Gus Baha dalam mauidzah hasanah pada acara Haul KH MA Sahal Mahfudh dan Ibu Nyai Nafisah Sahal serta Muassis Pesantren Maslakul Huda di Kajen, Margoyoso, Pati, Sabtu (21/9/2024). (Foto:NUO/Lukman)
Abdul Khalim Mahfur
Penulis
Pati, NU Online Jateng
Rais Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Ahmad Bahauddin Nursalim (Gus Baha) menilai bahwa ushul fiqih merupakan ilmu yang membuka ruang sangat luas. Oleh karena itu, Gus Baha menyebut ushul fiqih memerlukan banyak pemahaman agar tidak menghasilkan berbagai macam teori yang dapat menimbulkan kebingungan.
Baca Juga
Gus Baha: Sedekah Itu Pengabadian Harta
"Mergo ushul fiqih itu kan membuka ruang yang terlalu luas, kalau soleh iya tetap soleh, kalau tidak soleh kan macam-macam jadinya, karena bisa liar kan ushul fiqih itu kan bisa membuat teori itu," ujar Gus Baha dalam mauidzah hasanah pada acara Haul KH MA Sahal Mahfudh dan Ibu Nyai Nafisah Sahal serta Muassis Pesantren Maslakul Huda di Kajen, Margoyoso, Pati, Sabtu (21/9/2024).
Gus Baha turut mencontohkan beberapa kisah Rasulullah saw dalam pembahasan ini, seperti dalam melaksanakan shalat, ihram, serta beberapa hal lainnya.
Gus Baha memberikan contoh tentang bagaimana seharusnya umat Muslim menjalankan ibadah dan kewajiban lainnya, seperti saat shalat, berbuka puasa, zakat, serta beberapa hal lainnya. Ia juga membahas beberapa pendapat dalam menjalankan suatu hal berdasarkan fiqih dan bagaimana idealnya orang-orang dalam melaksanakannya.
Gus Baha menjelaskan bahwa Nabi Muhammad saw sering mencintai suatu amal, namun Nabi meninggalkannya karena khawatir amal yang bersifat sunnah akan dianggap wajib oleh orang-orang yang melihatnya.
"Nabi itu sering mencintai satu amal, tapi beliau meninggalkan itu karena kalau melakukan takut dianggap fardlu dan itu berat," jelasnya.
"Jadi berbahayanya ushul fiqih itu terus ditemukan, ketika orang lain menganalisis bahwa fi’lun nabi itu seakan-akan harus diikuti karena wajib. Ahli ushul fiqih yang netral," tambahnya.
Gus Baha juga mencontohkan ketika Rasulullah saw menzakati bur atau sya'ir (dua jenis gandum) yang kemudian oleh Imam Syafi'i diganti.
"Karena, andai kita memaksakan bur atau sya'ir di Indonesia nggak ada. Terus nanti akibatnya tidak wajib zakat, malah tidak karuan kan, sehingga Imam Syafi'i langsung mengganti itu," lanjutnya.
Ketika tengah ramai pembahasan tentang pendapat ulama Mesir, Yusuf al-Qaradawi, yang mewajibkan zakat profesi, Gus Baha kemudian diajak berdiskusi oleh KH Maimoen Zubair.
"Itu cerita tentang petani cengkeh yang kaya raya, tidak diwajibkan berzakat karena tidak menanam qut atau bahan makanan pokok. Padahal di desa orang-orang menanam padi, sudah melarat, wajib zakat karena yang ditanam adalah makanan pokok," jelasnya.
Gus Baha lantas ditanya pendapatnya oleh Kiai Maimoen, dan ia diperintah untuk mencari dalil dari Yusuf al-Qaradawi yang membenarkan hal tersebut.
"Nah terus saya usul kepada Mbah Mun, pakai model Mbah Zubair, memakai model Mbah Faqih Maskumambang, Mbah Maghfur, langsung memakai teori ushul fiqih," katanya.
"Iya, tapi kamu saja. Kalau saya, tidak pantas," kata Gus Baha mengutip Kiai Maimoen.
Sebab, lanjut Gus Baha, ushul fiqih membuka ruang yang terlalu luas. Jika tidak dipahami secara mendalam, akan muncul berbagai macam teori, dan bisa menjadi liar dalam membuatnya.
"Zaman Imam Syafi'i, bur dan sya'ir itu masih dimaknai sebagai bahan pokok, sehingga wajib zakat. Era Yusuf al-Qaradawi itu saya pastikan tidak. Mereka memaknai min nabatil ard, sehingga nanti cengkeh, kakao juga dikategorikan ke dalamnya," ungkapnya.
Oleh karena itu, lanjut Gus Baha, semua tanaman yang menghasilkan wajib untuk dizakati. Gus Baha juga mengutip Al-Qur'an surat Al-Baqarah ayat 267:
...اَنْفِقُوْا مِنْ طَيِّبٰتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّآ اَخْرَجْنَا لَكُمْ مِّنَ الْاَرْضِۗ...
"...infakkanlah sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untukmu..." (Q.S. Al-Baqarah: 267).
Gus Baha kemudian ditanya oleh Kiai Maimoen, sebagai seorang mufasir, akan menggunakan pandangan Imam Syafi'i ataukah ilmu nahwu. Gus Baha menjawab pasti akan menggunakan nahwu.
"Ya menurut nahwu, karena memaknai Qur'an. 'ma' itu kan apa saja, jadi kalau gitu ya tidak harus makanan pokok, apa saja. Tapi kalau mufasir yang Imam Syafi'i kan mesti ditakhsis (dipersempit)," katanya.
Sebagai bentuk penghormatan kepada Kiai Sahal, Gus Baha dalam kesempatan tersebut membawa kitab Al-Mustashfa karya Imam al-Ghazali.
"Jadi ini saya pastikan bahwa teori mewajibkan zakat cengkeh dan kakao itu bukan teorinya Syekh Yusuf al-Qaradawi. Zaman itu Imam al-Ghazali mengarang kitab Al-Mustashfa dan mengungkapkan, ketika Nabi mewajibkan bur dan sya'ir ini apakah karena qud atau karena nabatul ard," katanya.
Oleh sebab itu, Gus Baha menyimpulkan bahwa tanpa ushul fiqih, umat Muslim tidak akan mampu berbuat apa-apa.
"Apa pun bisa dilawan dengan fiqih karena maa dza masalikul 'illat," pungkasnya.
Terpopuler
1
Rais Syuriyah PWNU Jateng: NU Kokoh Berkat Peran Kolektif Ulama dan Santri
2
Ujian Akhir Santri TPQ Metode Tilawati di Jatinegara-Bojong Libatkan 240 Peserta
3
Keutamaan Bulan Rajab Selain Isra’ Mi’raj Menurut Mbah Maimoen
4
Khutbah Jumat: Bulan Rajab Menuntut Ilmu Ai: Kecerdasan Buatan
5
Khutbah Jumat: Memanfaatkan Teknologi Digital dengan Baik
6
Pasien Diare dan Dengue Shock Syndrome Meningkat di Rembang di Januari 2025,
Terkini
Lihat Semua