Pada penghujung tahun 1962, seperti saat ini, untuk kali kedua, Kota Sala dipilih sebagai tuan rumah penyelenggaraan Muktamar Nahdlatul Ulama (NU). Sebelumnya, pada tahun 1935, di Kota Bengawan juga pernah dihelat penyelenggaraan Muktamar NU yang kesepuluh.
Baca juga:
- Muktamar NU dari Masa ke Masa (1)
- Untuk Pertama Kalinya, Muktamar NU Dihelat di Jawa Tengah (2)
- Muktamar NU Tahun 1930 di Pekalongan Dihadiri Ribuan Ulama (3)
- Kota Bengawan Jadi Tuan Rumah Muktamar NU Tahun 1935 (4)
Buku Petundjuk Mu’tamar ke-XXIII Partai Nahdlatul Ulama yang diterbitkan Sekretariat Panitia Muktamar ke 23 NU (1962), memberi banyak gambaran menarik terkait dinamika muktamar yang diadakan di tengah situasi politik di dalam negeri yang semakin hangat dengan adanya Kabinet Nasakom, juga masih dalam semangat Trikora (Tri Komando Rakyat).
Sebelumnya, telah dibentuk sebuah kepanitiaan yang memadukan para pengurus NU, baik dari pusat, wilayah (Jawa Tengah) dan wilayah Karesidenan Surakarta. Adapun susunan panitia sebagai berikut:
Pelindung (keduanya dari PBNU): 1. KH Wahab Chasbullah (Rais Aam), 2. KH Idham Chalid (Ketua PBNU)
Penasihat (para kiai dari wilayah Solo dan sekitarnya, atau yang pernah nyantri di Solo), mereka yakni:
1. KH Ma’ruf (Pengasuh Pesantren Jenengan/Rais Syuriah PCNU Surakarta)
2. KH Dimyati al-Karim (Madrasah Salafiyah Mangkunegaran/pernah menjadi Syuriah PBNU)
3. KH Ahmad Umar Abdul Mannan (Pengasuh Pesantren Mangkuyudan)
4. KH Hilal (Rais Syuriah PCNU Sukoharjo), KH Imron Rosjadi (PBNU)
5. KH Jasin (Menantu KH Manshur Popongan/PCNU Surakarta)
6. KH Asy’ari (Tegalsari Laweyan/ PCNU Surakarta)
Supervisor:
1. KH Munir Abisudjak
2. Mursjidi Effendi
3. Nyai Hj Mahmudah Mawardi (Ketua PP Muslimat NU/ Asli Keprabon Solo)
4. Wirjosumarto
Ketua Umum: H Imam Sofwan (Ketua Konsul/PWNU Jateng)
Ketua I: KH Muchtar Rosjidi (Ketua Tanfidziyah PCNU Surakarta)
Dan seterusnya..
Muktamar dilaksanakan di kompleks Dalem Kusumojudan (kini Kusuma Sahid Prince Hotel). Sedangkan acara resepsi pembukaan Mu’tamar digelar di Gedung Balai Kotapradja Surakarta. Dalam sambutannya, Ketua Umum PBNU KH Idham Chalid menyitir salah satu kalimat orang Jawa alon-alon jen kelakon.
Menurutnya, di situasi politik era Demokrasi Terpimpin, kala itu, mesti hati-hati dalam mengambil sikap. Sebab, NU diibaratkan sebagai sebuah bangunan yang tidak didirikan untuk masa singkat, tetapi untuk jangka panjang.
"... Alon-alon bukan karena kemalasan dan kelambatan, tetapi karena kebidjaksanaan dan pertimbangan yang teliti. Alon-alon jang berarti tidak grusa-grusu. Tidak terburu-buru asal bertindak dengan tanpa perhitungan akal jang sehat. Alon-alon karena sadar bahwa jang akan dibangun bukan rumah dari bambu untuk menginap sementara, tetapi jang mendjadi tudjuan ialah gedong yang besar, kukuh, teguh, berangka besi beton jang tak lapuk karena hudjan, tak laju karena panasnja masa!"
Pidato Mbah Wahab dan Bung Karno
Sementara itu, Rais Aam PBNU Kiai Wahab Chasbullah dalam pidatonya, berharap muktamar kali ini menjadi pendorong yang kuat bagi NU agar terus berkembang maju di seluruh pelosok Tanah Air. Ia juga mengingatkan akan pentingnya persatuan, khususnya di kalangan umat Islam.
“ ... Perdjuangan dan pekerdjaan serta tanggung djawab didasarkan atas hadist Rasulullah SAW jang artinya : “Ummat Islam itu semisal satu badan, apabila salah satu anggauta mengeluh kesakitan akan terasalah seluruh badan dengan rasa demam dan kurang tidur”. Dan sabdanja jang artinja : “Ummat Islam itu semisal satu bangunan satu sama lain saling memperkuat”. Pun sabdanja pula jang artinja : “Dan selama Ummat Islam berdiri tegak di atas agama Allloh, selama itu pula tak akan dapat diganggu oleh siapapun jang menentangnja sampai besuk hari kiamat”.
Bung Karno tiba di lokasi Muktamar NU, di Solo tahun 1962
Kemudian di hari Jumat, tanggal 28 Desember 1962, Presiden Soekarno yang hadir dalam Muktamar Solo menyampaikan ungkapan kecintaannya kepada NU, seperti halnya yang sering ia lakukan kala memberi sambutan saat diundang organisasi lain.
“... Saudara-saudara sesudah bersenda gurau demikian saya Insya Allah hendak memberi amanat pada Mu’tamar Nahdlatul Ulama. Sekarang hari Jumat, sehingga amanat saya itu tidak dan tidak boleh melewati jam 12... Saya sangat cinta sekali kepada NU. Saya sangat gelisah jika ada orang yang mengatakan bahwa dia tidak cinta kepada NU. Meski harus merayap, saya akan tetap datang ke muktamar ini, agar orang tidak meragukan kecintaan saya kepada NU!”
Baca juga:
- Pidato Bung Karno pada Muktamar NU di Solo: Saya Cinta Sekali pada NU (5)
- Kerja Sama Kiai dan Warga, Kunci Sukses Terselenggaranya Muktamar tahun 1939 (6)
Bung Karno juga menyinggung peran penting NU dalam upaya perjuangan merebut Irian Barat dari Belanda. Ia menyampaikan apresiasi atas saran yang telah diberikan Kiai Wahab yang dikenal dengan “Diplomasi Cancut Tali Wondo”.
"Baik ditinjau dari sudut agama, nasionalisme, maupun sosialisme. NU memberi bantuan yang sebesar-besarnya. Malahan, ya memang benar, ini lho pak Wahab ini bilang sama saya waktu di DPA dibicarakan berunding apa tidak dengan Belanda mengenai Irian Barat, beliau mengatakan: jangan politik keling. Atas advis anggota DPA yang bernama Kiai Wahab Hasbullah itu, maka kita menjalankan Trikora dan berhasil saudara-saudara!”
Demikianlah, Muktamar ke-23 NU di Kota Solo, akhirnya dapat berjalan hingga selesai. Muktamar di Solo ini sekaligus menjadi Muktamar yang terakhir di era Presiden Soekarno. Pada tahun 1967, NU baru bisa menyelenggarakan Muktamar berikutnya, ketika Soeharto sudah menjabat sebagai presiden, yang menandai lahirnya Orde Baru. Sebuah rezim yang justru melanggengkan sistem neo-kolonialisme di negeri ini.
Penulis: Ajie Najmuddin
Editor: M Ngisom Al-Barony