan Undang Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya. Namun dijelaskan oleh Pdt Nunung Istining Hyang, S.Si. bahwa ditetapkannya GKJ Joyodiningratan sebagai cagar budaya bukan karena bangunannya, tetapi karena kerukunan antar umat beragama yang dijalinnnya dengan Masjid Al-Hikmah.  


“GKJ Joyodiningratan dengan Masjid Al-Hikmah ini menjadi salah satu ikon Kota Surakarta karena kerukunan dua tempat ibadah yang saling berdekatan ini bisa terus rukun karena menjalankan ibadah dengan baik. Hal ini yang menjadikan GKJ Joyodiningratan menjadi salah satu cagar budaya, bukan karena bangunannya,” terang Pendeta Nunung. 


Idul Adha dan Hewan Kurban


Pada tahun 2017,  penulis menyempatkan diri shalat Idul Adha di Masjid Al-Hikmah untuk melihat dari dekat kerukunannya dengan GKJ Joyodingratan. Penulis menyaksikan puluhan hewan kurban milik jamaah Masjid Al-Hikmah ditempatkan di lahan parkir umum persis di depan GKJ Joyodiningratan. Sementara lahan parkir dan jalan depan masjid penuh sesak dengan jamaah shalat Idul Adha. 


Penulis merasakan  sengatan  bau tak sedap dari kotoran hewan-hewan itu yang terdiri dari  puluhan sapi dan kambing. Bahkan ada dua kambing yang diikat di depan pintu gerbang gereja. Menanggapi kesaksian penulis tersebut,  Muhammad Nasir menyatakan bahwa masjid memang tak punya lahan yang cukup untuk merawat hewan-hewan itu sebelum disembelih. Pihak gereja sangat memahaminya. Dalam sehari kotoran dan bau tak sedap itu sudah bisa diselesaikan dengan tuntas. “Oleh karena itu, kami tidak lupa membagikan daging hewan kurban untuk pihak gereja juga,” pungkasnya.


Penulis: Muhammad Ishom 
 


Nasional Terbaru