KH Muhammad Imron Kaliwungu: Sejarah, Dedikasi, dan Warisan Keilmuan
Kamis, 3 Oktober 2024 | 09:00 WIB
KH Muhammad Imron dikenal sebagai sosok ulama yang disiplin dan telaten dalam mendidik serta membimbing umat. Beliau merupakan putra sulung dari pasangan K.H. Humaidullah dan Nyai Hj Aisyah binti RKH Ridwan. Lahir pada tanggal 31 Januari 1951 Masehi, yang bertepatan dengan 23 Rabiul Awal 1370 Hijriyah, KH Muhammad Imron tumbuh dalam lingkungan keluarga yang taat beragama dan kaya akan tradisi keilmuan Islam, yang kelak membentuknya menjadi seorang ulama yang dihormati dan berpengaruh.
Jejak Pendidikan
Sejak kecil, KH Muhammad Imron telah mendapatkan pendidikan agama langsung dari kedua orang tuanya. Beliau mulai belajar membaca Al-Qur'an, hingga mempelajari kitab kuning di bawah bimbingan ayahnya. Untuk pendidikan formal, KH Muhammad Imron mengawali pendidikannya di Sekolah Rakyat (SR), yang setara dengan sekolah dasar saat ini. Setelah itu, beliau melanjutkan jenjang pendidikan di Madrasah Islamiyah Miftahul Ulum (MIM), di mana ia semakin memperdalam pengetahuan agamanya dan membangun fondasi keilmuan Islam yang kuat.
Saat menginjak usia remaja, KH Muhammad Imron, yang memiliki semangat tinggi dalam menuntut ilmu agama, melanjutkan perjalanannya dengan menimba ilmu di Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri. Di sana, beliau belajar langsung kepada Mbah KH Marzuqi Dahlan. Tidak berhenti di situ, beliau juga memperdalam ilmu agama di Pondok Pesantren Darul Ulum, Pondowan, Pati, di bawah bimbingan KH Muhammadun.
Menariknya, ketika masa liburan tiba, KH Muhammad Imron tidak seperti santri pada umumnya yang memanfaatkan waktu untuk pulang ke rumah dan melepas rindu bersama keluarga. Sebaliknya, beliau memilih untuk mencari sanad keilmuan di berbagai pesantren lainnya. Beliau pernah mengikuti kegiatan pasaran di pondok-pondok pesantren di Banyuwangi dan Sidoarjo. Pengembaraan ilmunya ini berlangsung selama lima tahun. Hingga pada akhirnya, sang ibunda tercinta memintanya untuk kembali pulang.
Menjalin Kehidupan Rumah Tangga dan Mengasuh Pesantren
Setelah menimba ilmu di berbagai pesantren selama beberapa tahun, KH Muhammad Imron akhirnya diminta untuk kembali dan membantu mengajar di Pondok Pesantren Salaf APIK Kauman Kaliwungu yang diasuh oleh ayahnya, KH Humaidullah. Selain itu, beliau juga diminta oleh pamannya, KH Kholil, untuk turut berkontribusi dalam mengajar di Pondok Pesantren Putri ARIS.
Di sinilah, KH Muhammad Imron dipertemukan dengan Nyai Hj Azizah, yang kemudian menjadi pendamping hidupnya. Dari pernikahan ini, beliau dikaruniai tujuh orang putra dan putri yang kelak meneruskan jejak keilmuan dan perjuangan beliau dalam mendidik serta menyebarkan ajaran Islam. Ketujuh tersebut adalah :
1. Nyai Hj Umroh Fa'iqoh
2. Nyai Hj Ulya Qonita
3. Nyai Hj Ala' Alaika
4. Gus Asyiq Nur Muhammad
5. Gus Sabiq bil Khoirot
6. Gus M Fathin Muwaffaq
7. Ning Uktufia Biki Nihayah
Setelah wafatnya KH Humaidullah, KH Muhammad Imron dipercaya untuk melanjutkan kepemimpinan Pondok Pesantren Salaf APIK, warisan dari sang kakek. Penunjukan ini dilakukan melalui musyawarah mufakat para kiai sepuh Kaliwungu Kendal yang dipimpin oleh KH Abdul Hamid, tepat sebelum prosesi pemberangkatan jenazah KH Humaidullah pada tanggal 29 Ramadhan 1405 H, yang bertepatan dengan 17 Juni 1985 M.
Amanah besar tersebut diemban KH Muhammad Imron dengan penuh tanggung jawab dan dedikasi. Selama kurang lebih 19 tahun, beliau memimpin dan membimbing pondok pesantren dengan penuh kesabaran dan ketelatenan, melanjutkan tradisi keilmuan serta nilai-nilai yang telah dirintis oleh pendahulunya. Di bawah kepemimpinan beliau, Pondok Pesantren Salaf APIK terus berkembang menjadi salah satu pusat pendidikan Islam yang dihormati dan disegani.
Selama masa kepemimpinan KH. Muhammad Imron Humaidullah, beliau menunjukkan komitmen yang besar dalam memajukan Pondok Pesantren Salaf APIK. Demi menambah fasilitas pondok yang semakin dibutuhkan seiring dengan bertambahnya jumlah santri, KH Muhammad Imron membangun gedung Qushurul Hamdi.
Perhatian beliau terhadap para tholabul ilmi (pencari ilmu) begitu luar biasa, hingga rela merelakan harta pribadi demi kenyamanan dan perkembangan pendidikan santri-santrinya. Pengorbanan yang dilakukan KH Muhammad Imron mencerminkan dedikasi dan keikhlasan beliau dalam menjaga keberlangsungan tradisi keilmuan di pondok pesantren yang diasuhnya.
Pesan, Teladan dan Nasihat
KH Muhammad Imron Humaidullah dikenal sebagai sosok yang bijak dalam memberikan nasihat kepada para santrinya. Salah satu pesan beliau yang hingga kini masih terpatri kuat di ingatan para muridnya adalah tentang pentingnya keikhlasan dalam mengabdi.
Beliau berpesan, "Ketika kalian sudah kembali ke rumah (boyong), hidupkanlah masjid, jangan mencari kehidupan dari masjid. Hidupkanlah Madrasah Diniyah (Madin) atau TPQ, jangan mencari nafkah dari Madin atau TPQ. Demikian juga, hidupkanlah pondok atau majlis ta'lim, jangan mencari penghidupan dari pondok atau majlis ta'lim."
Pesan ini mengajarkan bahwa menghidupkan lembaga keagamaan harus dilakukan dengan niat murni untuk menyebarkan ilmu dan menegakkan syiar agama, bukan sekadar untuk memperoleh penghidupan. Keikhlasan dalam berdakwah dan mengabdi inilah yang senantiasa ditekankan oleh KH. Muhammad Imron kepada para santrinya sebagai bekal mereka ketika terjun ke tengah masyarakat.
Pesan-pesan yang disampaikan KH. Muhammad Imron Humaidullah bukan hanya sekadar kata-kata, melainkan selaras dengan apa yang beliau terapkan sepanjang hidupnya. Hal ini tercermin dari kesaksian salah satu santrinya, KH. Hanafi Nashori, yang juga pernah menjabat sebagai kepala madrasah.
Menurut KH. Hanafi, KH. Muhammad Imron selalu memberikan contoh nyata dari setiap nasihat yang disampaikannya. Beliau menunjukkan bahwa dalam mengabdikan diri kepada masyarakat dan menghidupkan lembaga pendidikan Islam, tidak seharusnya menjadikan tempat-tempat tersebut sebagai sumber penghidupan pribadi. KH. Muhammad Imron menegakkan prinsip bahwa pengabdian sejati harus dilandasi oleh ketulusan hati, demi kemajuan dan keberkahan bersama.
KH. Muhammad Imron Humaidullah tidak hanya dikenal karena pesan-pesannya yang penuh hikmah, tetapi juga karena keteladanan yang beliau tunjukkan dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu contoh nyata dari keteladanan tersebut adalah kebiasaannya untuk selalu melaksanakan sholat berjamaah di masjid.
Menariknya, meskipun beliau adalah seorang ulama besar dan pengasuh pesantren, KH. Imron lebih memilih untuk berdiri sebagai makmum, sejajar dengan para santri, alih-alih menjadi imam. Sikap rendah hati ini mencerminkan kerendahan hati dan kebersahajaan beliau, serta menanamkan makna kesetaraan dan kebersamaan di antara guru dan murid.
"Mbah Yai Imron, rutinitas tiap waktu maktubah shalat berjamaah di masjid Al Muttaqin dengan istiqomah, beliau tidak jadi imam, tapi makmum biasa satu shof bersama para santri yang berjamaah di masjid, jadi tidak ada jarak dengan santri,” ungkap Kiai Hanafi
KH. Muhammad Imron Humaidullah dikenal sebagai seorang alim di bidang fiqh. Dalam setiap ibadah, khususnya shalat, beliau senantiasa mempraktikkan ilmu yang diperolehnya dari kitab-kitab fiqh seperti Safinah, Bafadhol, Fathul Qari, dan Fathul Muin. Keilmuan beliau yang mendalam terhadap kitab-kitab tersebut terlihat jelas dari bagaimana beliau menjalankan sholat dengan cermat, mengikuti setiap ketentuan fiqh yang tertera dalam kitab.
Tidak hanya sekedar mempraktikkan, KH. Muhammad Imron juga sangat teliti dalam memperhatikan tata cara sholat berjamaah. Jika terdapat praktik yang kurang tepat atau tidak sesuai dengan apa yang diajarkan dalam kitab-kitab fiqh, beliau tidak segan untuk memberikan koreksi dan meluruskannya. Sikap ini bukan hanya menunjukkan keteguhan beliau dalam menjaga kemurnian ajaran Islam, tetapi juga menunjukkan kepedulian KH. Imron dalam membimbing para santrinya agar senantiasa menjalankan ibadah sesuai tuntunan syariat yang benar.
“Beliau alim fiqh maka shalat beliau mempraktekkan kitab Safinah, Bafadhol, Fathul Qorib, Fathul Muin sehingga kalau ada praktek jamaah yang tidak sesuai dengan kitab ya diluruskan sama beliau,” imbuh Kiai Hanafi
KH. Muhammad Imron Humaidullah dikenal sebagai sosok pengasuh yang mendidik santrinya dengan tegas namun penuh kasih sayang. Salah satu prinsip yang sering beliau sampaikan adalah maqolah yang berbunyi اشدة عين الرحمة, yang berarti bahwa ketegasan dalam mendidik adalah bentuk dari kasih sayang. Beliau percaya bahwa disiplin dan ketegasan sangat penting untuk membentuk karakter dan kedisiplinan santri.
Selama masa kepengasuhannya di Pondok Pesantren Salaf APIK, KH. Imron terlibat langsung dalam proses pendidikan dengan mengajar hampir semua kelas yang ada di Madrasah MSMH APIK, mulai dari tingkat Sekolah Dasar (SP) hingga kelas 3 Aliyah. Beliau sangat menekankan kepada para santrinya untuk fokus pada pendidikan agama dan tidak hanya terjebak dalam amalan seperti riyadhoh, puasa, atau wiridan.
Perhatian dan dedikasi KH. Imron terhadap pendidikan santri tidak hanya terbatas pada ilmu agama, tetapi juga menciptakan lingkungan yang mendukung mereka untuk tumbuh menjadi individu yang alim dan shalih. Berkat usaha dan ketekunannya dalam mendidik, beliau dianugerahi oleh Allah putra-putri yang juga alim dan shalih, semuanya mampu mengaji dan meneruskan ajaran yang telah beliau tanamkan.
“Beliau juga cara mendidik santri dengan tegas, sering beliau menyampaikan maqolah اشدة عين الرحمة bahwa ketegasan itu bentuk kasih sayang. Bahkan pada waktu menjadi pengasuh pondok, beliau hampir mengajar semua kelas yg ada di madrasah MSMH APIK dari yang paling bawah SP sampai yang paling atas kelas 3 Aliyah. Dan yang ditekankan beliau sama santri belajar tidak riyadhoh puasa/wirid artinya beliau sangat perhatian pendidikanya para santri, karena dari itu semua beliau dianugerahi oleh Allah putra putri yang alim dan sholih semuanya bisa ngaji,” pungkas Kiai Hanafi.
Wafatnya KH. M. Imron Humaidullah
K.H. Muhammad Imron Humaidullah menghembuskan napas terakhir pada pertengahan bulan Maulud, tepatnya pada tanggal 16 Rabiul Awal 1424 H, di usia yang menginjak 52 tahun, di Kaliwungu. Kepergiannya meninggalkan duka mendalam bagi para santri dan masyarakat sekitar yang telah merasakan kehadiran dan pengaruh positifnya.
Sebagai bentuk penghormatan dan mengenang jasa-jasanya, setiap tanggal 16 Rabiul Awal diadakan peringatan haul. Kegiatan ini dihadiri oleh para santri, keluarga, dan masyarakat setempat, dan berlangsung di Masjid Agung Kaliwungu, yang dikenal juga sebagai Masjid Al Muttaqin.
Dalam acara tersebut, mereka bersama-sama mengenang kebaikan, ajaran, dan teladan yang telah ditinggalkan oleh beliau, serta mendoakan agar ruh beliau senantiasa dalam lindungan Allah SWT. Peringatan haul ini bukan hanya menjadi momen untuk mengenang sosok K.H. Muhammad Imron, tetapi juga untuk memperkuat silaturahmi antar santri dan masyarakat, serta meneguhkan komitmen untuk terus meneladani ajarannya.
Penulis: Muhammad Ataka, Alumni Pondok Pesantren Salaf APIK Kaliwungu dan Mahasiswa di Universitas Hasyim Asyari Tebuireng Jombang
Terpopuler
1
Amalan yang Dilakukan pada Malam Nisfu Sya’ban
2
Doa Mustajab di Malam Nisfu Sya’ban yang Dibaca Syekh Abdul Qadir Al-Jilani
3
Muslimat NU Rayakan Nisfu Syaban di Kongres Ke-18 dengan Pemberian Ijazah Amalan
4
Pengukuhan Ranting Fatayat NU Juwiring Klaten, Awal Berkhidmah dan Mendakwahkan Islam Ahlusunah wal Jama’ah
5
Khutbah Jumat: Mengelola Karunia Allah pada Bidang Pertanian untuk Mewujudkan Ketahanan Pangan
6
MWCNU Jatinegara Tegal Resmikan Klinik Pratama dan Peringati Harlah ke-102 NU
Terkini
Lihat Semua