Gerakan Rakyat Jateng Menggugat: Protes Keras terhadap Pembangkangan DPR dalam Revisi UU Pilkada
Kamis, 22 Agustus 2024 | 16:00 WIB

Aksi Demonstarsi Gerakan Rakyat Jawa Tengah Menggugat (Geram) berlangsung di depan Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Jawa Tengah, pada Kamis (22/8/2024). (Foto:Khalim)
Septy Aisah
Penulis
Semarang, NU Online Jateng
Gerakan Rakyat Jawa Tengah Menggugat (Geram) menggelar aksi demonstrasi di depan Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Jawa Tengah, pada Kamis (22/8/2024).
Koordinator Front Nahdliyyin untuk Kedaulatan dan Sumber Daya Alam (FNKSDA) Semarang, Nur Khafidhin, menjelaskan bahwa demonstrasi ini merupakan respons masyarakat terhadap isu darurat demokrasi yang sedang hangat dibicarakan. Ia menilai bahwa para elite politik telah melampaui batas dengan menganulir putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 60/PUU-XXII/2024 tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).
"Padahal, sudah sangat jelas dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 24C bahwa MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir, sehingga putusannya bersifat final," jelasnya.
Nur Khafidhin, yang akrab disapa Khafid, menyampaikan bahwa kemarahan massa aksi didasari oleh berbagai problematika pemerintah yang dinilai merugikan rakyat, terutama masyarakat akar rumput. Oleh karena itu, masyarakat bergerak untuk mengadili para penguasa yang dianggap zalim melalui konsolidasi dan aksi demonstrasi sebagai bentuk protes warga negara Indonesia.
"Sudah jelas dampak dari semua ini merugikan banyak warga kecil, terutama Nahdliyyin yang menjadi mayoritas di Jateng. Mereka dimanfaatkan saat pemilihan umum, tapi diabaikan setelahnya. Isu seperti Wadas, Kendeng, Surokonto Wetan, Urutsewu, Punden Rejo, dan warga pesisir Jateng adalah bukti nyata perampasan ruang hidup," ujar Khafid kepada NU Online Jateng.
Senada dengan itu, Ketua Komisariat Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang, Iqbal Alaik, mengatakan bahwa upaya pembangkangan yang dilakukan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia terhadap Revisi UU Pilkada hasil Putusan MK tentang syarat batas minimal usia calon kepala daerah, menunjukkan betapa bobroknya pemerintahan Indonesia saat ini.
"Proses pembangkangan ini terbukti dari draf pasal 40 ayat 1 dan 2 RUU Pilkada. Draf tersebut menyebutkan bahwa penurunan ambang batas pencalonan hanya berlaku untuk partai yang tidak memiliki kursi DPRD," tutur mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam (FEBI) UIN Walisongo tersebut.
Iqbal Alaik menambahkan, partai yang memiliki kursi DPRD masih menganut model sebelum putusan 60/PUU-XXII/2024, yaitu berdasarkan perhitungan kursi dan suara sah masing-masing sebesar 25 persen dan 20 persen. Hal ini, menurutnya, merupakan bukti pengingkaran terhadap putusan MK yang seharusnya diberlakukan oleh semua partai, baik yang memiliki kursi DPRD maupun yang tidak.
"Kami menolak segala bentuk praktik nepotisme dan politik dinasti dalam keberlangsungan demokrasi serta menuntut para pejabat negara untuk tidak mencederai marwah hukum dengan melakukan aborsi konstitusi demi kepentingan golongan tertentu," tegasnya dalam pernyataan sikap aksi demonstrasi Geram.
Terpopuler
1
Kiai Abdan Koripan Magelang, Sang Jurkam NU
2
NU Peduli Lasem Salurkan Bantuan untuk Korban Banjir di Gubug, Grobogan
3
Biro Infokom Banser Tegal Gelar Kopdar, Bahas Penguatan Komunikasi dan Kesiapsiagaan
4
Ketua Baru PR GP Ansor Karangasem Tegal Terpilih, Siap Wujudkan Pemuda Maju dan Berkhidmat
5
Lakpesdam PWNU Jateng Gandeng PCNU Kota Semarang Gelar Forum Kader NU Jateng yang Perdana
6
Lakmud PAC IPNU-IPPNU Gebog: Bangun Kontinuitas Trilogi untuk Gebog Berdedikasi
Terkini
Lihat Semua