Nasional

PSGA UIN Walisongo Sebut Kasus Kekerasan Seksual Bagai Fenomena Gunung Es

Jumat, 9 Agustus 2024 | 18:00 WIB

PSGA UIN Walisongo Sebut Kasus Kekerasan Seksual Bagai Fenomena Gunung Es

Ilustrasi kekerasan seksual. (Foto: Ilustrasi Shutterstock)

Semarang, NU Online Jateng

Kasus kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi marak terjadi. Data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) RI menunjukkan bahwa angka kekerasan seksual di lingkungan kampus sebanyak 1285 kasus per Agustus 2024. 


Banyaknya kasus kekerasan seksual yang ada di lingkungan kampus mendapatkan perhatian dari Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang, Jawa Tengah. Hal itu diungkapkan oleh Anggota Gender Fokal Point PSGA UIN Walisongo Semarang, Usfiyatul Marfuah.


Berkaca dari data Kementerian PPPA, Usfi mengatakan bahwa fenomena kekerasan seksual yang terjadi di Indonesia saat ini masih cukup banyak. 


“Dan salah satu lembaga yang menyumbang tingginya angka kekerasan seksual itu di lingkungan kampus. Sehingga, kampus menjadi salah satu perhatian khusus yang berkaitan dengan kekerasan seksual,” kata Usfi kepada NU Online Jateng, Kamis (8/8/2024).


Lebih lanjut, Usfi menyebut bahwa kasus kekerasan seksual saat ini masih dianggap sebagai fenomena gunung es. Sebab, kasus yang mencuat ke permukaan lebih sedikit dibandingkan dengan kasus yang tidak terungkap. 


“Kekerasan seksual Ini masih dianggap sebagai fenomena gunung es. Artinya kasus-kasus yang tidak tercatat dan tidak terlaporkan itu sebetulnya lebih banyak daripada yang diterima laporannya yang selama ini sudah tercatatkan,” ujarnya. 


Dengan banyaknya kasus kekerasan seksual yang terlapor, Usfi menyebut ada dua sudut pandang terkait bagaimana cara menyikapinya. 


Pertama, banyaknya kasus kekerasan seksual yang terlapor dapat diartikan bahwa saat ini banyak masyarakat yang peduli terhadap isu tersebut. Hal ini menunjukkan adanya upaya yang dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat. 


“Artinya masyarakat sudah mulai aware dan sudah mulai punya edukasi berkaitan dengan pelaporan atas kasus yang dialaminya atau yang dia lihat,” kata Usfi. 


Sedangkan jika dilihat dari prespektif negatif, Usfi mengatakan bahwa kasus kekerasan seksual yang terjadi di masyarakat hingga kini masih sangat tinggi. “Tentu ini menjadi keprihatinan bersama, ternyata dunia yang kita tempati ini tidak baik-baik saja. Itu kalau dari sisi negatifnya,” ujarnya. 


Jika ditarik ke ranah perguruan tinggi, lanjut Usfi, ternyata tidak sedikit kasus kekerasan yang masih terjadi. Ia juga menjelaskan bahwa kekerasan seksual bukan hanya tindakan seksual secara fisik saja, melainkan dalam bentuk verbal dan sebagainya. 


“Dan bentuknya itu banyak, tidak hanya secara fisik dipukul atau ditendang atau ditampar atau lain sebagainya. Itu juga bisa melalui tekanan psikologis, diancam, terus kemudian posesif. Nah itu kan bisa mengarah kepada kekerasan seksual yang terjadi,” kata dia. 


Selain itu, ia juga mencontohkan beberapa kekerasan seksual secara verbal. Misalnya, obrolan-obrolan yang bersifat seksis, mengirim gambar yang mengarah ke hal-hal yang berbau seksual, dan lain-lain. Oleh karenanya, menurut Usfi, sosialisasi tentang kekerasan seksual di kalangan mahasiswa menjadi hal yang sangat penting.


Sementara itu, Pemerintah telah menetapkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) juga menegaskan melalui Pasal 1 Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 menyebutkan tentang kekerasan seksual. 


Hal yang sama juga ditegaskan oleh Kementerian Agama (Kemenag) RI melalui Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia No. 73 Tahun 2022 mengenai Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Satuan Pendidikan.