Keislaman

Teladan Keilmuan dan Ketakwaan Asma’ binti ‘Umais dalam Cahaya Ramadhan

Sabtu, 8 Maret 2025 | 16:00 WIB

Dalam sejarah Islam, banyak wanita yang memainkan peran penting dalam penyebaran dan perjuangan agama. Mereka beriman sejak awal dan menghadapi berbagai cobaan dengan kesabaran dan keteguhan hati. Salah satu wanita yang patut dikenang dalam hal ini adalah Asma' binti Umais, seorang sahabat yang memiliki keutamaan besar dalam Islam. Ia adalah sosok yang dikenal karena ketakwaannya dan perjalanan hidupnya yang penuh dengan ucapan syukur.


Asma’ binti Umais termasuk di antara wanita pertama yang memeluk Islam. Bahkan, ia telah masuk Islam sebelum Rasulullah saw mulai berdakwah secara terbuka di Darul Arqam. Keimanannya yang teguh membuatnya rela meninggalkan tanah kelahirannya dan berhijrah ke Habasyah (Ethiopia) bersama suaminya, Ja‘far bin Abi Thalib. Hijrah ini bukanlah perjalanan yang mudah, sebab mereka harus meninggalkan keluarga dan harta demi mempertahankan keimanan mereka kepada Allah swt.


Di negeri Habasyah, Asma’ menjalani kehidupan yang penuh dengan kesetiaan kepada suaminya dan keteguhan dalam berpegang pada agama Islam. Ia turut merasakan berbagai tantangan yang dihadapi oleh kaum Muslimin di sana, terutama ketika utusan dari Quraisy datang membawa hadiah untuk Raja Najasyi dengan maksud agar kaum muslimin diusir dan dikembalikan ke Mekkah. Dalam situasi penuh ketegangan itu, Asma’ tetap bersabar dan percaya kepada keadilan Allah swt, hingga akhirnya kaum muslimin tetap mendapat perlindungan dari Raja Najasyi.


Selain dikenal sebagai wanita yang teguh dalam keimanan, Asma’ juga memiliki kedudukan yang istimewa dalam silsilah nasab dan pernikahannya. Setelah suaminya, Ja‘far bin Abi Thalib, gugur dalam Perang Mu‘tah, ia kemudian menikah dengan Abu Bakar Ash-Shiddiq, sahabat yang paling dekat dengan Rasulullah saw. Setelah Abu Bakar wafat, Asma’ menikah dengan Ali bin Abi Thalib, menjadikannya sebagai wanita yang memiliki hubungan dengan tiga sosok sahabat mulia dalam Islam.

Dalam sejarah Islam, banyak wanita yang memainkan peran penting dalam penyebaran dan perjuangan agama. Mereka beriman sejak awal dan menghadapi berbagai cobaan dengan kesabaran dan keteguhan hati. Salah satu wanita yang patut dikenang dalam hal ini adalah Asma' binti Umais, seorang sahabat yang memiliki keutamaan besar dalam Islam. Ia adalah sosok yang dikenal karena ketakwaannya dan perjalanan hidupnya yang penuh dengan ucapan syukur.


Asma’ binti Umais termasuk di antara wanita pertama yang memeluk Islam. Bahkan, ia telah masuk Islam sebelum Rasulullah saw mulai berdakwah secara terbuka di Darul Arqam. Keimanannya yang teguh membuatnya rela meninggalkan tanah kelahirannya dan berhijrah ke Habasyah (Ethiopia) bersama suaminya, Ja‘far bin Abi Thalib. Hijrah ini bukanlah perjalanan yang mudah, sebab mereka harus meninggalkan keluarga dan harta demi mempertahankan keimanan mereka kepada Allah swt.


Di negeri Habasyah, Asma’ menjalani kehidupan yang penuh dengan kesetiaan kepada suaminya dan keteguhan dalam berpegang pada agama Islam. Ia turut merasakan berbagai tantangan yang dihadapi oleh kaum Muslimin di sana, terutama ketika utusan dari Quraisy datang membawa hadiah untuk Raja Najasyi dengan maksud agar kaum muslimin diusir dan dikembalikan ke Mekkah. Dalam situasi penuh ketegangan itu, Asma’ tetap bersabar dan percaya kepada keadilan Allah swt, hingga akhirnya kaum muslimin tetap mendapat perlindungan dari Raja Najasyi.


Selain dikenal sebagai wanita yang teguh dalam keimanan, Asma’ juga memiliki kedudukan yang istimewa dalam silsilah nasab dan pernikahannya. Setelah suaminya, Ja‘far bin Abi Thalib, gugur dalam Perang Mu‘tah, ia kemudian menikah dengan Abu Bakar Ash-Shiddiq, sahabat yang paling dekat dengan Rasulullah saw. Setelah Abu Bakar wafat, Asma’ menikah dengan Ali bin Abi Thalib, menjadikannya sebagai wanita yang memiliki hubungan dengan tiga sosok sahabat mulia dalam Islam.


Asma dan Ramadhan

Diadaptasi dari kitab نساء شهيرات (Wanita-Wanita Terkenal), berikut kisah inspiratif tentang Asma’ binti Umais—seorang wanita yang dikenal karena kecerdasannya, ketakwaannya, serta keteguhan hatinya. Kisahnya begitu erat dengan suasana Ramadan, mencerminkan keimanan dan keteguhan yang menjadi teladan bagi banyak generasi.

"وهي بالإضافة لزوجها جعفر بن أبي طالب، فقد تزوجت بعده من أبي بكر الصديق خليفة المسلمين الأول، وقد كانت أثيرة لديه، وذات مكانة مرموقة، وظلت إلى جانبه حتى توفي، فقامت بغسله بناء على وصيته، وبعد وفاة أبي بكر تزوجها علي بن أبي طالب."  (نساء شهيرات، السيد محمد بن علوي العيدوس (سعد). ص.19)


Artinya: Asma’ binti Umais merupakan salah satu wanita istimewa dalam sejarah Islam. Ia memiliki peran besar dalam perjalanan dakwah, tidak hanya sebagai istri dari tiga tokoh besar Islam Ja‘far bin Abi Thalib, Abu Bakar Ash-Shiddiq, dan Ali bin Abi Thalib tetapi juga sebagai wanita yang dikenal dengan keilmuan, keteguhan iman, serta ketulusan dalam beribadah. Ketika bulan Ramadhan tiba, ia semakin meningkatkan ibadahnya, memperbanyak shalat malam, membaca Al-Qur’an, dan memperdalam ilmunya. Ramadan bagi Asma’ bukan hanya bulan menahan diri dari makan dan minum, tetapi juga momen untuk mendekatkan diri kepada Allah swt dan meningkatkan ketakwaan.


"تعتبر من أنجب النساء وأسناهن رأياً، وأنفذهن في دين الله، ذات قول فصل وعلم مكين." (نساء شهيرات، السيد محمد بن علوي العيدوس (سعد). ص.19)


Artinya, "Ia termasuk di antara wanita yang paling cerdas dan paling bijaksana dalam pendapatnya, serta yang paling kuat dalam memahami agama Allah. Ia memiliki perkataan yang tegas dan ilmu yang mendalam."


Maka sebagai wanita yang bijaksana dan berilmu, Asma’ memahami bahwa Ramadhan adalah waktu untuk memperkuat hubungan dengan Allah dan memanfaatkan kesempatan ini untuk semakin mendalami ajaran Islam. Dikisahkan bahwa para sahabat sering datang kepadanya untuk meminta nasihat, termasuk Khalifah Umar bin Khattab yang meminta tafsir mimpi darinya. Di bulan Ramadan, ia memperbanyak dzikir dan doa, serta mengajarkan ilmu kepada orang-orang di sekitarnya. Keistimewaan Asma’ ini mengajarkan bahwa seorang wanita dapat berkontribusi dalam keilmuan dan dakwah, sekaligus tetap menjaga ibadah dan ketakwaannya.


"يذكر أن عمر بن الخطاب، كان يأتي إليها دائماً لتفسر له رؤياه. فقالت: ما رأيت شاباً من العرب خيراً من جعفر، ولا رأيت كهلاً خيراً من أبي بكر." (نساء شهيرات، السيد محمد بن علوي العيدوس (سعد). ص.19)


Artinya, "Disebutkan bahwa Umar bin Khattab sering datang kepadanya untuk meminta tafsir mimpi. Lalu ia (Asma’ binti ‘Umais) berkata: 'Aku tidak pernah melihat pemuda Arab yang lebih baik daripada Ja‘far, dan aku tidak pernah melihat pria dewasa yang lebih baik daripada Abu Bakar.’"


Dalam kehidupan rumah tangganya, Asma’ juga menunjukkan keteguhan dan kebijaksanaan. Ketika menjadi istri Ali bin Abi Thalib, terjadi perbedaan pendapat antara dua putranya; Muhammad bin Ja‘far dan Muhammad bin Abu Bakar. Ali pun meminta Asma’ untuk menjadi penengah dalam permasalahan tersebut. Jawabannya menunjukkan kejujuran dan sikap adilnya, bahwa ia tetap menghormati dan mengenang kebaikan suami-suaminya sebelumnya.


Ketika bulan Ramadhan tiba, Asma’ juga meningkatkan ibadah malamnya, sebagaimana para ulama dan orang-orang saleh di masanya. Ia memahami bahwa sepuluh hari terakhir Ramadhan adalah kesempatan terbaik untuk mencari malam Lailatul Qadar. Dalam keluarganya, ia selalu mengajarkan pentingnya memanfaatkan bulan suci ini untuk ibadah, introspeksi diri, dan memperbanyak amal saleh. Ia mengingatkan anak-anaknya bahwa Ramadhan bukan hanya tentang berpuasa, tetapi juga tentang membersihkan hati dan jiwa dari segala keburukan.


Keteguhan dan ketakwaan Asma’ juga terlihat dalam kesetiaannya terhadap nilai-nilai Islam. Ketika terjadi perbedaan pendapat antara anak-anaknya, ia tetap bersikap adil dan tidak memihak. Hal ini mencerminkan bagaimana ia memanfaatkan hikmah dan kebijaksanaannya dalam menghadapi berbagai situasi, termasuk dalam membimbing keluarganya di bulan Ramadhan. 


Kisah hidup Asma’ binti Umais memberikan teladan bahwa ketakwaan dan keilmuan harus berjalan beriringan dalam kehidupan seorang Muslim. Ia bukan hanya dikenal sebagai istri dari tokoh-tokoh besar Islam, tetapi juga sebagai sosok yang memiliki kecerdasan, kesabaran, dan keteguhan dalam menjalani kehidupan. Ramadan bagi Asma’ bukan sekadar bulan ibadah, tetapi juga momen untuk memperkuat hubungan dengan Allah dan memperdalam ilmu. Keistiqomahannya dalam menjalankan ajaran Islam menunjukkan bahwa seorang Muslimah dapat berperan aktif dalam dakwah tanpa melupakan tugasnya sebagai istri dan ibu. Kisahnya menjadi inspirasi bagi kita semua dalam memanfaatkan bulan suci Ramadhan untuk semakin mendekatkan diri kepada Allah dan meneladani semangat keimanan serta keteguhan hatinya.
 

Diadaptasi dari kitab نساء شهيرات (Wanita-Wanita Terkenal), berikut kisah inspiratif tentang Asma’ binti Umais—seorang wanita yang dikenal karena kecerdasannya, ketakwaannya, serta keteguhan hatinya. Kisahnya begitu erat dengan suasana Ramadan, mencerminkan keimanan dan keteguhan yang menjadi teladan bagi banyak generasi.

"وهي بالإضافة لزوجها جعفر بن أبي طالب، فقد تزوجت بعده من أبي بكر الصديق خليفة المسلمين الأول، وقد كانت أثيرة لديه، وذات مكانة مرموقة، وظلت إلى جانبه حتى توفي، فقامت بغسله بناء على وصيته، وبعد وفاة أبي بكر تزوجها علي بن أبي طالب."  (نساء شهيرات، السيد محمد بن علوي العيدوس (سعد). ص.19)


Artinya: Asma’ binti Umais merupakan salah satu wanita istimewa dalam sejarah Islam. Ia memiliki peran besar dalam perjalanan dakwah, tidak hanya sebagai istri dari tiga tokoh besar Islam Ja‘far bin Abi Thalib, Abu Bakar Ash-Shiddiq, dan Ali bin Abi Thalib tetapi juga sebagai wanita yang dikenal dengan keilmuan, keteguhan iman, serta ketulusan dalam beribadah. Ketika bulan Ramadhan tiba, ia semakin meningkatkan ibadahnya, memperbanyak shalat malam, membaca Al-Qur’an, dan memperdalam ilmunya. Ramadan bagi Asma’ bukan hanya bulan menahan diri dari makan dan minum, tetapi juga momen untuk mendekatkan diri kepada Allah swt dan meningkatkan ketakwaan.


"تعتبر من أنجب النساء وأسناهن رأياً، وأنفذهن في دين الله، ذات قول فصل وعلم مكين." (نساء شهيرات، السيد محمد بن علوي العيدوس (سعد). ص.19)


Artinya, "Ia termasuk di antara wanita yang paling cerdas dan paling bijaksana dalam pendapatnya, serta yang paling kuat dalam memahami agama Allah. Ia memiliki perkataan yang tegas dan ilmu yang mendalam."


Maka sebagai wanita yang bijaksana dan berilmu, Asma’ memahami bahwa Ramadhan adalah waktu untuk memperkuat hubungan dengan Allah dan memanfaatkan kesempatan ini untuk semakin mendalami ajaran Islam. Dikisahkan bahwa para sahabat sering datang kepadanya untuk meminta nasihat, termasuk Khalifah Umar bin Khattab yang meminta tafsir mimpi darinya. Di bulan Ramadan, ia memperbanyak dzikir dan doa, serta mengajarkan ilmu kepada orang-orang di sekitarnya. Keistimewaan Asma’ ini mengajarkan bahwa seorang wanita dapat berkontribusi dalam keilmuan dan dakwah, sekaligus tetap menjaga ibadah dan ketakwaannya.


"يذكر أن عمر بن الخطاب، كان يأتي إليها دائماً لتفسر له رؤياه. فقالت: ما رأيت شاباً من العرب خيراً من جعفر، ولا رأيت كهلاً خيراً من أبي بكر." (نساء شهيرات، السيد محمد بن علوي العيدوس (سعد). ص.19)


Artinya, "Disebutkan bahwa Umar bin Khattab sering datang kepadanya untuk meminta tafsir mimpi. Lalu ia (Asma’ binti ‘Umais) berkata: 'Aku tidak pernah melihat pemuda Arab yang lebih baik daripada Ja‘far, dan aku tidak pernah melihat pria dewasa yang lebih baik daripada Abu Bakar.’"


Dalam kehidupan rumah tangganya, Asma’ juga menunjukkan keteguhan dan kebijaksanaan. Ketika menjadi istri Ali bin Abi Thalib, terjadi perbedaan pendapat antara dua putranya; Muhammad bin Ja‘far dan Muhammad bin Abu Bakar. Ali pun meminta Asma’ untuk menjadi penengah dalam permasalahan tersebut. Jawabannya menunjukkan kejujuran dan sikap adilnya, bahwa ia tetap menghormati dan mengenang kebaikan suami-suaminya sebelumnya.


Ketika bulan Ramadhan tiba, Asma’ juga meningkatkan ibadah malamnya, sebagaimana para ulama dan orang-orang saleh di masanya. Ia memahami bahwa sepuluh hari terakhir Ramadhan adalah kesempatan terbaik untuk mencari malam Lailatul Qadar. Dalam keluarganya, ia selalu mengajarkan pentingnya memanfaatkan bulan suci ini untuk ibadah, introspeksi diri, dan memperbanyak amal saleh. Ia mengingatkan anak-anaknya bahwa Ramadhan bukan hanya tentang berpuasa, tetapi juga tentang membersihkan hati dan jiwa dari segala keburukan.


Keteguhan dan ketakwaan Asma’ juga terlihat dalam kesetiaannya terhadap nilai-nilai Islam. Ketika terjadi perbedaan pendapat antara anak-anaknya, ia tetap bersikap adil dan tidak memihak. Hal ini mencerminkan bagaimana ia memanfaatkan hikmah dan kebijaksanaannya dalam menghadapi berbagai situasi, termasuk dalam membimbing keluarganya di bulan Ramadhan. 


Kisah hidup Asma’ binti Umais memberikan teladan bahwa ketakwaan dan keilmuan harus berjalan beriringan dalam kehidupan seorang Muslim. Ia bukan hanya dikenal sebagai istri dari tokoh-tokoh besar Islam, tetapi juga sebagai sosok yang memiliki kecerdasan, kesabaran, dan keteguhan dalam menjalani kehidupan. Ramadan bagi Asma’ bukan sekadar bulan ibadah, tetapi juga momen untuk memperkuat hubungan dengan Allah dan memperdalam ilmu.

 

Keistiqomahannya dalam menjalankan ajaran Islam menunjukkan bahwa seorang Muslimah dapat berperan aktif dalam dakwah tanpa melupakan tugasnya sebagai istri dan ibu. Kisahnya menjadi inspirasi bagi kita semua dalam memanfaatkan bulan suci Ramadhan untuk semakin mendekatkan diri kepada Allah dan meneladani semangat keimanan serta keteguhan hatinya.