• logo nu online
Home Warta Nasional Keislaman Regional Opini Kiai NU Menjawab Dinamika Taushiyah Obituari Fragmen Tokoh Sosok Mitra
Selasa, 30 April 2024

Opini

Menolak Digdaya Semu

Menolak Digdaya Semu
Foto: Ilustrasi (nu online)
Foto: Ilustrasi (nu online)

Tak akan pernah goyah dengan angin, tak akan pernah tumbang dengan badai, tak akan tergerus dengan ombak di pantai itu kalimat yang biasa terucap oleh para penyair cara mengungkapkan digdaya, sampai pada kesimpulan bahwa digdaya itu kekuatan yang mengakar bukan kebesaran angan-angan yang tergambarkan dengan kemewahan atau seremonial.


Jargon yang membakar semangat untuk lebih menguatkan sebagai stimulus atau asupan gizi pada tubuh yang loyo. Digdaya itu memompa atau motivasi pada semua kepengurusan di semua level tingkatkan bahwa Nahdlatul Ulama (NU) adalah kekuatan besar atau raksasa yang akan menyangga bumi untuk menciptakan peradaban baru. Dengan meniru para salafus shalihin yang selalu menebar kedamaian sebagai rahmatan lilalamin  yang lalu di bangkitkan dengan keislaman Nusantara (al-jawi) yang selalu menjaga toleransi.


Kedigdayaan Semu


Ibarat tanaman yang tumbuh menjadi besar dan rimbun di tengah hamparan padang savana, indah memukau menjadi perhatian para petani turisme untuk sekadar berswaphoto atau observasi para ilmuwan untuk penelitian sebagai tugas karya ilmiahnya dengan bukti-bukti empiris lalu disidangkan di hadapan para penguji atau promotor dan hasilnya summa cumlaude dan disertasinya menjadi rujukan.


Tetapi penelitian itu tidak akan lolos uji saat observasi tidak secara komprehensif yang menyeluruh, atau penelitian yang cuma diambil sampling, ternyata ketegaran dan kuatnya pohon itu ada penyangga yang di sembunyikan. Kekuatan penyangga itu suatu saat akan rapuh atau keropos dimakan usang akan lampuk tergerus zaman, kalau hanya sekadar sandaran.


Kemewahan yang tergambarkan dengan kemegahan penyelenggaraan sebuah acara itu hanya  keseriusan pada penyelenggaraan, sebagai kulit yang akan ditampilkan di permukaan, karena akan ditonton dan bukan digdaya yang semestinya. Substansinya yang selalu harus diseriusi bersama oleh para pemegang kebijakan dari berbagai level kepengurusan sehingga kekuatan itu akan terwujud digdaya, menguatkan akarnya, sehingga dapat menjalar ke mana saja.


Ngopeni dan Memperhatikan


NU yang warganya lebih dari separoh penduduk Indonesia dengan berbagai macam strata dan kesibukan yang berbeda, adalah sebuah pekerjaan yang membutuhkan perhatian secara khusus sehingga keberadaan pengurus bukan sekadar nama tapi ngopeni warganya, sementara keterbatasan anggaran untuk menindaklanjuti tidak ada kejelasan ini sebuah tantangan yang sangat luar biasa, sehingga disebut dengan masa khidmah, bukan masa kerja yang konotasinya dengan bayaran. 


Umumnya warga NU ini berada pada pedesaan yang nota bene para petani penggarap bukan pemilik lahan. Ini sebuah persoalan, atau yang berada di pinggiran kota yang umumnya para pekerja pabrikan atau karyawan dan buruh, sehingga keberadaan pengurus harus mampu melindungi mengayomi dan memperhatikan dengan sepenuh hati, bukan memerintahkan dengan semau gue. Maka, pemetaan untuk berkhidmah dengan mempertimbangkan skala prioritas itu dibutuhkan data bentuk tindakan secara kwantitatif (tepat sasaran), maka PWNU Jateng periode 2018/2023 telah melakukan ini.


Data kwantitatif ini mampu memetakan berapa para petani Nahdliyin yang membutuhkan perhatian, dan ternyata ada kesulitan masalah pengadaan pupuk, tugas LPPNU mendorong mengawasi mengadvokasi dan mengawal sebagai pendampingan para petani Nahdliyin dan inilah yang disebut kemandirian yang digdaya dan bermartabat. Bukan berbasis proyek dan proposal pada penyelenggara negara. Begitu pula masalah kesehatan, LKNU sebagai leading sekitarnya mampu mendorong pada semua MWCNU untuk berikhtiar mendirikan klinik-klinik pratama bekerja sama dengan Lembaga Amil Zakat Infaq dan Sedekah Nahdlatul Ulama (LAZISNU) yang pergerakanya masif dengan koin NUnya. 


Koin NU yang didorong secara massif oleh semua PCNU dan MWCNU bukan sekadar mengumpulkan uang receh tetapi bentuk konsolidasi pada warga sehingga mampu mendorong masing-masing warga tergerak berpartisipasi memiliki NU, ini sebagian akar yang di kuatkan oleh PWNU. Atau penggabungan lembaga yang berkompeten dengan penanggulangan bencana alam, rob, gunung meletus, longsor, dan lain-lain dalam satu komando NU Peduli di PWNU Jateng. Hanya dua program yang mampu ditampilkan oleh penulis dalam tulisan ini, masih banyak lagi yang lainnya yang bersifat mengakar.


Kaderisasi Nahdliyin


Bukan berarti doktrin buta tetapi kaderisasi adalah hal yang lumrah pada semua organisasi atau perkumpulan. Karena pemimpin yang sukses adalah seseorang yang mampu mengkader penerusnya untuk mewarisi memimpinnya. Sehingga program dan organisasi terus akan berjalan, bukan berarti cawe-cewe tetapi lebih karena kaderisasi agar dapat terarah. Kalau Kaderisasi teramputasi maka akan muncul pemimpin dadakan dengan gaya dan pemikiran yang kadang melompat-lompat, sementara implementasinya zong, lebih ironi lagi akan muncul pemimpin pragmatisme, ini justru akan menghancurkan organisasi itu sendiri. Maka, PWNU Jateng telah mengkader di berbagai lini dan level untuk dapat meneruskan tongkat estafet, bahkan kader pertanian di masing-masing LPPNU dapat terselenggara, ini sebuah ikhtiar untuk digdaya yang mengakar


Penutup


Ber NU itu bukan sekadar pengakuan belaka tetapi lebih dari itu adalah berkhidmah terhadap NU, seberapa sumbangsih yang diberikan terhadap NU, bukan berebut untuk menjadi pengurus, lalu justru akan menjadi urusan, karena sekadar kendaraan untuk dapat perhatian atau sebagai pristisius menumpang ketenaran. Wallahu a'lam bis shawab


H Munib Abd Muchith, Katib PWNU Jateng, alumni Pesantren Lirboyo 92 dan alumni Pesantren Al-Itqon Bugen, Kota Semarang


Opini Terbaru