• logo nu online
Home Warta Nasional Keislaman Regional Opini Kiai NU Menjawab Dinamika Taushiyah Obituari Fragmen Tokoh Sosok Mitra
Jumat, 26 April 2024

Opini

HAUL GUS DUR 2021

Gagasan Gus Dur tentang Pesantren

Gagasan Gus Dur tentang Pesantren
Gus Dur (nu online)
Gus Dur (nu online)

Sebagai seorang santri dan memiliki kekayaan intelektual yang cemerlang dalam bidang agama, politik, dan kebudayaan, Gus Dur juga mempunyai perhatian akan pembaruan dalam pesantren, khususnya di Indonesia. Dalam bukunya yang berjudul 'Menggerakkan Tradisi: Esai-Esai Pesantren', terdapat banyak aspek yang perlu diperbarui di dalam pesantren itu sendiri. Contohnya saja bagaimana Gus Dur mampu memposisikan kedudukan pesantren dalam kesusastraan Indonesia. Mungkin kita bingung, memang apa hubungannya pesantren dengan sastra? Pasti sangat bertolak belakang dan bisa jadi tidak ada hubungannya sama sekali.


Pada awal kalimatnya Gus Dur mengamini pendapat ini bahwa dalam perspektif sastra Indonesia, pesantren masih belum diminati oleh kalangan sastrawan Indonesia pada waktu itu. Menurutnya, hanya ada 2 sastrawan yang bernama Djamil Suherman dan Mohammad Radjab. Itupun mereka hanya mampu menuliskan nostalgia seputar pesantren bukan menggambarkan jiwa pesantren secara utuh. Dalam penutupnya, Gus Dur memberikan sebuah simpulan bahwa salah satu jalan untuk mengatasi kekurangan materi pesantren dalam kesusastraan Indonesia adalah dengan mencari persoalan dramatis yang mengarah pada bentuk satire.


Pada pembahasan ini Gus Dur mengkritik kurikulum pembelajaran pesantren di Indonesia pada saat itu. Menurutnya, sistem pendidikan di pesantren masih belum memiliki kesamaan dasar di luar penggunaan buku-buku wajib (Kutub Al-Muqararah) yang hampir bersamaan atau di luar materi pelajaran yang berdekatan. Keragaman ini timbul akibat dari ketidaksamaan dalam sistem pendidikannya, di mana ada pesantren dengan sistem pendidikan berupa pengajian tanpa sekolah/madrasah, ada pesantren yang hanya menggunakan sistem pendidikan klasikal, dan ada yang menggabungkan antara sistem pengajian dan sistem madrasah non klasikal. Namun, perlu ditekankan kembali bahwa tidak mungkin ada penyatuan kurikulum selama masih ada perbedaan-perbedaan yang dianut. 


Dari masalah tersebut, Gus Dur memberikan tawaran kurikulum dengan sebab beberapa ketentuan. Pertama, ketentuan untuk menghindarkan pengulangan, sepanjang tidak dimaksudkan untuk pendalaman. Kedua, penekanan pada latihan. Dan ketiga, tidak dapat dihindari adanya lompatan tidak berurutan dalam diktat selama pendidikan berlangsung.


Oleh karena itu, Gus Dur memberikan tawaran kurikulum untuk pesantren di Indonesia. 1) memberikan waktu terbanyak pada unsur nahwu-sharaf dan fiqih, karena kedua unsur ini perlu pengulangan, 2) mata pelajaran lain hanya diberikan selama setahun tanpa pengulangan, dan 3) pemberian materi hadits Shahih Bukhari dan Muslim serta Ihya’ Ulumuddin pada tahun terakhir. Gus Dur memetakan jangka waktu pembelajaran selama 6 tahun. Pada tahun pertama dan ketiga, santri mempelajari materi Nahwu, Fiqih, Sharaf, dan Tauhid. Tahun keempat mempelajari Fiqih, Balaghah, dan Tafsir. Tahun kelima Mantik, Ushul Fiqih, dan hadits. Dan tahun keenam dicukupkan pada pembelajaran hadits dan tasawuf.


Gagasan Gus Dur tentang pesantren lebih pada penyederhanaan kurikulum yang ada di Indonesia pada saat itu. Beliau menekankan bahwa penyederhanaan ini tidak bermaksud untuk mendangkalkan ilmu agama, melainkan dapat dimasukkan ke dalam sistem pengajaran yang lebih luas seperti pengajian agama nonkurikuler. Diharapkan gagasan pembaruan seputar pesantren tidak hanya berhenti di situ saja, perlu ada kajian lebih luas lagi agar pendidikan pesantren tetap eksis sepanjang zaman.


Satu istilah yang kemudian sangat terkenal dan menjadi penanda bagi pemikiran Gus Dur, terutama dalam hal keagamaan dan sosial, adalah 'pribumisasi Islam'. Praktik pribumisasi Islam berpijak pada kaidah fiqih seperti al-adah muhakkamah (adat istiadat bisa menjadi hukum) dan al-muhafazatu bi qadimis shalih wal-ahdzu bil jadidil ashlah (memelihara hal lama yang baik dan mengambil hal baru yang lebih baik).


Di sini kita bisa melihat satu sisi penting dari pemikiran Gus Dur mengenai Islam. Yakni bahwa orientasi keislaman yang dikembangkan adalah Islam yang berpijak pada tradisi, kelokalan, sekaligus kekinian, bukan Islam yang berorientasi pada pemurnian atau purifikasi. Inilah yang membedakan Gus Dur dengan corak pemikir Islam modernis yang menghendaki pembaharuan Islam dengan jargon kembali kepada Al-Qur'an dan hadits.


Dapat dikatakan bahwa gagasan Gus Dur segaris saja dengan tradisi berislam yang telah dijalani masyarakat Islam di Nusantara. Ia tidak menawarkan sesuatu yang sepenuhnya baru, yang ia lakukan adalah apa yang ia sebut dengan 'mendinamisasikan' tradisi.


Gus Dur pun tidak segan untuk mendialogkan tradisi Islam dengan tradisi agama atau budaya lain untuk kemudian membangun satu peradaban bersama. Pada titik inilah kemudian bisa dipahami mengapa Gus Dur dengan mulus menemukan jalan penyelesaian dalam soal hubungan antara agama (Islam) dan negara.


Menurut Gus Dur, kewajiban setiap muslim adalah mewujudkan negara damai (darul sulh) bukan negara Islam (darul Islam). Sebuah negara republik yang di dalamnya ada kedamaian, keadilan, kesetaraan, dan penghormatan terhadap martabat kemanusiaan adalah negara yang sejalan dengan agama Islam. Karena itu perjuangan menegakkan Islam kemudian perlu diterjemahkan menjadi perjuangan bersama kelompok lain--dalam negara Indonesia yang beragam ini-- untuk mewujudkan demokrasi, kemaslahatan, keadilan, kesetaraan dan penghormatan terhadap kemanusiaan. 


Islam, dengan demikian, bukan menjadi satu warna yang mendominasi, namun menjadi salah satu warna saja dalam mozaik besar bernama Indonesia.(*) 



Aji Setiawan, demisioner Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Komisariat KH Wachid Hasyim UII Jogjakarta. Selatan MINU 02 Cipawon, Desa Cipawon RT 06/RW 01, Bukateja, Kabupaten Purbalingga 53382  


Opini Terbaru