• logo nu online
Home Warta Nasional Keislaman Regional Opini Kiai NU Menjawab Dinamika Taushiyah Obituari Fragmen Tokoh Sosok Mitra
Sabtu, 20 April 2024

Opini

Jangan Jadikan NU dan Pesantren untuk Alat Politik

Jangan Jadikan NU dan Pesantren untuk Alat Politik
Foto: Ilustrasi (nu online)
Foto: Ilustrasi (nu online)

Peta politik menjelang pemilu 2024 hingga kini dinilai masih sangat cair dan kondusif. Walaupun berbagai koalisi foto-foto bakal calon banyak terpampang di berbagai sudut tempat serta beberapa partaipun mulai ramai dan sudah terbentuk, namun juga diprediksi masih mungkin untuk bisa berubah.


Nahdlatul Ulama (NU) sebagai organisasi sosial keagamaan yang memiliki amanah tugas untuk memberikan panduan dan bimbingan kepada masyarakat muslim mengenai berbagai perubahan maupun kaifiyah dalam memecahkan berbagai kebutuhan tersebut tidak kemudian mengakibatkan berbagai problem pada moral yang terjadi di masyarakat dengan terus-menerus melakukan pembinaan akhlakul karimah secara konsisten. 


Dengan demikian, NU di satu pihak terus melakukan perbaikan dan khidmahnya kepada umat dan bangsa, namun di pihak lain NU terus berusaha agar menjaga masyarakat berpegang teguh pada sifat dan sikap yang mencerminkan akhlakul karimah yang bersumber dari ajaran Islam yang santun dan ramah. 


Menarik untuk disimak, seperti apakah hubungan NU dengan politik, penulis mencoba untuk memaparkan keberhakan hak berpolitik bagi setiap individu adalah salah satu hak asasi seluruh warga negara, termasuk warga negara yang menjadi anggota NU. Tetapi NU bukan merupakan wadah bagi kegiatan politik praktis. Penggunaan hak berpolitik dilakukan menurut ketentuan perundang-undangan yang ada dan dilaksanakan dengan akhlakul karimah sesuai dengan ajaran Islam, sehingga tercipta kebudayaan politik yang sehat. NU menghargai warga negara yang menggunakan hak politiknya secara baik, bersungguh-sungguh, dan bertanggungjawab.


Merespons hal di atas, Wakil Ketua Umum (Waketum) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Zulfa Mustofa saat memberikan taushiyah di hadapan para ulama dan santri Pesantren Manba’ush Sholichin Al-Charomain Kota Palu, Sulawesi Tengah, Kamis (10/9) silam. Kiai Zulfa menyampaikan, pesantren adalah NU lingkup yang lebih kecil, kalau ingin melihat ajaran-ajaran Ahlussunnah Wal Jamaah ataupun pemikiran-pemikiran NU, manhaj NU, Thariqah NU maka lihatlah apa yang diajarkan di pesantren, dari mulai kajian fiqih, tauhid, tasawuf, tafsirnya. Dan dipesantren banyak kitab-kitab yang dikarang oleh ulama-ulama Nusantara salah satunya yakni Syekh Nawani Al-Bantani kata Kiai Zulfa dikutip dari channel TVNU (29/11/2022).


Kiai Zulfa menyebut, pesantren dalam bahasa arab disebutkan sebagai 'Surah Musagharah Min Nahdlatul Ulama' artinya miniaturnya NU. Para pengurus NU kebanyakan dari para pimpinan-pimpinan di pesantren seluruh Indonesia. Banyak santri-santri hebat yang saat ini tengah menjalani karier di berbagai bidang dan tengah berjuang menjadi menteri dan presiden. Santri tidak boleh minder dan berkecil hati tidak bisa cakap dalam berbagai segmen dan lini-lini penting di kepemerintahan, buktinya kita pernah punya presiden Indonesia, yaitu KH Abdurrahman Wahid dan KH Ma’ruf Amin sebagai wakil presiden saat ini. Santri harus banyak belajar dan gantungkan cita-citanya agar kelak kemudian hari bisa mencapai cita-cita itu. 


Pada kesempatan tersebut, Kiai Zulfa juga memperkenalkan kitab karangan yang ditulis sendiri yang berjudul Tuhfatul Qosiwadani fi tarjamahi syekh Muhammad Nawawi Bin Umar Al-Bantani, kitab ini berisi tentang sejarah Syekh Nawawi Al-Bantani sebagai min akbar ulamai Jawi, yang berarti ulama jawa terbesar pada masanya. Syekh Nawawi mengarang kitab kurang lebih sebanyak 100 lebih. NU dan pesantren ini lebih besar daripada partai dan kepentingan politik apapun, maka dari itu jangan jadikan NU dan pesantren sebagai alat politik, karena NU dan pesantren jauh lebih besar dan jauh lebih dahulu daripada itu semua. 


Dikutip dari nu.or.id, tanggapan yang sama juga disampaikan oleh Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf berharap politik identitas tak lagi mendominasi gelaran pesta demokrasi lima tahunan di Indonesia. Secara tegas ia juga mengatakan, NU menolak untuk dijadikan sebagai alat politik pada pemilu 2024 mendatang. Politik identitas kental dijadikan senjata bagi kelompok dan organisasi tertentu untuk menjatuhkan lawan politiknya. Bahkan mengancam keutuhan bangsa dan negara. Menghindari politik identitas ini karena penting bagi Indonesia karena merupakan masalah yang harus ditangani secara serius, ancaman terkait politik identitas ini berkaitan erat dengan konteks di ranah global, seperti radikalisme, ekstremisme, dan terorisme. Bahkan konflik di belahan dunia lain-lainnya. 


Saat ini PBNU memiliki peran yang sangat penting, salah satu caranya dengan melakukan sosialisasi terkait pendidikan politik kepada masyarakat, kemudian membangun komunikasi dan koordinasi secara intensif dengan kelompok lintas agama dan stakeholders atau pemangku kebijakan. Ini semua terkait dengan politik identitas dan cara untuk memulai pencarian solusi dari berbagai macam konflik, maka kita harus memulai untuk mengasingkan politik identitas tersebut dalam dinamika sosial.  


Tentunya gagasan NU untuk tidak ikut serta merta dan menyatakan kembali ke Khittah 1926 dan secara organisasi melepaskan diri dari ikatan organisasi politik dan organisasi kemasyarakatan, ini berdasarkan hasil Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama NU tahun 1983 di Situbondo dan dikukuhkan dalam Muktamar 1984 di Situbondo. 


Maka dari itu, mari kita dukung bersama-sama i'tikad baik dan merupakan sebuah bentuk ketegasan yang telah disampaikan oleh PBNU menuju kontestasi pemilu 2024 mendatang, semoga akan melahirkan para pemimpin-pemimpin baru yang mempunyai gagasan, kerja keras, serta berbagai prestasi untuk membangun Indonesia menjadi negara baldatun thayyibatun warabbun ghaffur. Wallahu a'lam bis shawab 


A'isy Hanif Firdaus, Pengurus Lembaga Ta'lif wan Nasyr Nahdlatul Ulama (LTNNU) Brebes


Opini Terbaru