Fragmen KILAS BALIK MUKTAMAR NU

Kota Bengawan Jadi Tuan Rumah Muktamar NU Tahun 1935 (4)

Ahad, 5 Desember 2021 | 11:00 WIB

Kota Bengawan Jadi Tuan Rumah Muktamar NU Tahun 1935 (4)

Sampul pada buku hasil Kongres ke-10 NU di Kota Solo, tahun 1935. (Dok. NU Online Jateng/ Ajie)

Pada tanggal 13-19 April 1935 M / 9-14 Muharram 1354 H, Kota Solo yang kala itu masih menjadi ibu kota Kerajaan Kasunanan Surakarta dan dipimpin Paku Buwana X, terpilih sebagai tuan rumah penyelenggara Congres atau Muktamar Nahdlatul Ulama ke-10. Proses persiapan dan dinamika penyelenggaraan Muktamar kesepuluh ini tercatat lengkap dalam buku Poeteosan Congres Nahdlatoel ‘Oelama’ ka 10 di Solo Soerakarta Tanggal 13-19 April 1935 yang diterbitkan oleh Hoofd-Bestuur Nahdlatoel Oelama’ (HBNO).

 

Baca juga:

Muktamar NU dari Masa ke Masa (1)

 

Catatan mengenai kongres di Solo, dimulai dari pembahasan rumah (lokasi) penyelenggaraan muktamar, yakni di rumah Kanjeng Gusti Surya Sugiyantan Mangkunegaran. Rumah Kanjeng Gusti Surya Sugiyanta putra KPPA Mangkunegara V (Lahir 1887 M), terletak di Giyantan (di masa kini terletak sekitar SMA Muhammadiyah 1 Surakarta, pen). Kemudian juga Masjid Agung Kasunanan dan Masjid Mangkunegaran yang digunakan untuk acara lokasi Openbaar (pengajian umum).

 

Meskipun penyelenggaraan muktamar dilaksanakan di Kota Solo, namun beberapa cabang terdekat seperti Klaten dan Boyolali juga ikut membantu cabang Solo dalam melayani para tamu serta kelancaran pelaksanaan muktamar. Penyelenggaraan Muktamar NU di Kota Solo ini tercatat yang ketiga kalinya diadakan di Jawa Tengah, setelah Semarang dan Pekalongan pada tahun 1929 dan 1930.

 

Untuk Pertama Kalinya, Muktamar NU Dihelat di Jawa Tengah (2)

Muktamar NU Tahun 1930 di Pekalongan Dihadiri Ribuan Ulama (3)

 

Kemudian untuk memudahkan koordinasi, dibentuklah sebuah kepanitiaan (lajnah/komite) lokal kongres yang terdiri dari 3 cabang, yakni Solo, Boyolali, dan Klaten. Adapun sebagai voorzitter (ketua) panitia dipilihlah nama KH Masthur, dengan didampingi Kiai Habib (Mangkunegaran) sebagai wakil ketua, dan Mas Ngabehi Mohd. Soleh (Pengulu / Ketua Tanfidziyah NU Boyolali).

 

Masing-masing perwakilan dari ketiga cabang ini kemudian membagi tugas, baik waktu jadwal (shift) tugas maupun penyediaan fasilitas. Untuk pembagian waktu, selama hampir seminggu pelaksanaan muktamar, ada yang hanya mengambil tugas untuk satu hari saja, ada yang dua hingga tiga hari, serta adapula yang siap mengambil tugas pelayanan penuh selama muktamar berlangsung.

 

Bermacam keperluan yang disiapkan untuk para tamu, di antaranya bantal guling disediakan dari cabang Boyolali, Klaten dan Solo. Sedangkan untuk tikar, babut (karpet), dampar, dan lain-lainnya diusahakan oleh cabang Solo. Semuanya ini disediakan dengan gratis.

 

Siaran Radio

Penyelenggaraan Muktamar ke-10 Nahdlatul Ulama (NU) di Kota Solo, selain membahas tentang hukum mendengarkan dan memiliki radio, juga untuk pertama kalinya kegiatan besar NU disiarkan secara langsung melalui corong radio.

 

Adanya siaran dari radio ini, tentu menjadi peluang berharga, untuk semakin mengenalkan NU kepada khalayak luas. Di sisi lain, penggunaan alat radio pada penyelenggaraan muktamar ini, menjadi pertanda bahwa ulama NU tidak bersifat kaku terhadap perkembangan teknologi.

 

Pengunaan radio dalam penyelenggaraan Muktamar ke-10 ini, sebagaimana tercatat lengkap dalam buku Poeteosan Congres Nahdlatoel ‘Oelama’ ka 10 di Solo Soerakarta Tanggal 13-19 April 1935 yang diterbitkan oleh Hoofd-Bestuur Nahdlatoel Oelama’ (HBNO).

 

Setiap sore hari, yakni pukul 17.00 sampai dengan pukul 18.00, para peserta muktamar mendapat kesempatan untuk berpidato dan diperdengarkan ke seluruh penjuru dunia melalui radio S.R.V (Solossche Radio Vereniging) Mangkunegaran dan Radio S.R.I (Siaran Radio Indonesia) milik Keraton Kasunanan.

 

Pada tahun 1935 tersebut atau di masa Kadipaten Praja Mangkunegaran dipimpin oleh Kanjeng Gusti Mangkunegara VII, baru saja dibangun dan diresmikan sebuah studio baru SRV di Kestalan. Studio ini, setelah Indonesia merdeka menjadi RRI Surakarta.

 

Selama penyelenggaraan muktamar atau kongres, juga dilaksanakan beberapa rangkaian kegiatan yang tidak hanya diikuti para peserta muktamar, tetapi juga masyarakat sekitar. Seperti kegiatan shalat hajat secara berjamaah yang dilaksanakan selama dua kali, yakni di Masjid Mangkunegaran pada malam Kamis (14 Muharram) dan Masjid Agung Kasunanan pada malam Jumat (15 Muharram).

 

Usai shalat hajat kemudian dilanjutkan dengan acara Openbaar (pengajian umum). Pada saat penyelenggaraan Openbaar yang pertama, yakni malam Kamis sekitar pukul 23.00 malam, KH Hasyim Asy’ari beserta rombongan tiba di lokasi Kongres (Mangkunegaran).

 

Kemudian pada Openbaar (pengajian umum) di hari kedua, bertempat di Masjid Agung Surakarta. Kegiatan ini disiarkan pula oleh radio S.R.I (Siaran Radio Indonesia) milik Keraton Kasunanan. Acara dibuka oleh KH Abdul Wahab yang naik ke atas mimbar dan dengan diiringi bunyi meriam sebanyak tiga kali, maka secara resmi acara muktamar telah dibuka.

 

Muktamar NU Tahun 1935 ini dihadiri 516 orang, dengan rincian : 140 ulama, 176 utusan bagian tanfidziyah, dan 200 tamu pengiring. Beberapa ulama besar dan tokoh yang hadir antara lain : Kiai Hasyim Asy’ari, Kiai Wahab Hasbullah, Kiai Bisri Syansuri, Kiai Abbas Cirebon, Kiai Asnawi Kudus, Kiai Ridlwan Semarang, Kiai Zuhdi Pekalongan, Kiai Ma’shum Lasem, Kiai Baidlowi Lasem, Kiai Solih Tayu, Kiai Manshur Batavia, Kiai Yasin Menes, Kiai Abdurrahman Menes, Kiai Abdurrahman Pasuruan, Kiai Munawir Pekalongan, Kiai Fakih, Kiai Husain Bandung, Kiai Hambali Kudus, Kiai Imam Yogya, dan Sayyid Muhammad Palembang.


Kemudian ulama dari Solo dan sekitarnya antara lain Kiai Raden Adnan Hoofd Penghulu Kasunanan Solo, Kanjeng Penghulu Kasunanan Solo, Katib Imam Solo, Hoofd Penghulu Mangkunegaran Solo, Kiai Mas Dimyathi Solo, Kiai Masyhud, Kiai Abu Amar, dan lain-lain.

 

Penulis: Ajie Najmuddin

Editor: Muhammad Ishom