• logo nu online
Home Warta Nasional Keislaman Regional Opini Kiai NU Menjawab Dinamika Taushiyah Obituari Fragmen Tokoh Sosok Mitra
Kamis, 18 April 2024

Tokoh

KH Moeslim Rifa’i Imampuro, Ulama 'Nyentrik' dari Klaten

KH Moeslim Rifa’i Imampuro, Ulama 'Nyentrik' dari Klaten
Almaghfurlah KH Moslim Rifa'i Imampuro (Mbah Liem) (Foto: Istimewa)
Almaghfurlah KH Moslim Rifa'i Imampuro (Mbah Liem) (Foto: Istimewa)

KH Moeslim Rifa'i Imampuro atau yang dipanggil Mbah Liem adalah Tokoh NU dan Pendiri Pesantren Al-Muttaqien Pancasila Sakti (Alpansa) Desa Troso, Kecamatan Karanganom, Kabupaten Klaten. Beliau lahir pada 24 April 1924 di Desa Pengging, Kelurahan Bendan, Kecamatan Banyudono, Boyolali, Jawa Tengah. 

 

Lahir dari pasangan R Bakri Teposumarto Bin khasan Minhaj dan RAY Mursilah. Melalui sang ibu, Mbah Liem tersambung nasabnya dengan Sunan Paku Buwono IV, Sunan Bagus yang memerintah Kasunanan Surakarta Hadiningrat tahun 1788-1820. Nama Imampuro yang melekat di belakang namanya adalah nama ayahanda ibunya (kakek), RMNg Imampuro.

 

Diceritakan, seusai menimba ilmu agama di Pendidikan Guru Agama (PGA) Mambaul Ulum, Surakarta walau tak selesai Mbah Liem berkelana ke berbagai daerah. Mulai Banten, Cirebon, Madura hingga Jakarta. Di tahun 1950, keadaan membawanya ke Klaten.

 

Di Tahun 1972, Mbah Lim secara resmi mendirikan pondok pesantren itu. Niat awal menamai pesantrennya dengan Pesantren Tebuireng II, untuk tabarukan pada Mbah Hasyim Asy’ari. Namun dicegah oleh Gus Dur. Akhirnya oleh Mbah Liem, pesantrennya dinamakan dengan Al-Muttaqien Pancasila Sakti (alpansa).

 

Dua tahun setelah Gus Dur wafat, Mbah Liem tokoh NU dan pencetus jargon 'NKRI Harga Mati' ini dipanggil sang khaliq di usia 91 tahun pada Kamis 24 Mei 2012. Semenjak saat itu, seluruh santrinya baik di pesantren maupun alumni pesantren secara rutin, istiqamah mengadakan haul Mbah Liem. 

 

"Bukan hanya sekedar haul biasa, pada tradisi peringatan ini dimaknai dengan bermuhasabah dalam rangka menanam dan lestarikan kearifan, nilai-nilai budaya, kebangsaan, dan kenusantaraan yang diajarkan almagfurlah Mbah Liem. Di samping doa bersama demi keberlangsungan bangsa Indonesia," terang Ketua Pengurus Cabang (PC) Lembaga Seniman Budayawan Muslim Indonesia (Lesbumi) NU Kabupaten Pekalongan, Eko Ahmadi, saat dirinya menghelat acara Haul ke 9 KH Moeslim Rifa'i Imampuro (Mbah Liem) pada Kamis (18/3) malam di Joglo Perdamaian II Desa Doro, Kecamatan Doro, Kabupaten Pekalongan.

 

Dijelaskan, meskipun Mbah Liem keturunan priyayi bangsawan Keraton Surakarta Hadiningrat, namun Mbah Liem memilih meninggalkan lingkungan keraton dan hidup dalam kesederhanaan.

 

"Sosok Mbah Liem yang sederhana, tapi tidak sederhana mata batinnya, beliau memiliki daya linuwih luar biasa. Ia dekat dengan masyarakat, bahkan saat sudah wafat kuburannya selalu padat, diziarahi siapa saja, bahkan wakil presiden KH Amin Ma'ruf. Di masa gesangnya (hidupnya, red) pun beliau kerap dikunjungan orang-orang hebat mulai dari Iwan Fals hingga  Presiden RI ke-4 KH Abdurahhman Wahid (Dus Dur), Megawati hingga Jokowi," ungkapnya.

 

Mbah Liem bergaya bonceng Iwan Fals (Foto: nu online)

 

Disampaikan, Mbah Liem dikenal karena sikapnya nasionalis. Saking nasionalisnya, Mbah Liem mewasiatkan agar makamnya dibuatkan joglo perdamaian yang didihiasi dengan warna merah putih yang tak lain warna bendera Indonesia.

 

"Bagi Mbah Liem, Pancasila merupakan dasar negara yang sudah final, tidak ada falsafah lain yang bisa menggantikannya," ujarnya.

 

Tak hanya nasionalis, Mbah Liem kerap memperjuangkan kerukunan antarumat beragama di Indonesia. "Meski beda agama sekalipun toh sesama hamba Allah, sesama anak cucu eyang Nabiyullah Adam AS, dan sesama penghuni NKRI Pancasila". 

 

Demikian wasiat Mbah Liem tak ubahnya sebuah surat, tertera tanda tangan beliau, tanggal 12 Maulid 1428 Hijriyah, 30 Maret 2007, pukul 16.17 WIB. 

 

Salah satu pesan wasiat Almagfurlah terkait kerukunan itu bisa dijumpai di kompleks makam di joglo perdamaian. Makam di belakang Pesantren Al-Muttaqien Pancasila, Dukuh Sumberejowangi, Desa Troso, Karanganom, Klaten.

 

Mbah Liem wafat 9 tahun lalu. Meski sudah wafat, kiprah, wasiat, jasa maupun ajaran-ajarannya selalu dikenang, diingatan para santrinya bahkan semua kalangan. "Di selapan dan weton Jumat Wage, kami adakan acara mujahadah rutinan macam ini, kali ini bertajuk 'Merajut dan mengamalkan Doa Mbah Liem; NKRI Pancasila Aman Makmur Damai Sepanjang Masa'. 

 

Maksud dirikan Joglo perdamaian II (dua) di Doro Pekalongan ini tak lain merupakan tabarukan sang kiai, 'ngalap berkah' Mbah Liem, inspirasi dan ide dari beliau, dengan visi bahwa Joglo perdamaian adalah tempat, wahana eling, ingat-mengingatkan setiap kita. Bahwa setiap orang yang mendatangi akan sadar betapa pentingnya menjaga kerukunan antarumat," terang Gus Eko Ahmadi yang juga ketua Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Kabupaten Pekalongan.

 

Haul Mbah Liem ke 9 dihadiri Bupati Kabupaten Pekalongan, KH Asip Kholbihi, jajaran Pengurus Majleis Wakil Cabang Nahdlatul Ulama (MWCNU) Doro, maupun  Pengurus Ranting NU se-Kecamatan Doro, Unsur-unsur Banom dan, Lembaga NU Doro, para Alumni Pesantren Pancasila Sakti Klaten wilayah Kabupaten Pekalongan dan masyarakat umum.

 

Bupati Pekalongan H Asip Kholbihi mengatakan, dalam Haul ada dua pelajaran penting yang bisa diambil, pertama menuturkan dan mengungkap cerita tentang orang-orang shaleh adalah ibadah.

 

"Kedua, ajaran Mbah Liem berusaha kita amalkan dalam kehidupan sehari-hari. Mbah Liem adalah golongan Aulia yang memandang manusia dengan pandangan kasih sayang, itulah ciri-ciri orang shaleh," pungkasnya.

 

Kontributor: Imam Hamidi Antassalam
Editor: M Ngisom Al-Barony


Tokoh Terbaru