• logo nu online
Home Warta Nasional Keislaman Regional Opini Kiai NU Menjawab Dinamika Taushiyah Obituari Fragmen Tokoh Sosok Mitra
Jumat, 29 Maret 2024

Nasional

Halaqah Fiqih Peradaban, Rais PBNU: Perlunya Fiqih Baru untuk Peradaban Baru

Halaqah Fiqih Peradaban, Rais PBNU: Perlunya Fiqih Baru untuk Peradaban Baru
Halaqah Fiqih Peradaban di Pesatren APIK kaliwungu, Kendal (Foto: NU Online Jateng/Faiz)
Halaqah Fiqih Peradaban di Pesatren APIK kaliwungu, Kendal (Foto: NU Online Jateng/Faiz)

Kendal, NU Online Jateng
Dalam serangkaian peringatan satu abad Nahdlatul Ulama, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menggelar Halaqah Fiqih Peradaban di 250 pesantren di Indonesia untuk ikut berkontribusi memikirkan masa depan keberagamaan umat Islam. 


Pesantren salaf APIK Kaliwungu mendapatkan giliran untuk menjadi salah satu lokasi digelarnya Halaqah Fiqih Peradaban di Jawa Tengah pada Sabtu (5/11/2022). Halaqah yang mengangkat tema 'Fiqih Siyasah dan Kenagaraan' ini digelar bertepatan dengan Haul Akbar KH Ahmad Rukyat, Pengasuh ke-2 Pesantren APIK.


Rais Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Abdul Ghofur Maimoen atau akrab dipanggil Gus Ghofur menyampaikan bahwa peradaban itu berkaitan dengan warisan umat untuk masa yang akan datang.


"Misalnya selama ini para santri mengkaji kitab Fathul Qarib dan lainya berarti sedang menerima konsep pemikiran fiqih pada masa itu. Secara umum peradaban itu segala sesuatu yang kita warisi dari manusia-manusia akan membentuk sebuah peradaban," ujarnya. 


Menurutnya, umat Islam mewarisi kitab fathul qarib, Al-Qur’an, sunnah rasul, mewarisi Wali Songo, mewarisi Majapahit, Singosari, dan Sriwijaya. "Yang kita warisi ini adalah modal kita untuk menghadapi kondisi alam sekarang ini kita menghadapi dunia saat ini,” ungkap kiai asal Sarang itu.


Ia juga menyampaikan bahwa manusia berada dalam konstruksi dunia yang berbeda dengan dahulu mestinya juga ada pembaharuan-pembaharuan yang bisa menjawab problematika saat ini tentu saja kondisi saat ini tidak seperti kondisi dahulu. Namun ia juga menyampaikan bahwa jawaban Fiqih yang diperlukan tidak hanya berhenti pada boleh atau tidak saja melainkan memikirkan lebih lanjut mengenai efek atau dampak dari keputusan tersebut. 


“Tentu yang kita harapkan itu bukan ini boleh atau tidak boleh tetapi juga berfikir apa yang akan kita wariskan untuk generasi setelah kita. Misalnya perempuan mendapatkan 30% di DPR itu tiba-tiba santri mengatakan tidak boleh hukumnya perempuan menjabat di DPR itu hampir pasti yang ada di DPR itu bukan santri," ucapnya.


Itu artinya menyerahkan 30% bukan santri, jadi kita tidak berfikir boleh atau tidak tapi kita berfikir hasil atau dampak dari berfikirnya akan seperti apa. PBB itu halal apa haram, karena PBB itu tidak ada ceritanya di zaman Nabi saw kalau tiba kita mengatakan PBB itu haram atau muslim tidak boleh ikut PBB itu artinya kita menyerahkan seluruh anggota PBB itu di dominasi orang non muslim.


Kiai muda lulusan Mesir itu juga menjelaskan soal permasalahan sistem ekonomi di Indonesia yang super rumit apabila dipandang dalam kaca maca hukum Islam. Ia memantik bagaimana fiqih menghadapi sistem ekonomi yang berkembang di dunia ini khususnya Indonesia. Dalam fiqih klasik yang dikaji di pesantren umumnya mengatakan tidak sah karena tidak ada unsur syari`atnya.


“Sistem ekonomi dengan segala kerumitanya, kalau kita berkata sistem yang sekarang ini tidak ada unsur syari`at dan hukumnya haram dan kita tidak boleh mengikuti itu sama sekali. Itu artinya sama. dengan sistem keuangan di Indonesia itu hampir pasti akan kita serahkan kepada orang-orang non santri dan itu juga berfikir ikut atau tidak ikut tapi kita berfikir hasil peradabanya ketika kita tidak ikut itu akan seperti apa,” tegasnya.


Pada akhirnya Gus Ghofur memberikan insaigh bahwa Fiqih Peradaban tidak hanya berhenti pada hukum halal, haram, boleh, tidak boleh, melainkan pada tahap memikirkan dampak yang akan terjadi selanjutnya. Oleh karena itu Fiqih Peradaban menjadi pekerjaan rumah (PR) bersama untuk memberikan warisan kepada generasi sekarang dan selanjutnya.


“Jadi dalam kesimpulanya Fiqih Hadlarah atau Fiqih Peradaban itu tidak hanya berfikir iya atau tidak, boleh atau tidak boleh tapi tentang hasilnya ketika ikut seperti apa dan kalau tidak ikut seperti apa,” ucapnya.

 
Pengasuh Pesantren APIK Kaliwungu, Kendal KH Sholahuddin Humaidullah menyambut baik dengan digelarnya acara Halaqah ini. Kiai Sholahuddin menyampaikan bahwa perkumpulan halaqah ini adalah bentuk kontribusi kita untuk kemaslahatan umum.


“Kita musyawarah mengawal dan meneruskan dari apa yang sudah diijtihadi oleh para pendiri bangsa di dalamnya ada beberapa ulama dari NU bahkan sebelum kemerdekaan sudah ada atau aktif dengan kaitanya kebangsaan, masyarakan dan negara. Sekalipun negara belum berdiri tapi putusan-putusanya sudah ada untuk masyarakat secara umum,” pungkas kiai alumni Lirboyo itu.


Pengirim: Abdullah Faiz


Nasional Terbaru