• logo nu online
Home Warta Nasional Keislaman Regional Opini Kiai NU Menjawab Dinamika Taushiyah Obituari Fragmen Tokoh Sosok Mitra
Selasa, 30 April 2024

Opini

Membaca Arah Pertemuan NU-Muhammadiyah

Membaca Arah Pertemuan NU-Muhammadiyah
Foto: Ilustrasi (nu online)
Foto: Ilustrasi (nu online)

Pertemuan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU dan Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah di Gedung PBNU Jalan Kramat Raya 164, Jakarta Pusat beberapa 2 hari lalu (25/5/2023) mendapat atensi dan respons yang beragam dari publik. Ada yang meresponnya dengan 'gegap gempita' menilai seolah ada sesuatu yang besar dan fondamental, ada pula yang meresponnya secara 'heroik' menilai telah terjadi sesuatu yang serius di level kedua ormas keagamaan raksasa ini dan atau di level kebangsaan kenegaraan.


Respons seperti itu jamak saja, karena sebagian publik memposisikan keduanya secara deametral lengkap dengan bumbu-bumbu perbedaan klasik di berbagai bidang. Lebih-lebih di saat Indonesia sedang memasuki tahun politik dan dimungkinkannya terjadinya hal hal problematik dan critical, yang pada gilirannya bisa berakibat instabilitas.


Lalu, apa yang sebenarnya menjadi fokus para elite dua ormas keagamaan raksasa tersebut?. Adakah sesuatu yang sangat urgent atau sekadar normatif seremonial dalam konteks membangun komunikasi?. Atau dalam pertanyaan konyol, apakah sebagai signal "perdamaian"?.


Dari Guru yang Sama


Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah ditakdirkan terlahir dari 'rahim' (tanda kutip) yang sama. Ada riwayat bahwa pendiri perserikatan Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan dengan pendiri jamiyyah NU KH Hasyim Asy'ari, ketika belajar di Makkah, Saudi Arabia memiliki guru yang sama, yaitu KH Sholeh Darat Assamarani. KH Sholeh Darat termasuk ulama salaf yang berhaluan ahlussunah wal jamaah. 


Terlahir dalam 'rahim' yang sama, 'nasab' yang sama tidak harus menjadi 'nasib' yang sama, 'rumah' yang sama dan ikhtiar atau amal usaha yang sama. Secara usul, perbedaan sebagai sunnatullah, karena Allah menciptakannya dengan perbedaan, lalu perbedaan itu secara kontekstual menjadi rahmah.



PP Muhammadiyah lakukan kunjungan ke PBNU (Foto: NU Online)


Jika dalam praktik ubudiyah dan amaliyah ada penampakan perbedaan antarkeduanya, semata-mata hanya karena perbedaan fokus, orientasi dan manhaj ihtiyariah, bukan sebagai sesuatu yang destruktif-konvrontatif. Jika Muhammadiyah shalat tarawih 11 rakaat plus witir, tidak qunut pada shalat subuh dan menentukan awal Ramadhan dan satu Syawal (terkadang) berbeda dengan NU, tidak bisa dimaknai sebagai bentuk perlawanan, karena hal itu bukan merupakan usul (pokok). Masing masing memiliki hujjah atau argumentasi naqliyah.


Hak Muhammadiyah memiliki bangunan ubudiyah dan muamalah dengan corak dan "arsitektur" seperti yang sekarang ini. Demikian pula menjadi hak NU memiliki still dan karakter ubudiyah muamalah yang berbeda dengan Muhammadiyah, meski 'nasabnya' sama atau 'sepersusuan' dengan Muhammadiyah. Tidak perlu ada upaya atau ikhtiyar mendorong keduanya menjadi satu, karena tidak perlu disatukan. Tidak perlu diprovokasi untuk rekonsiliasi, karena keduanya tidak sedang konvrontasi. Hanya orang atau pihak konyol saja yang bermimpi mengintegrasikan keduanya dengan alasan yang konyol pula.


Dengan jati diri masing-masing, dengan fokus dan karakter masing-masing justru menjadikan keduanya sehat, hebat, kuat, dan lebih manfaat karena bisa saling mengisi dalam konteks fastabiqul khairat. Meski demikian, kemungkinan terjadinya gap, konfrontasi direct maupun indirect, dan disharmoni keduanya tidak sesuatu yang mustahil. Masing-masing memiliki anggota/warga/kader yang fanatik buta dan temperamental yang kronis. Ada hal hal situasional-emosional yang menjadi triger meruncingnya relasi keduanya. Dalam konteks jamiyah dengan massa puluhan juta dan setting pendidikan dan sosial yang beragam, hal seperti itu bisa dimaklumi.


Ketika 'insiden' itu melanda keduanya, maka menjadi tugas elite kedua jamiyyah tersebut untuk segera tampil menjadi pemadam dan 'pencuci piring' sebelum eskalasinya menjadi lebih luas. Elite perlu memiliki aplikasi yang super canggih untuk mengatasinya. Dimungkinkan pula ada pihak eksternal yang tidak ingin melihat Muhammadiyah-NU menjadi harmonis dan solid. Sebab jika di banyak hal keduanya harmonis dan solid dianggap menjadi ancaman, setidaknya pihak yang punya hobi adu domba akan gagal dalam misinya. Karena itu, komunikasi secara reguler perlu ditradisikan, baik pada level pusat maupun level daerah.


Moralitas Bangsa


Sedikitnya ada tiga hal yang menjadi concern para elite ormas keagamaan tersebut. Yaitu masalah ekonomi, politik, dan kepemimpinan moral yang dibingkai dengan tema moralitas bangsa. Sekilas masalah yang diangkat dirasa klise, tapi hakekatnya sangat strategik dan fundamental-aktual, terlebih jika dikaitkan dengan wajah kekinian keindonesiaan.


Tidak bisa disederhanakan, moral adalah akhlak, ajaran tentang baik dan buruk. Moral adalah standar prilaku yang memungkinkan setiap orang untuk dapat hidup secarabkooperatif dalam satu kelompok. Moral adalah kebiasaan, adat, aturan kesusilaan. Moral dapat diartikan sebagai nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Jika kedua elite ormas keagamaan berbicara masalah moral dan moralitas itu sesuai dengan tupoksinya dalam kapasitasnya sebagai pimpinan ormas keagamaan yang berintikan pada masalah moral. Dalam konteks kebangsaan-kenegaraan, kedua ormas tersebut berperan sebagai 'pawang' sebagai 'sipir' dan sebagai pelita.


Misi yang diemban kedua ormas keagamaan tersebut adalah risalah nabawiyah, di mana Nabi Muhammad diutus oleh Allah Azza wa Jalla untuk menyempurnakan akhlak manusia atau moralitas umatnya. Tanpa berpretensi menafikan sisi positifnya, jika melihat wajah Indonesia saat ini memprihatinkan. Ketimpangan kesejahteraan, gap penghasilan, angka kemiskinan, pengangguran, pergulatan sosial dan resistensi komunikasi vertikal-horisontal sudah mengarah lampu merah.


Di tataran elite, banyak pejabat yang suka mengumpat, hedonis, koruptif dan nyaris kehilangan sanse of belongingnya. Banyak kaum terpelajar menampakkan sikap kurang ajar, suka memilih kata atau diksi yang agitatif provokatif, kehilangan kharismanya, koruptif, dan sikap tidak terpuji lainnya. Massa dibelah dengan sebutan kadrun dan kecebong. Tidak ketinggalan agama dijadikan alat politik pragmatik. Dalam konteks tersebut, kedua top leader ormas keagamaan tersebut mengatakan, masyarakat sulit mendapatkan keteladanan moral. Penegasan tersebut bisa dijadikan signal bahwa kondisi kebangsaan dalam keadaan tidak baik baik saja.


NU dan Muhammadiyah boleh berbeda manhaj, boleh berbeda ubudiyah-muamalah, tetapi keduanya harus kompak dalam satu gelombang dan satu kekuatan ketika berbicara masalah moral kebangsaan, masalah stabilitas, NKRI dan Pancasila, UUD 1945 serta bhineka Tunggal Ika. Tidak mudah tugas yang dipikul kedua ormas keagamaan tersebut, karena dimungkinkan akan terpelanting atau dijadikan musuh bersama. Tapi, perlu diyakini, misal umat kehilangan kepercayaan kepada para pejabat, para politisi, para akademisi, maka mereka akan lari kepada mereka yang bertugas penjaga moral umat juga moral bangsa. Mereka akan berlindung di NU dan Muhammadiyah. Wallahu a'lam bis shawab


Mufid Rahmat, penulis buku Semua Akan NU pada Waktunya (LKiS, 2021), tinggal di Boyolali


Opini Terbaru