Fahmi Burhanuddin
Kolomnis
Bulan Safar kembali hadir dalam perputaran kalender hijriah. Bagi sebagian masyarakat, bulan ini masih kerap dikaitkan dengan hal-hal buruk seperti penyakit, kecelakaan, hingga mitos "sial". Tak sedikit pula yang memilih menunda pernikahan atau safar (bepergian jauh) karena takut tertimpa musibah. Padahal, dalam pandangan Ahlussunnah wal Jamaah, anggapan ini bertentangan dengan ajaran Islam yang lurus.
Sebelum datangnya Islam, masyarakat Arab Jahiliyah memiliki banyak kepercayaan dan mitos terkait waktu, termasuk bulan Safar. Mereka menganggap bulan ini membawa kesialan dan petaka, sehingga sering disebut sebagai bulan musibah. Masyarakat Arab Jahiliyah menyebut Safar dengan صَفَرُ المُزَنَّرَةِ (bulan Safar yang penuh petaka) karena di bulan ini mereka sering meninggalkan rumah untuk berperang, sehingga banyak keluarga yang dilanda duka.
Rasulullah ﷺ datang menghapus keyakinan Jahiliyah tersebut secara tegas melalui sabdanya:
لَا عَدْوَى ، وَلَا طِيَرَةَ ، وَلَا هَامَةَ ، وَلَا صَفَرَ
Artinya: “Tidak ada wabah (yang menyebar dengan sendirinya tanpa izin Allah), tidak pula tanda kesialan, tidak pula burung (tanda kesialan), dan juga tidak ada (kesialan) pada bulan Safar.” (HR. Muslim no. 4166)
Ibnu Rajab dalam karyanya Lathaiful Maʿarif menegaskan bahwa tidak benar seseorang menganggap bulan Safar sebagai bulan yang dipenuhi keburukan. Beliau menjelaskan bahwa semua bulan, termasuk Safar, memiliki potensi kebaikan maupun keburukan. Pernyataan beliau yang sering dikutip berbunyi:
وَأَمَّا تَخْصِيْصُ الشُّؤْمِ، بِزَمَانٍ دُونَ زَمَانٍ كَشَهْرِ صَفَرٍ ... فَغَيْرُ صَحِيحٍ
Artinya: “Adapun mengkhususkan kesialan pada suatu zaman tertentu, seperti bulan Safar atau lainnya, maka itu bukanlah benar.” (Lathaiful Ma’arif hlm. 138)
Ibnu Rajab melanjutkan keterangan bahwa sesungguhnya seluruh waktu adalah ciptaan Allah Ta‘ala, dan di dalamnya berlangsung perbuatan-perbuatan manusia. Maka setiap waktu yang diisi oleh seorang mukmin dengan ketaatan kepada Allah, itu adalah waktu yang diberkahi baginya. Dan setiap waktu yang dihabiskan oleh seorang hamba dalam kemaksiatan kepada Allah, maka itu adalah waktu yang membawa kesialan baginya. Maka, kesialan yang sebenarnya adalah perbuatan maksiat kepada Allah Ta‘ala.
Allah Ta‘ala berfirman:
Baca Juga
Meluruskan Mitos Kesialan Bulan Shafar
مَا أَصَابَكَ مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنَ اللَّهِ ۖ وَمَا أَصَابَكَ مِنْ سَيِّئَةٍ فَمِنْ نَفْسِكَ
Artinya: “Apa saja kebaikan yang kamu peroleh, maka itu dari Allah dan apa saja keburukan yang menimpamu, maka itu dari (kesalahan) dirimu sendiri.”(QS. An-Nisa’: 79)
Ayat ini menegaskan bahwa segala bentuk “kesialan” bukanlah akibat waktu atau tempat, melainkan berasal dari dosa dan lalainya manusia sendiri.
Dalam tradisi Ahlussunnah wal Jama‘ah terutama dalam mazhab Syafi‘i dan akidah Asy‘ariyyah seperti yang dianut Nahdlatul Ulama setiap waktu adalah kesempatan untuk meraih ridha Allah. Tidak ada waktu yang buruk, kecuali yang disia-siakan.
Ada sebuah qaul yang dinisbatkan kepada Imam Syafi’i mengatakan:
الوَقْتُ كَالسَّيْفِ، إِنْ لَمْ تَقْطَعْهُ قَطَعَكَ
Artinya: “Sesungguhnya waktu itu seperti pedang. Jika engkau tidak memotongnya (dengan amal), maka ia akan memotongmu (dengan kelalaian).”
Maka, daripada takut dengan waktu, takutlah menyia-nyiakan waktu. Isilah bulan Safar dengan dzikir, ilmu, amal saleh, dan keyakinan lurus bukan dengan mitos dan warisan tidak baik dari masa silam.
Penulis: Fahmi Burhanuddin (Alumni Ponpes An-Nawawi Berjan & STAI Imam Syafi’i Cianjur)
Terpopuler
1
PP GP Ansor Kutuk Kekerasan di Pemalang, Kasatkornas Banser: Serukan Perdamaian dan Dialog
2
PP Raudlatul Muhibbin Surakarta Buka Awwalussanah 2025, Kaji Tiga Kitab Turats Berkelas
3
Kemenag Umumkan Juara Lomba Karya Tulis Pesantren Ramah Anak 2025
4
Lesbumi PWNU Jateng dan Baznas Angkat Dakwah Digital Lewat Pelatihan Sinematografi Santri
5
Ketua MUI Wonosobo: Siap Jaga Kehidupan Beragama yang Damai dan Inklusif
6
LTN PCNU Kota Semarang Rekrut SDM Kader Muda Lewat Workshop Jurnalisme Multimedia
Terkini
Lihat Semua