Pendidikan Tinggi

Penggunaan Primbon Jawa Menurut Hukum Islam

Jumat, 20 September 2024 | 11:00 WIB

Penggunaan Primbon Jawa Menurut Hukum Islam

(Foto: Dok. Istimewa)

Semarang, NU Online Jateng


Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Hukum Keluarga Islam (HKI) Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang menggelar Talkshow Hukum bertemakan ‘Analisis Adat Primbon Jawa Perspektif Hukum Positif, Hukum Islam dan Hukum Adat’. Talkshow berlangsung di ruang teater gedung Prof Qodry Azizy, Kampus 3 UIN Walisongo Semarang, pada Rabu (18/9/2024) lalu.


Dosen Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Triyono dalam penyampaian materinya mengatakan bahwa Primbon Jawa merupakan panduan suku Jawa dalam melaksanakan kegiatan tertentu, yang berorientasi pada relasi antara kehidupan manusia dan alam semesta. Ia menyebutkan, banyak sekali jenis ramalan primbon Jawa yang masih erat dipercayai oleh masyarakat, terlebih tentang perkawinan.


“Dalam penggunaan primbon Jawa, kalau diramal tidak cocok itu masih bisa disiasati. Misalnya dalam menentukan tanggal perkawinan,” ujarnya.


Ia menambahkan, saat ini praktik primbon Jawa dalam budaya kontemporer mulai ditinggalkan, seiring dengan perubahan dan perkembangan zaman, banyak orang yang sudah tidak lagi menerapkan primbon Jawa. Menurutnya, hal tersebut berkaitan dengan kepercayaan.


“Tergantung mau percaya atau tidak. Penggunaan primbon Jawa harus dipersiapkan dengan matang dan bertujuan baik, jadi boleh dilakukan boleh juga tidak dilakukan,” ujar Triyono.


Sementara itu, Hakim Pengadilan Agama Kota Semarang H Hasyim menjelaskan bahwa penggunaan primbon diperbolehkan selama tidak bertentangan dengan syariat dan akidah Islam. Namun apabila bertentangan, bahkan hingga menyebabkan kerugian bagi orang lain, maka dapat dibenturkan dengan hukum positif. 


“Kalau menerapkan primbon sampai membuat sengsara orang lain, nanti bisa dipidanakan,” ujarnya.


Lebih dari itu, H Hasyim juga menuturkan bahwa sanksi hukum adat berbeda dengan hukum positif yang tertulis. Bahwa secara tidak langsung pelanggar hukum adat dapat diberikan sanksi beban moral oleh masyarakat yang menganut kental adat primbon Jawa, misalkan gunjingan apabila menentang primbon perhitungan weton dalam perkawinan. 


“Bisa dilakukan bisa juga tidak. Intinya, ambil yang baik dan tinggalkan yang buruk,” pungkasnya.