• logo nu online
Home Warta Nasional Keislaman Regional Opini Kiai NU Menjawab Dinamika Taushiyah Obituari Fragmen Tokoh Sosok Mitra
Kamis, 28 Maret 2024

Opini

Menghapus Dikotomi PMII HMI Jadi Santri 

Menghapus Dikotomi PMII HMI Jadi Santri 
Foto: Ilustrasi (nu online)
Foto: Ilustrasi (nu online)

Menjawab statemen Prof Asep dan Kiai Marzuki dalam Harian Bangsa Online edisi (9/1) dan tulisan opini oleh Saekan Muchith di NU Online Jateng edisi (23/1) berikut tanggapan saya.


Adalah sebuah kemunduran yang jauh dari cita cita besar para pendiri Nahdlatul Ulama, ketika semua berebut saling sikut, sampai pada akhirnya memutus tali silaturrahim di antara sesama, atau antipati tanpa henti. Ketika perhelatan akbar yang disebut muktamar menyisakan kerikil-kerikil tajam sehingga akan merobek perjalanan tegap kaki-kaki tangguh para pejuang Ahlussunnah wal jamaah An-Nahdliyah, hanya karena beda baju saat di PMII dan HMI. 


HMI dan PMII sejatinya sama organisasi kemahasiswaan Islam di Indonesia. Di mana keduanya memiliki tujuan yang sama namun hanya sekadar berbeda bajunya. Kedua organisasi ini sangatlah tidak asing di telinga masyarakat dengan anggota yang tersebar di seluruh Indonesia. Kedua organisasi kemahasiswaan tersebut hanyalah wadah bagi para mahasiswa Islam untuk menyalurkan aspirasinya di kampus yang berbeda-beda. Namun entah kenapa kadang terjadi perbedaan itu dibesar-besarkan dan membuat anggota atau kader dari kedua belah pihak sulit dapat saling menerima satu sama lain.


Sekadar Nelisik Sejarah


Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) adalah sebuah organisasi kemahasiswaan yang berdiri pada tanggal 17 April tahun 1960 di Surabaya dengan ketua umum pertama PMII bernama Mahbub Djunaedi yang juga mantan tokoh HMI. Dengan tujuan  'Terbentuknya pribadi muslim Indonesia yang bertaqwa kepada Allah SWT, berbudi luhur, berilmu, cakap dan bertanggung jawab dalam mengamalkan ilmunya dan komitmen memperjuangkan cita-cita kemerdekaan Indonesia'. PMII memang pernah menjadi Badan Otonom (Banom) dari NU namun pada 1972 menyatakan lepas dari Banom NU dan menjadi independen.


Sementara Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) adalah sebuah organisasi mahasiswa yang didirikan di Yogyakarta pada tanggal 14 Rabiul Awal 1366 H bertepatan dengan tanggal 5 Februari 1947 atas prakarsa Lafran Pane beserta 14 orang mahasiswa Sekolah Tinggi Islam (sekarang Universitas Islam Indonesia). Berdirinya organisasi Himpunan Mahasiswa Islam disingkat HMI bertujuan 'Mempertahankan Negara Republik Indonesia dan mempertinggi derajat Rakyat Indonesia, Menegakkan dan mengembangkan ajaran agama Islam'.


HMI dalam sejarahnya tidak pernah menjadi Banom organisasi manapun karena bersifat independen sejak awal lahir, walaupun seringkali diisukan dekat dengan Muhammadiyah karena lahirnya di daerah teritorial Muhammadiyah (Yogyakarta), namun di Muhammadiyah sendiri mempunyai Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM).


Santri Lepas dari Hegemoni


Para alumni santri sangat menyadari betul, bahwa ikatan atau persatuan dan forum hanya sekadar ruang silaturahim temu kangen di antara sesama. Semua pesantren di berbagai daerah mempunyai ikatan santri alumni atau mutakhorijin   untuk mempermudah pertalian kumunikasi terhadap almamater dan mutakhorijin, tidak lebih dari itu. Santri tidak akan pernah melepas bajunya sebagai santri terhadap gurunya sebagai sanat keilmuawan, sehingga rasa tawadzu, ta'dzim kepada sesama santri sebagai bentuk menghormati kealiman seseorang sangatlah kentara. Pertalian keilmuan dan kesamaan sanad keilmuan yang membuat tidak adanya sekat atau hegemoni antar mutakhorijin pesantren.


Hanya kedalaman Ilmu yang membentuk kepiawaian seseorang mampu memposisikan pada masing-masing level tertentu, atau tempat yang berbeda sebagai bentuk eksistensi standar kelayakan seseorang dan tidak harus di perebutkan antara siapa dari mana.


Menghapus Dikotomi PMII dan HMI


Disadari atau tidak bahwa hegemoni terhadap pergerakan atau organisasi kemahasiswaan akan menambah sekat-sekat perbedaan dan memperuncing permusuhan. gesekan-gesekan ini yang akan menjadi gempa dalam wadah besar Nahdlatul Ulama (NU). Cita-cita untuk mewujudkan kemandirian sebagai upaya menyongsong satu abad NU tidak akan pernah terwujud. Polarisasi ini akan tambah diperuncing dengan munculnya geng-gengan, antarsesama pengurus, sebagai upaya berkhidmah terhadap NU atau para kiai.
 

Organisasi kemahasiswaan di kampus adalah upaya membentuk dan melatih kepemimpinan yang akan memunculkan leadership, maka keteguhan ketangguhan yang ditempa pada saat pelatihan akan menambah kepekaan sosial, bukan menciptakan geng di antara sesama, menyatukan visi untuk selalu berkhidmah terhadap NU di manapun berada.


Penutup


Penulis sekadar menyuguhkan pemikiran yang mungkin kurang pantas karena penulis di luar ring tapi berkepentingan dan sebagai santri kendilen yang peduli, dari keterbatasan itu maka muncul gagasan atau ide hilangkan sekat PMII HMI dan jadilah santrinya para kiai yang akan selalu berkhidmah dan mempertahankan terwujudnya Baldatun Thoyyibatun pada NKRI yang dicintai. Karena NU adalah pesantren besar yang didirikan oleh para tokoh besar untuk menjawab tantangan zaman, bukan ajang perebutan kekuasaan. Wallahu a'lam bis shawab



H Munib Abd Muchith, alumni Lirboyo 1992, alumni PP Al-Itqon Bugen, Kota Semarang, Wakil Katib PWNU Jateng 


Opini Terbaru