• logo nu online
Home Warta Nasional Keislaman Regional Opini Kiai NU Menjawab Dinamika Taushiyah Obituari Fragmen Tokoh Sosok Mitra
Sabtu, 27 April 2024

Opini

Memberi dan Menerima Seruan Moral

Memberi dan Menerima Seruan Moral
Foto: Ilustrasi (diadona.id)
Foto: Ilustrasi (diadona.id)

Memberi dan menerima nasehat atau sekarang lebih populer dengan istilah 'seruan moral' merupakan perintah agama. Hal ini sudah lazim dilakukan oleh umat dalam berbagai kesempatan secara kekeluargaan maupun kemasyarakatan, bahkan juga dalam pembangunan dan pemerintahan. Agama itu sendiri adalah nasehat tentang kehidupan agar bisa selamat dan sejahtera dunia akhirat. Untuk itu mengingatkan diri sendiri dan sesama anggota keluarga dan masyarakat merupakan kewajiban bersama, perkara berhasil atau tidak, berpengaruh atau tidak, itu soal lain.


Bagi penyeru kebaikan itu juga terikat dengan etika moral yang ada, sehingga semua pihak komponen bangsa harus mau saling mengingatkan (tidak saling tuding atau cari kambing hitam), atau istilah jawanya, 'sing bener kudu pener, sing salah kudu seleh', 'iso rumungso, ora rumungso biso.'
 

Ada kisah menarik, suatu ketika Imam Abu Hanifah sedang dalam perjalan menuju tempat ibadah. Kebetulan ada seorang anak yang sedang bermain berselancar. Imam Abu Hanifah berpesan kepada anak tersebut, "hati-hati Nak, supaya tidak terpeleset". Tanpa diduga, sang anak tersebut berkata kepada Imam Abu Hanifah. "Iya Syekh. Syekh Abu Hanifah juga harus hati-hati dengan popularitas namamu". Imam Abu Hanifah pun tak mengira sebelumnya anak sekecil itu akan berkata demikian. Untuk itu Imam Abu Hanifah pun beristighfar, mohon ampun kepada Allah SWT dengan menitikkan air mata. 


Dari kisah tersebut dapat diambil hikmah. Di dalam memberikan nasehat juga ada rambu-rambunya yang tidak boleh dilanggar. Pertama, nasehat dilakukan dengan bahasa yang santun. Kedua, disampaikan dalam waktu yang tepat, dalam suasana santai dan tidak sedang emosi. Ketiga, pemberi nasehat seyogyanya juga telah melakukan kebaikan atau kebenaran yang disampaikan. Keempat, tidak menyebut nama tertentu di muka umum. Jika memberikan nasehat kepada seseorang di muka umum maka sebenarnya bukan nasehat yang disampaikan, melainkan merupakan penghinaan kepada yang bersangkutan. Memberikan nasehat bukan semata merupakan tanggung jawab tokoh agama, tokoh masyarakat, guru, ataupun orang tua, melainkan merupakan tanggung jawab bersama seluruh anggota keluarga dan masyarakat. 


Para pemimpin memang memiliki tanggung jawab yang lebih besar untuk memberikan arahan kepada staf maupun anggotanya, karena itu para pemimpin juga perlu untuk mendengarkan setiap nasehat atau masukan pemikiran yang ada. Sebab kebenaran dan kesabaran merupakan bagian dari hidayah, yang merupakan hak prerogatif Allah SWT. Hidayah itu diberikan oleh Allah SWT kepada siapapun yang dikehendaki-Nya. Untuk itu berbahagialah atau bersyukurlah jika sekiranya kita mau mendengar dan mengambil pelajaran dari sebuah nasehat.


Kemudian bagaimana peran ikhtiar manusia dalam menyambut hidayah atau nasehat tersebut? Hidayah dari Allah SWT merupakan risalah-Nya, wahyu yang diterima Rasulullah Saw. Selain wahyu yang telah diterima dan disampaikan oleh Rasulullah kepada umatnya, umat pada umumnya diberikan akal. Dengan berpegang teguh pada wahyu serta mempergunakan akal yang sehat, Insyaallah manusia akan selamat dan bahagia dunia akhirat. Kebahagiaan tersebut  adalah buah dari keimanan. Puncak keimanan adalah cinta kepada Alloh SWT, dan puncaknya cinta adalah ridha kepada Allah SWT yaitu ridha dengan qadla dan qadar Allah SWT.


Karena itu ikhtiar belajar agar fasih membaca, memahami dan mengamalkan wahyu merupakan jalan mencapai ridha Allah SWT. Dan tentu tidak ada yang dapat mencapai kesempurnaan seperti itu kecuali Kanjeng Nabi Muhammad Saw. Wallahu a'lam bis shawab


H Mohamad Muzamil, Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Tengah
 


Opini Terbaru