• logo nu online
Home Warta Nasional Keislaman Regional Opini Kiai NU Menjawab Dinamika Taushiyah Obituari Fragmen Tokoh Sosok Mitra
Sabtu, 20 April 2024

Opini

Pemilu dan Nilai Maslahatnya 

Pemilu dan Nilai Maslahatnya 
Foto: Ilustrasi (nu online)
Foto: Ilustrasi (nu online)

Setiap lima tahun sekali Pemilihan Umum (Pemilu) diselenggarakan di tanah air. Seperti biasa, setiap pemilu bermunculan isu politik yang menjadi perbincangan para pimpinan dan rakyat. Mungkin tidak wajar kalau mau pemilu, namun tidak ada isu yang diperbincangkan. Isu itu bisa menimpa siapa saja, bukan semata tokoh pimpinan partai politik atau pejabat publik lainnya, namun juga kadang menimpa orang biasa-biasa saja, warga negara. Isu yang sensitif adalah tentang para  kandidat, pimpinan partai politik, juga tokoh agama dan masyarakat seperti organisasi kemasyarakatan. Yang terakhir ini biasanya ditarik-tarik atau kadang menawarkan diri agar ditarik pada ranah gelanggang politik praktis. 


Lebih-lebih pada organisasi yang beranggotakan banyak orang, pasti menjadi sasaran empuk untuk digoda atau menggoda para kandidat, calon anggota legislatif, maupun calon pejabat publik lainnya. Bersamaan dengan meningkatnya kesadaran politik rakyat tentang hak dan kewajibannya sebagai warga negara, tentu rakyat sudah berpengalaman dalam menentukan pilihan politik.


Faktor utama yang menentukan pilihan rakyat adalah isu kesejahteraan. Dalam kenteks ini hanya partai atau kandidat yang mampu menawarkan solusi atas kebutuhan akan pendidikan dan pekerjaan yang layak, isue kesehatan dan pelayanan sosial yang menjadi prioritas pilihan pemilih rasional. Karena itu para kandidat sebaiknya realistis, sekiranya mau mencalonkan diri atau dicalonkan menjadi kandidat mempunyai konsep seperti apa untuk meningkatkan kualitas hidup rakyat. Kalau tidak memiliki gagasan menarik, sebaiknya diskusi dulu dengan para mahasiswa atau anggota masyarakat lainnya, kemudian baru mendaftar mengikuti Pemilu, sehingga bakal calon tidak terjebak pada praktik politik yang tidak selaras dengan Pancasila dan UUD 1945.


Kalau para kandidat berjualan isu sektarian seperti suku, agama, ras, dan sejenisnya, maka sudah dipastikan isu sara tersebut tidak akan memperoleh suara signifikan. Atau jika para kandidat memainkan media untuk pencitraan karakternya,  maka dapat diyakini bahwa suatu saat identitas atau karakter aslinya akan terungkap. Bukankah terdapat pepatah 'sepandai-pandai tupai melompat pada akhirnya akan jatuh jua'. 


Sebagai bagian dari pendidikan politik, tugas pejabat publik saat ini tidaklah ringan. Indonesia tidak semata-mata menghadapi problem kultural seperti kesenjangan sosial, ekonomi, dan budaya, melainkan pada problem struktural. Sebuah sistem nasional yang terkait dengan kondisi global. Hal ini diawali sebelum reformasi 1998, terjadinya krisis di berbagai bidang, kemudian perjanjian dengan dana moneter internasional. Setelah itu amandemen UUD 1945 mulai tahun 1999 hingga tahun 2002, hingga terjadi ketidaksesuaian antara pembukaan UUD 1945 dengan batang tubuhnya. Kemudian muncul banyak undang-undang di bawah UUD serta peraturan pemerintah dan peraturan presiden serta peraturan menteri dan seterusnya. Hal inilah yang mengakibatkan problem struktural di negeri tercinta.


Betapa hebatnya seseorang kandidat tentu tidak akan dapat sukses membenahi masalah pemerintahan dan pembangunan, kecuali dia harus membangun sistem yang lebih baik, dan menciptakan tradisi politik yang lebih baik. Berani atau tidak, para bakal calon pejabat publik memiliki ide yang orisinil memperbaiki sistem dan tradisi politik yang ada menjadi lebih baik dan efektif dalam menguraikan masalah akut yang terjadi yakni kemiskinan, pengangguran, selain penyakit lama seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme. Kalau tidak ada niat baik serta upaya maksimal dalam memperbaiki sistem yang ada, kemudian dengan cara yang bagaimanakah kita dapat memperbaiki keadaan?


Untuk itu, nampaknya masih relevan sebuah nasehat keagamaan: cinta dunia adalah sumber munculnya berbagai macam kesalahan. Jadi menata niat dari para kandidat, juga para pemilih menjadi sangat penting. Untuk apakah para kandidat berupaya maksimal agar terpilih, dan dengan kriteria apakah para pemilih nanti akan memilih para calon. Karena itu mungkin relevan untuk direnungkan. jika kita belum mampu mengatasi masalah, maka sebaiknya jangan membuat masalah baru. Kalau para kandidat memiliki kesadaran politik seperti ini maka setidaknya memang baru memiliki standar minimal layak untuk dipilih. Standar maksimalnya adalah para calon yang layak dipilih adalah mereka yang benar-benar memberi nilai lebih untuk kemaslahatan banyak orang. Wallahu a'lam bis shawab


H Mohamad Muzamil, Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Tengah 


Opini Terbaru