Taushiyah

Kisah Abdullah bin Abbas: Meneladani Akhlak Al-Qur’an dan Berbicara Baik kepada Semua Orang

Selasa, 13 Agustus 2024 | 10:00 WIB

Kisah Abdullah bin Abbas: Meneladani Akhlak Al-Qur’an dan Berbicara Baik kepada Semua Orang

KH Ahmad Hadlor Ihsan dalam mauidzah hasanah pada Khataman Al-Qur’an dan Pengajian dalam rangka Haul ke-2 Nyai Hj Mazro’ah Ahmad AH, Ahad (11/8/2024). (Foto:SS YT alishlah.mangkang)

Semarang, NU Online Jateng

Setiap umat manusia perlu memiliki akhlak yang baik, karena dengan akhlak, berbagai permasalahan dan perselisihan dapat diselesaikan, termasuk dalam menyampaikan ayat-ayat Al-Qur’an. Hal ini disampaikan oleh KH Ahmad Hadlor Ihsan dalam mauidzah hasanah pada Khataman Al-Qur’an dan Pengajian dalam rangka Haul ke-2 Nyai Hj Mazro’ah Ahmad AH, Ahad (11/8/2024).


Kiai Hadlor mengisahkan pertemuan pertama Abdullah bin Mas'ud dengan Rasulullah saw. Saat itu, Nabi Muhammad bersama sahabatnya, Abu Bakar ash-Shiddiq, bertemu dengan Abdullah yang sedang menggembala domba. Ketika Nabi meminta susu dari domba yang digembala, Abdullah menolak karena domba tersebut milik majikannya. 


Nabi kemudian bertanya kepada Abdullah bin Mas'ud apakah ada domba betina kecil yang belum pernah mengenal domba jantan. Kemudian Abdullah bin Mas'ud menemukan domba yang dimaksud. Kemudian Nabi mengusap bagian tubuh kambing itu, alangkah mengejutkannya keluarlah air susu yang melimpah dari kambing betina tesebut. 


Abdullah bin Mas'ud terheran-heran dengan apa yang ia lihat dan bertanya siapakah sebenarnya orang yang ia temui itu. Nabi lantas menjawab bahwa ia adalah Nabi Muhammad bin Abdullah utusan dari Allah dan sahabatnya Abu Bakar ash-Shiddiq. Setelah melalui perbincangan panjang, akhirnya Abdullah bin Mas'ud masuk ke agama Islam. 


“Artinya, akhlak itu sudah ada, namun perlu disempurnakan. Di dalam agama apapun pasti butuh akhlak, perselisihan apapun pasti bisa diselesaikan dengan akhlak,” tutur Kiai Hadlor. 


“Penggembala itu namanya Abdullah bin Mas'ud, akhirnya masuk Islam, kira-kira urutan ke-6 atau 7 yang masuk Islam. Jadi dia masuk Islam belum bayak temannya. Ia selalu ikut dengan Nabi,” kata pengasuh Pondok Pesantren Al-Ishlah, Mangkang Kulon, Tugu Kota Semarang itu.


Suatu ketika, Lanjut Kiai Hadlor, Abdullah bin Mas'ud tengah berkumpul dengan para  sahabat. Ia kemudian berkata bahwasanya setiap Nabi Muhammad menerima wahyu, tidak ada salah seorang pun sahabat yang membantu untuk menyampaikannya kepada orang-orang kafir. 


“Siapa yang berani membantu Nabi menyampaikan wahyu kepada orang-orang kafir? Semua tidak ada yang berani, karena teringat ganasnya orang-orang kafir pada saat itu. Abdullah bin Mas'ud kemudian mengangkat jari tangannya dan berkata ‘aku sanggup’,” tutur Kiai Hadlor. 


Dengan perawakan fisiknya yang kecil, banyak yang tidak percaya bahwa Abdullah bin Mas’ud akan melakukannya. Namun ternyata Abdullah bin Mas’ud berani dan melantunkan beberapa ayat dari surah Ar-Rahman di kawasan Ka’bah yang pada saat itu masih banyak orang-orang kafir.  


Orang-orang kafir tersebut lalu mengamuk dan menghajar Abdullah bin Mas’ud. Kemudian ia kembali ke para sahabat dengan wajah yang babak belur dan bercucuran darah. 


“Ya sudah risiko. Jika saat ini Anda menyuruh saya untuk maju (menyampaikan wahyu kepada orang-orang kafir), saya laksanakan,” ucap Abdullah bin Mas’ud yang dikutip Kiai Hudlor. 


Abdullah bin Mas'ud dengan keberanian yang luar biasa menyampaikan ayat-ayat Al-Qur’an di hadapan kaum kafir di sekitar Ka'bah, meskipun mendapat perlakuan keras. Tindakan ini menunjukkan betapa gigihnya Abdullah dalam menyebarkan wahyu Allah.


Hal itu berarti, lanjut Kiai Hudlor, Abdullah bin Mas’ud pantang menyerah dalam menyampaikan wahyu Allah, yakni Al-Qur’an. Oleh karenanya, setiap umat muslim harus meneladani sifat Nabi Muhammad saw dengan akhlak Al-Qur’an. 


“Jadi akhlak kita Al-Qur’an. Lalu akhlak Al-Qur’an ini luar biasa, ada di dalam Al-Qur’an, Allah swt berkata seperti ini: ‘Wakulu linnasi husna’ (penggalan Surah Al Baqarah ayat 83),” tuturnya. 


Kiai Hadlor menegaskan bahwa umat muslim harus meneladani sifat Nabi Muhammad saw dengan menjadikan Al-Qur’an sebagai pedoman akhlak. 


“Berbicaralah dengan siapapun dengan perkataan yang baik. Jika seorang ahli Qur’an berkata buruk, maka orang tersebut tidak pantas babar blas. Ngamukan, nesunan, itu tidak pantas,” lanjut Kiai Hudlor.


Ia juga menekankan bahwa kata ‘Nas’ dalam ayat tersebut mencakup semua manusia, tidak hanya umat muslim, tetapi juga non-muslim, baik pria maupun wanita. 


“Abdullah bin Abbas kemudian mengomentari ayat itu, seumpama saya bertemu dengan Firaun, kemudian Firaun berkata baik dengan saya, maka saya akan berkata baik kepada Firaun. Ini betapa pentingnya ngomong sing apik,” tuturnya.