Opini

Maulid Nabi Tidak Sekadar Berdendang dan Jaburan

Kamis, 4 September 2025 | 14:00 WIB

Maulid Nabi Tidak Sekadar Berdendang dan Jaburan

Dzibaan Barzanji (Foto:Istimewa)

Oleh: Mufid Rahmat

Sebagai orang yang terlahir di Mranggen, Kabupaten Demak, saya selalu teringat suasana indah setiap bulan Rabiul Awal. Di kota wali yang sarat tradisi Islami itu, riuh gemuruh lantunan shalawat Nabi menggema selepas Maghrib atau Isya, sejak malam pertama hingga 12 Rabiul Awal. Suara merdu dari mushala dan masjid membelah bening malam yang temaram, jauh dari gemerlap lampu listrik.


Semua orang datang dengan hati gembira. Mereka melepas penat seharian bekerja, menanggalkan segala problema, lalu melantunkan shalawat Nabi Muhammad. Getaran shalawat itu menjalar ke relung hati, menghadirkan keteduhan dan rasa terbebas dari beban. Hidangan sederhana berupa jaburan, teh, kopi, dan rokok melengkapi kemeriahan pembacaan Al-Barzanji. Tidak ada tausiyah formal; yang ada adalah kebersamaan penuh canda tawa.


Lebih dari Sekadar Tradisi


Ketika dewasa, saya mulai menyadari bahwa pembacaan Al-Barzanji bukan sekadar rutinitas tradisi atau budaya berdendang dan jaburan. Ia sarat pesan spiritual yang agung, filosofis, dan selalu relevan lintas zaman.


Kini saya tinggal di Solo Raya, yang masyarakatnya tidak banyak mengamalkan pembacaan Al-Barzanji atau Diba’ pada Rabiul Awal. Meski begitu, daerah ini memiliki tradisi populer lain: Grebeg Maulid di Keraton Surakarta. Dari sini saya melihat bahwa peringatan Maulid dalam bentuk apa pun sejatinya adalah dakwah kultural, sosial, dan spiritual yang bersifat akulturatif.


Pembacaan Al barzanji secara efektif menjadi media dakwah islamiah yang akulturatif dan rekonsiliatif. Banyak Islam abangan ( meminjam istilah antropolog Amerika, Clifford Geertz ) yang menjadi "santri" melalui media kondangan/hajatan yang diisi acara pembacaan Al barzanji dan atau masuk jamaah majlis ta'lim yang mentradisikan pembacaan Al barzanji. Demikian pula sebagai kawasan yang mayoritas non Nahdliyyin, banyak orang Muhamadiyah, bahkan salafi, misalnya, yang asyik larut dalam tradisi tersebut. Praktis tidak ada diskursus tentang bid'ah dan sebagainya.


Dari sisi sosial, tradisi ini mendorong tumbuhnya kedermawanan masyarakat. Mereka dengan ringan hati bersedekah, menjadi sponsor acara, atau membuka rumahnya untuk safari Maulid. Saya pun menyaksikan langsung bagaimana sebuah kampung yang awalnya kurang religius berubah menjadi “kampung sholeh”—makmur mushala-masjidnya, akrab dengan toleransi, dan aktif dalam majelis taklim.


Dari sisi spiritual, jamaah yang semula pasif perlahan menjadi jamaah aktif shalat berjamaah dan pengajian. Bahkan warga non-NU pun dengan ikhlas menjadi tuan rumah pembacaan Al-Barzanji, menjamunya sebagai wujud sedekah.


Sebagai pendatang di kampung yang belum "sholeh", saya banyak mengambil prakarsa spiritual, mulai dari mengajak membaca surat Yasin, di balai kampung,- diteruskan main gaple sampai haul massal/haul jamak dan safari maulid, setiap bulan rabiul awal, alhamdulillah terjadi perubahan yang sangat signifikan. Kini kampung saya bisa dikatakan sebagai "kampung sholeh", yang ramah spiritual dan sholeh sosial. Musholla dan masjid terasa makmur, toleransi sangat terjaga dan banyak orang tua yang aktif di majlis taklim yang berbasis tradisi Nahdliyyin.


Safari maulid yang dilakukan dengan cara anjangsana ke rumah warga, nyaris menjadi ajang kompetisi untuk menjadi tuan rumah/penyelenggara. Slot 12 malam menjadi terasa tidak memadai akibat antusiasme warga yang luar biasa. 


Dari dimensi spiritualitas, warga yang semula hanya aktif sebagai jamaah pasif ritual pembacaan Al barzanji, lambat laut menjadi jamaah aktif sholat berjamaah di mushola atau masjid serta menjadi anggota tetap jamaah majlis taklim berbasis Nahdliyyin. Warga non Nahdliyyin pun dengan senang hati menjadi tuan rumah pembacaan Al barzanji disertai keikhlasannya menjamu jamaah sebagai bentuk sedekah/sodakoh.


Nabi Muhammad SAW bukan hanya khairul anbiya’, tetapi juga teladan hidup yang visioner dan penuh kasih sayang. Aura positif itu menembus hati umat yang mencintainya, tanpa takut dilabeli bid’ah atau khurafat.


Apalagi, ada hadits yang menyebut:


"Man adhoma maulidi kuntu syafi’an lahu yaumal qiyamati. Waman anfaqo dirhaman fi maulidi fakaannama anfaqo jabalan min dhahabin fi sabilillah."


(Barangsiapa mengagungkan hari kelahiranku, maka aku akan menjadi pemberi syafaat baginya pada hari kiamat. Dan barangsiapa yang menginfakkan satu dirham untuk peringatan Maulidku, seakan-akan ia menginfakkan emas sebesar gunung di jalan Allah).


Oleh karena itu, Maulid Nabi tidak pernah berhenti pada gemerlap musik rebana, taburan jaburan, atau sekadar rutinitas. Ia adalah momentum spiritual yang menghidupkan kembali teladan Rasulullah SAW dalam kehidupan sosial dan kebangsaan kita.


Allahumma sholli ‘ala sayyidina Muhammad.