Mengenang Kiai Mustaghfirin: Tetap Mengajar Meskipun Hanya Dihadiri oleh Dua Santri.
Rabu, 16 Oktober 2024 | 12:00 WIB
Keteladanan seorang pengasuh menjadi salah satu faktor utama yang menarik bagi sebuah pondok pesantren. Para santri biasanya tidak hanya mencari pondok dengan kurikulum yang baik, tetapi juga figur seorang kyai yang memiliki akhlak yang layak dijadikan panutan. Salah satu contoh kiai yang menjadi teladan bagi para santri adalah Drs. KH. Mustaghfirin, pengasuh Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin Tugurejo Tugu Semarang.
Salah satu hal paling utama dari Yai Rin, sapaan akrab kiai Mustaghfirin, adalah ketekunan dan konsistensinya dalam mengajar para santri. Selama bertahun-tahun, setelah shalat subuh, Yai Rin selalu mengajar Tafsir Jalalain kepada para santri di aula pondok pesantren yang terletak di Tugurejo, dekat dengan RSUD dr. Adhyatma MPH.
Dalam pengajian kitab kuning dengan metode klasikal, Yai Rin menjelaskan dengan teliti setiap kata dari kitab tafsir yang menjadi rujukan utama pesantren salaf. Meskipun kadang aula kosong atau hanya dihadiri satu atau dua santri, kyai yang pernah menjadi dosen di UIN Walisongo (dulunya IAIN) ini tetap melanjutkan pengajiannya dengan semangat, tanpa menunjukkan tanda-tanda jenuh atau berhenti.
Terkadang ada santri yang sudah menunggu lebih dulu di aula tempat pengajian, biasanya lurah pondok, yang juga bertugas mengingatkan santri lain untuk segera bergabung. Meskipun Yai Rin selalu menjadi yang pertama tiba di tempat pengajian kitab kuning, ia tetap penuh semangat dan tidak pernah sekalipun menyinggung keterlambatan para santri atau membuat mereka merasa tersinggung.
Sebagai seorang kiai, Yai Rin tidak menunjukkan sikap elitis. Ia tetap rendah hati dan menghargai santri, sesuai dengan pepatah Jawa "ojo dumeh," yang berarti jangan sombong karena kedudukan atau status.
Yai Rin, yang dikenal sebagai sosok murah senyum, selalu menunjukkan rasa hormat dan menghargai para santri maupun alumni pondok pesantren yang diasuhnya. Salah satu alumni, Arief, mengisahkan betapa dirinya merasa dihargai oleh Yai Rin, terutama ketika Yai Rin datang menemuinya sebelum keberangkatannya menunaikan ibadah haji, beberapa bulan sebelum Yai Rin wafat. Momen tersebut sangat berkesan bagi Arief, karena menunjukkan kepedulian dan perhatian Yai Rin kepada para santrinya, bahkan setelah mereka lulus.
“Beliau yang pertama kali mendoakan saya ketika tahu mau berangkat haji, jelang Maghrib bersama bu nyai beliau mendatangi rumah kami, santri tiba-tiba didatangi oleh kyainya, siapa yang tidak terharu coba? ” ungkap Arief dengan nada sedih.
Menurutnya banyak sosok kehilangan, meski bukan santri atau warga setempat.
“Saat ada berita yai Rin meninggal, saya ditelpon oleh teman yang tak ada hubungannya sama sekali dengan beliau, sekan terpukul dengan wafat beliau,” sambungnya.
Pesan terakhir dalam kajian bersama warga
Selain mengasuh pondok pesantren, Yai Rin secara rutin mengadakan kajian mingguan di rumahnya, yang terletak di sebelah Masjid Besar Al Amin Tugurejo. Ini merupakan salah satu contoh keteladanan Yai Rin sebagai kyai yang tidak elitis, selalu berkhidmat, dan memberikan manfaat langsung kepada masyarakat.
Bahkan, sepuluh hari sebelum wafat, meski dalam kondisi sakit, Yai Rin tetap konsisten mengisi kajian untuk warga. Pada kajian terakhir tersebut, Yai Rin membahas tema yang seolah menjadi pertanda akan kembalinya manusia kepada Sang Pencipta, yaitu tentang tujuh golongan orang yang akan dilindungi dari panasnya matahari saat di Padang Mahsyar.
Hal tersebut diceritakan oleh Ust. H. Qolyubi Asyikin, saat mengikuti pengajian di rumah Yai Rin
“Pada pengajian terakhir, beliau mengulas tentang golongan yang dinaungi dari terik matahari saat di Padang Mahsyar,” ujarnya.
Dalam pengajiannya, Yai Rin menjelaskan tentang tujuh golongan yang mendapat perlindungan di Padang Mahsyar. Di antaranya adalah pemimpin yang adil, pemuda yang selalu beribadah kepada Allah, dan seorang pria yang hatinya selalu terpaut dengan masjid, yakni yang senang beribadah di sana.
Selain itu, ada dua orang laki-laki yang berkumpul dan berpisah karena Allah, seorang lelaki yang menahan diri dari godaan perempuan karena takut melanggar perintah Allah, serta seseorang yang menyembunyikan sedekahnya. Golongan terakhir adalah orang yang, ketika mengingat Allah, merasa takut akan siksa api neraka.
Sayangnya, Yai Rin, sosok yang begitu istiqamah dalam mengasuh santri dan membimbing masyarakat, telah berpulang ke hadirat Ilahi Rabbi bersama seluruh amal kebaikannya. Beliau wafat di usia 65 tahun, pada Selasa malam, 15 Oktober 2024.
Semoga kepergian Yai membawa inspirasi bagi munculnya lebih banyak kyai yang istiqamah dan tulus dalam berdakwah, meneruskan perjuanganmu untuk membimbing santri dan umat.
Terpopuler
1
Amalan yang Dilakukan pada Malam Nisfu Sya’ban
2
Doa Mustajab di Malam Nisfu Sya’ban yang Dibaca Syekh Abdul Qadir Al-Jilani
3
Muslimat NU Rayakan Nisfu Syaban di Kongres Ke-18 dengan Pemberian Ijazah Amalan
4
Kiai Aniq Muhammadun: Jangkar Fiqh NU , Sang Penjaga Tradisi
5
Rutinan Muslimat-Fatayat Padasari: Semangat Berjam’iyah Sambut Ramadhan
6
Pengukuhan Ranting Fatayat NU Juwiring Klaten, Awal Berkhidmah dan Mendakwahkan Islam Ahlusunah wal Jama’ah
Terkini
Lihat Semua