• logo nu online
Home Warta Nasional Keislaman Regional Opini Kiai NU Menjawab Dinamika Taushiyah Obituari Fragmen Tokoh Sosok Mitra
Rabu, 24 April 2024

Fragmen

Sepenggal Kisah Kiai Irfan, Pendiri Pesantren Salaf APIK Kaliwungu Kendal

Sepenggal Kisah Kiai Irfan, Pendiri Pesantren Salaf APIK Kaliwungu Kendal
Pengasuh Pesantren Salaf APIK Kaliwungu, KH Solahuddin Humaidullah membacakan manaqib pendiri pondok APIK, Kiai Irfan. (Dok. istimewa)
Pengasuh Pesantren Salaf APIK Kaliwungu, KH Solahuddin Humaidullah membacakan manaqib pendiri pondok APIK, Kiai Irfan. (Dok. istimewa)
Kendal, NU Online Jateng
Kiai Irfan bin Musa (wafat tahun 1932) semasa kecilnya memiliki nama Muhammad Basyir . Oleh masyarakat dan santri Kaliwungu, Kendal, Jawa Tengah akrab dengan dipanggil Mbah Irfan. Sepulang dari perjalanan menimba ilmu, Mbah Irfan mendirikan pesantren sekaligus menjadi pengasuh pertama Pondok Pesantren Salaf APIK Kaliwungu, pada tahun 1919 M.

Mbah Irfan merupakan salah satu ulama nusantara yang menuntut ilmu ke kota Makkah. Keberangkatan Mbah Irfan ke Makkah atas perintah dari ayahnya, Kiai Musa, di saat ia masih berusia belasan tahun. Kemudian terhitung, setelah hampir 11 tahun bermukim di Makkah, ia kembali ke Kaliwungu pada tahun 1888 M.

Kisah tersebut disampaikan oleh salah-satu cucu Mbah Irfan, KH Sholahuddin Humaidullah, dalam acara Dzikro Haul KH Irfan bin Musa di Aula Al-Irfan Pesantren Salaf APIK Kaliwungu Kendal, Sabtu (24/4).

“Pada masa remaja, Mbah Irfan mengaji kepada ulama setempat kemudian sekitar umur belasan di bawah 20 tahun ia diutus ayahnya untuk mengaji ke makkah. Kemudian, setelah 11 tahun, beliau pulang pertama (sebelum berangkat ke Makkah lagi) tepatnya pada tahun 1888 M,” kata Kiai Sholahuddin.

Mbah Irfan diceritakan menimba ilmu di makkah selama 11 tahun kemudian pulang ke Kaliwungu satu tahun dan melangsungkan pernikahan terus berangkat lagi untuk kedua kalinya ke Makkah selama 6-7 tahunan. Artinya Mbah Irfan tercatat dua kali pemberangkatan ke tanah suci itu.


“Ketika Mbah Irfan pulang pertama (dari Makkah, red) langsung menikah, setelah berjalan satu tahun beliau berangkat lagi (ke Makkah) isterinya ditinggal selama 6 atau 7 tahun. Pada waktu itu sekitar tahun 1830 sampai awal tahun 1900-an banyak ulama alim alamah, ulama jawa nusantara yang mengaji di makkah,” terang Abah Sholah.

Kiai Sholahuddin Humaidullah melanjutkan kisah perjalanan Mbah Irfan saat menimba ilmu di tanah suci, di sana Mbah Irfan bertemu dengan Kiai Kamali dari Kempek, Cirebon, yang tak lain adalah ayah dari KH Idris Kamali, menantu Hadratussyekh Hasyim Asy’ari. Ia berteman baik dengan Kiai Kamali hingga sepulang dari Makkah ia mengantarkan Idris Kamali kecil untuk menimba ilmu kepada Mbah Irfan.


“Kiai Idris Kamali kelahiran Makkah sekitar tahun 1885-an, Kiai Kamali pulang (dari Makkah) ke Kempek, Cirebon kemudian mendengar bahwa Mbah Irfan membuat pesantren akhirnya putra beliau (Kiai Idris Kamali) diutus untuk mondok ke Mbah Irfan,” jelas kiai lulusan Lirboyo itu.

Pengasuh Pesantren APIK tersebut menjelaskan, bahwa Mbah Irfan pada masa awal pendirian pondok pesantren pernah ikut mengaji kitab Shahih Bukhori kepada Kiai Idris Kamali meskipun secara umur lebih senior Mbah Irfan.

Tradisi seperti ini sudah menjadi kebiasaan di dunia pesantren misalnya seperti kisah Kiai Kholil Bangkalan pernah ikut mengaji kitab hadist kepada Hadratussyekh Hasyim Asy’ari. “Mbah Irfan tahu kalau Kiai Idris itu orang alim, akhirnya ia (Kiai Idris  membuka pengajian Shahih Bukhori dan Mbah Irfan ikut dalam pengajian tersebut. Ini awal awal berdirinya pondok apik,” lanjut pengasuh Pondok Apik sekarang itu.


Jejak Perjuangan
Pada masa penjajah semakin menguat dan di Hijaz terjadi perebutan kekuasaan oleh keluarga Saud yang memegang paham wahabisme dan mempunyai rencana akan menghancurkan peninggalan para sahabat dan ulama salaf, akhirnya para ulama yang dipandegani KH Hasyim Asy'ari membentuk Komite Hijaz, yang kemudian menjadi spirit mendirikan organisasi Nahdlatul Ulama (NU).

Menurut Kiai Sholahuddin Mbah Irfan juga turut datang ke kediaman Mbah Hasyim Asy’ari pada waktu didirikanya NU. “Ketika NU itu didirikan Mbah Irfan ikut sowan ke Mbah Hasyim Asy’ari, dan setelah Mbah Hasyim ke Kaliwungu kemudian Mbah Irfan sowan ke Jombang," ungkapnya.

Sepulang dari Makkah yang kedua, Mbah Irfan menunaikan cita citanya untuk mendirikan Pondok Pesantren Salaf Al-Kaumani dan sekarang dikenal dengan Pondok Pesantren Salaf APIK. Setelah Kiai Irfan wafat, estafet pengasuh pesantren dilanjutkan KH Ahmad Ru'yat (keponakan Kiai Irfan), kemudian berlanjut kepada KH Humaidullah Irfan (putra Kiai Irfan). Berikutnya kepada KH Imron Humaidullah dan saat ini KH Sholahuddin Humaidullah, keduanya merupakan cucu dari Kiai Irfan.

Berkat kegigihan dan kealiman Mbah Irfan pula, ia mampu mendidik putra putri dan para santrinya untuk menjadi orang orang yang berpengetahuan dan alim dalam memahami ilmu agama.

Sehingga, dari Pondok Pesantren APIK ini kemudian muncul pesantren pesantren di belahan kaliwungu sepeti Ponpes putri ARIS didirikan oleh KH Ahmadum Irfan (putra Mbah Irfan), Pesantren putri Al-Aziziyah didirikan oleh KH Abdul Aziz Irfan (putra Mbah Irfan) dan Pesantren Al-Fadlu wal Fadilah didirikan oleh KH Dimyati Rois (suami dari Nyai Tho’ah, cucu Mbah Irfan), dan puluhan Pondok pesantren di Kaliwungu yang nasabnya masih terhubung dengan KH Irfan bin Musa atau para muridnya.

Kontributor: Abdullah Faiz
Editor: Ajie Najmuddin


Fragmen Terbaru