• logo nu online
Home Warta Nasional Keislaman Regional Opini Kiai NU Menjawab Dinamika Taushiyah Obituari Fragmen Tokoh Sosok Mitra
Sabtu, 27 April 2024

Nasional

NU Pekalongan Usulkan Pemilihan Ketua Umum PBNU dengan Sistem AHWA

NU Pekalongan Usulkan Pemilihan Ketua Umum PBNU dengan Sistem AHWA
Diskusi pra muktamar menggagas pemilihan ketum PBNU dengan AHWA (Foto: NU Online Jateng/M Ngisom Al-Barony)
Diskusi pra muktamar menggagas pemilihan ketum PBNU dengan AHWA (Foto: NU Online Jateng/M Ngisom Al-Barony)

Pekalongan, NU Online Jateng 
Rais Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kabupaten Pekalongan, KH Saiful Bahri mengatakan, Meski sistem pemilihan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) pada Muktamar ke-34 NU di Lampung dengan sistem Ahlul Halli Wal Aqdi (AHWA) ditolak pada Munas dan konferensi besar (Konbes) NU di Jakarta tahun 2021, tidak ada salahnya kembali digagas dan diusulkan.

 

"Pemilihan Ketua Umum PBNU model AHWA dapat menghindari campur tangan dari pihak eksternal dan meminimalisir luka di internal NU terutama bagi kubu yang kalah," tegasnya pada diskusi pra Muktamar NU yang dihelat PCNU Kota Pekalongan di Griya Jagad Dahar Kota Pekalongan, Jumat (3/12) malam.     

 

Menurutnya, sistem AHWA pada pemilihan Ketua Umum PBNU justru akan memperkuat posisi tanfidziyah selaku pelaksana program dan harus seiring dengan Rais Aam yang juga dipilih melalui AHWA. 

 

"Jika sistem AHWA tidak disetujui, ada pilihan lain yakni Ketua Umum PBNU cukup dipilih oleh PWNU. Model pemilihan 1 tingkat di bawahnya sebenarnya sudah diberlakukan di PWNU, PCNU, dan MWCNU yakni rais dan ketua dipilih oleh pengurus 1 tingkat di bawahnya. 

 

"Jangan sampai waktu pelaksanaan muktamar yang sangat singkat dihabiskan energinya untuk persoalan siapa yang bakal pimpin PBNU untuk 5 tahun mendatang. "Banyak persoalan-persoalan sangat krusial yang memerlukan perhatian muktamirin selain persoalan siapa Rais Aam dan Ketua Umum PBNU mendatang," bebernya.  

 

"Seharusnya PBNU bisa memberi contoh kepada jajaran tingkatan organisasi di bawahnya hingga ke ranting bahwa model yang diterapkan di syuriyah juga bisa diaplikasikan di tanfidziyah," sambungnya.  

 

Kiai Saiful juga mengusulkan, karena peserta muktamar NU dibatasi 3 utusan setiap cabang, sementara dalam sidang-sidang muktamar ada 5 komisi, maka perlu disikapi oleh pengurus wilayah dengan menggelar acara pra muktamar untuk membahas secara khusus penempatan peserta di masing-masing komisi.   

 

"Ini dimaksudkan agar delegasi Jateng khususnya bisa mengisi pos-pos sidang komisi. Sehingga penempatannya tidak lagi mewakili cabang akan tetapi mewakili wilayah," ucapnya.

 

Terkait dengan masalah waktu pelaksanaan muktamar ke-34, Ketua PCNU Kota Pekalongan H Muhtarom menegaskan, soal penjadwalan ulang waktu perhelatan Muktamar NU di Lampung biarlah menjadi ranah PBNU.    

 

"Masalahnya bukan pada maju, tetap, atau mundurnya pelaksanaan muktamar. Akan tetapi pada persoalan-persoalan bahasan dalam acara muktamar yang hingga kini belum ada kabar kelanjutan harus mendapat perhatian serius dari PBNU," ujarnya. 

 

Dikatakan, saat ini yang menjadi perdebatan soal waktu pelaksanaan dan siapa pengganti Rais Aam dan Ketua Umum PBNU, bukan pada masalah-masalah yang sangat prinsipil seperti program kerja, organisasi, rekomendasi, maupun persoalan-persoalan kebangsaan.   

 

"Agenda hajatan lima tahunan PBNU semestinya bisa lebih difokuskan kepada persoalan-persoalan internal organisasi bagaimana menyongsong 1 abad NU. Selain itu juga tak kalah pentingnya meneguhkan khidmah jamiyah maupun jamaah di tengah-tengah masyarakat," tegasnya.   

 

Menyinggung soal model pemilihan Ketua Umum PBNU yang telah ditetapkan dalam Munas dan Konbes NU di Jakarta yakni melalui pilihan langsung oleh PCNU, Kiai Tarom berpendapat bahwa usulan PWNU Jateng pemilihan Ketua PBNU melalui AHWA yang ditolak dalam Konbes NU di Jakarta perlu dipertimbangkan kembali untuk bisa diterapkan dalam Muktamar ke-34 di Lampung.   

 

"Jika pada Munas Konbes NU di Pesantren Kempek Cirebon tahun 2012 NU mengusulkan pemilihan kepala daerah agar dikembalikan ke DPRD, tapi mengapa justru di NU menerapkan kebalikannya. Ini kan aneh?," pungkasnya.   

 

Penulis: M Ngisom Al-Barony 
Editor: Samsul Huda


Nasional Terbaru