• logo nu online
Home Warta Nasional Keislaman Regional Opini Kiai NU Menjawab Dinamika Taushiyah Obituari Fragmen Tokoh Sosok Mitra
Sabtu, 27 April 2024

Opini

Memitigasi Residu Pilpres di NU

Memitigasi Residu Pilpres di NU
Foto: Ilustrasi (nu online)
Foto: Ilustrasi (nu online)

Perhelatan akbar pesta demokrasi, Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 2024 semakin dekat yakni 14 Pebruari 2024. Dinamika politik domestik Indonesia mulai memanas pada agenda pemilihan presiden (Pilpres), sedang untuk pemilihan legislatif (Pileg) terkesan adem-adem saja. Nahdlatul Ulama ( NU ) yang merupakan bagian integral dari Indonesia, sepertinya mulai terdampak dari dinamika tersebut.


NU memang bukan menjadi peserta kontestasi pilpres, karena dia ormas keagamaan (jamiyah diniyah ijtimaiyah). Tapi tidak bisa dipungkiri dalam konteks pilpres NU bisa dikatakan yang paling heboh dan hebat di antara ormas serupa yang ada. Bahkan, bisa dikatakan NU lebih dinamis dari sejumlah parpol itu sendiri. Mengapa demikian?. Jawabnya bisa panjang lebar. Salah satu asbabnya, NU merupakan ormas terbesar, memiliki daya tarik yang sangat seksi bagi parpol dan peserta kontestasi, netral dalam konteks jamiyah dan memiliki pengalaman politik yang panjang.


Residu Pilpres


Berdasarkan hasil survei dari Danny JA, yang mengaku dekat dengan NU sebesar 56, 9 persen (2023) dan menurut Alvara research, populasi warga NU (nahdliyin) sebesar 36,9 persen sedangkan yang mengaku dekat sebesar 59,2 persen dari populasi muslim di Indonesia.
Itu artinya, dia menjadi lumbung suara yang sangat seksi untuk kepentingan elektoral. Karenanya para kontestan pilpres sangat antusias merebutkannya .


Satu sisi, kondisi diperebutkan ini berkonotasi positif, setidaknya dianggap bisa memberi maslahat dan berkah serta memiliki kontribusi yang sangat besar. Pada sisi lain, dia tidak ubahnya menjadi 'korban', mendapatkan 'musibah', karena menjadi tidak utuh, robek, terluka akibat terkena 'cakaran' atau tertusuk 'garpu' dari mereka yang memperebutkannya.


Tapi perlu diingat, bahwa NU tidak sekadar tumpeng besar, tidak pula sekadar 'Ingkung jago raksasa.' NU adalah jamiyah diniyah yang didirikan dan digerakkan oleh para ulama, yang juga berhubungan dengan persoalan langit, karena ulama dalam perspektif teologis adalah pewaris nabi dan uswah bagi umatnya. Tidak sekadar itu, di dalam jamiyah terdapat heterogenitas warga, fanatisme, konstitusi, tradisi, dan sebagainya. Dibutuhkan manajemen mitigasi yang tepat dan andal agar hal hal tersebut tidak menjadi residu di NU. Akan sangat berisiko jika residu tersebut mengakibatkan problem domestiknya.


Residu itu beragam ujudnya. Bisa suudzan, ujaran kebencian (bullying), fitnah, mufaraqah dan sanksi organisasi yang pada gilirannya akan mengakibatkan polarisasi. Cepat atau lambat tapi pasti, dengan dalil untuk menegakkan netralitas jamiyah, menjaga muruah jamiyah dan mendisplinkan struktur jamiyah, top leader jamiyah, PBNU akan mengambil tindakan organisatoris bagi basis struktural (pengurus) yang dinilai melakukan mal jamiyah. Tentunya, kemungkinan sanksi ini berlaku bagi semua basis struktural di semua level, meliputi semua jenis, syuriyah, tanfidziyah, mustasyar, badan otonom dan lembaga. Sanksi bisa menimpa ulama khas, ulama ghairu khas, senior, pengasuh pesantren, tokoh masyarakat, birokrat dan sebagainya. Dimungkinkan juga menimpa lembaganya, seperti dinonaktifkan, di-reshuffle atau dikaretaker.


Misalkan yang terkena sanksi ulama khas atau tokoh berpengaruh, maka setidaknya ada tiga kemungkinan yang akan segera terjadi. Pertama, yang terkena sanksi bersikap legowo, menghormati keputusan jamiyah dan berkeyakinan berkhidmat di NU bisa melalui jalur kultural dan non-struktural. Kedua, penderek (pengikut), simpatisan atau jamaah ulama atau tokoh terkena sanksi tidak legowo dan melakukan manuver perlawanan bil sirri maupun bil jahri.


Kepemimpinan NU bisa dikatakan sebagai model kepemimpinan tradisional. Selain terdapat kepemimpinan formal yang lahir dari proses demokrasi, melalui lembaga muktamar, Konferwil dan konfercab, ada kepemimpinan nonformal, yang terlahir dalam proses sosial - tradisional, ustadz, kiai, ulama dan sebagainya. Kedua model kepemimpinan tersebut ada kalanya inheren, bahkan bila dilakukan pembobotan, ada kalanya pula kepemimpinan sosial - tradisional lebih berbobot. Relasi patron - klien antara pemimpin sosial - tradisional dalam banyak aspek, terutama dalam urusan politik masih terasa kental dalam jamiyah yang lahir pada tahun 1926 ini. Konsekuensinya, misalkan ada tokoh terkena sanksi, kemudian pendereknya melakukan penolakan atau perlawanan, maka akan menjadi residu.

 
Ketiga, penerima sanksi melakukan perlawanan dan diikuti pendereknya, simpatisannya atau jamaahnya. Beberapa waktu lalu, Wakil Ketua Umum PBNU H Nusron Wahid terkena reshuffle, karena dinyatakan rangkap jabatan dengan partai politik. Dia menyadari dan menerimanya. Juga haji Savic Ali, - meminjam istilah ketua umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf, dicuti paksakan, karena menjadi bagian aktif tim pemenangan Paslon presiden - wakil presiden. Diapun menyatakan tidak problem, karena menyadari jamiyah NU harus berada di atas tiga Paslon yang berkontestasi. Jika di kemudian hari, misalkan ada yang terkena sanksi lalu melawan atau dia menerimanya tetapi pendereknya, jamaahnya atau loyalisnya melakukan perlawanan, akan menjadi residu bagi NU.


Secara konstitusi jamiyah, NU memiliki dalil konstitusional dan tetapi jika bersentuhan dengan kepentingan politik praktis, berpotensi dipersoalkan, digosok gosok atau digoreng. Akhirnya, meskipun sebenarnya merupakan persoalan internal jamiyah dan hal normal, bisa menjadi sangat problematik. PBNU bisa dituding tidak adil, like and dislike dan subyektif dalam memberikan sanksi, meskipun justru yang menuding tidak obyektif dan memiliki vasted interested. Sejauh ini PBNU bersikap obyektif dan adil. Yang terkena sanksi merata di semua paslon, yaitu paslon nomor urut satu, paslon nomor urut dua dan paslon nomor urut tiga, karena secara faktual, ada pengurus NU yang menjadi bagian dari masing masing paslon.


Paradoks


Menurut subyektivitas saya, salah satu sumber dari adanya sanksi tersebut adalah masalah sikap netralitas NU, di mana secara kelembagaan NU dilarang terlibat masalah politik praktis  dan afiliasi politik warga diserahkan secara individu. Sikap netralitas ini termaktub dalam konstitusi jamiyah, juga diatur dalam peraturan perkumpulan (perkum). Netralitas adalah suatu kecenderungan untuk tidak memihak dalam suatu konflik (fisik atau ideologis). Menurut kamus besar bahasa Indonesia (KBBI), netralitas adalah keadaan dan sikap netral (tidak memihak, bebas). Netralitas dalam perspektif NU tidak absolut dan komprehensif, artinya ada pemisahan (splitzeng) antara wadah dan isi. Netralitas lebih terlihat diperuntukkan bagi lembaga/jamiyah dan basis struktural (pengurus), sementara warga secara individu tidak diberlakukan netralitas.


Sekadar pembanding, netralitas aparatur sipil negara (ASN), yang diatur dalam undang undang nomor 5 tahun 2014. Disebutkan, ASN dilarang menjadi anggota dan atau pengurus partai politik. ASN adalah individu. Individu-individu berhimpun dalam wadah/organisasi,  seperti korpri dan sebagainya. Individu dan wadah/organisasi terikat ketat netralitas. Utuh, tidak ada pemisahan antara isi dan wadah. Undang undang ASN terasa simpel dan realistik. anggota yang tidak menjadi pengurus sanksinya sama dengan yang menjadi pengurus perkumpulan/perhimpunan, karena titik tekannya adalah anggota (ASN).


Wadah individu NU (jamiyah) terikat kuat dengan netralitas dan wadah itu diisi dan digerakkan oleh individu. Jika individu tersebut menjadi struktur pengurus, dia terikat kuat dengan netralitas, sebaliknya jika tidak menjadi struktur pengurus tidak terikat netralitas. Secara konseptual netralitas NU sangat bagus dan cerdas, tetapi dalam konteks aplikasi terkesan paradoks, lebih lebih bagi yang tidak memiliki pemahaman komprehensif. Netralitas yang terkesan paradoks tersebut dalam perspektif akademik bisa menjadi diskursus panjang dan relevan diperbincangkan. Lebih lebih politik merupakan masalah yang dinamis dan sensitif.


Qaul Qadim dan Qaul  Jadid


Sensitivitas politik di NU bisa dikatakan tidak terlepas dari sikap, karakter, dan manhaj NU dalam bernegara dan bermasyarakat. Heterogenitas, humanitarian, moderasi dan pluralitas merupakan harga mati bagi jamiyah yang berusia satu abad ini. Karenanya komunitas, perkumpulan dan entitas lainnya yang mengusung faham dan narasi takfiri, taabudi, eksklusivitas, violance, khilafah, dan sejenisnya tidak diterimanya, bahkan cenderung dilawannya.


Relasi PMII dengan HMI, misalnya selalu dikotomis deametral, demikian pula relasi NU dengan faham intoleran, eksklusifme, takfiri, dan sejenisnya, seperti wahabi dan HTI juga dikotomis deametral. Orang Jawa mengibaratkan layaknya air dan minyak. Karena itu jika (terkesan) NU bermitra dengan faham dan entitas tersebut hampir di semua aspek (kecuali kemanusiaan), merupakan sesuatu yang tabu dan 'dikutuk'. Apalagi bermitra dengan mereka dalam hal yang strategis dan ideologis, jelas sedapat mungkin dihindari.


Sekarang ini terjadi perubahan yang dinamis. Relasi antara PMII dengan HMI, misalnya mencair dan kondusif. Demikian pula relasi antara sejumlah tokoh NU dengan kelompok intoleran dan takfiri relatif cair, terutama untuk keperluan politik kekuasaan. Sejumlah dalil dan narasi pembenaran juga dibangun dan digelorakan. Bahkan, ada yang beranggapan, tidak bermitra (larangan) dengan faham faham yang berseberangan dengan NU merupakan qaul qadim, sedang jika sekarang bermitra dengan mereka merupakan qaul Jadid. Persoalan seperti ini apabila tidak dikelola secara baik oleh NU, dimungkinkan akan menjadi residu.


NU adalah ormas terbesar dengan pengalaman yang sangat banyak dan lengkap. Karenanya, semuanya menaruh kepercayaan yang tinggi akan mampu memitigasi residu pilpres di dalam tubuh jamiyah yang moderat ini. Wallahu a'lam bis shawab


Mufid Rahmat, aktivis NU tinggal di Boyolali


Opini Terbaru