• logo nu online
Home Warta Nasional Keislaman Regional Opini Kiai NU Menjawab Dinamika Taushiyah Obituari Fragmen Tokoh Sosok Mitra
Minggu, 28 April 2024

Opini

Kiai Maimoen Zubair dan Perpolitikan di Indonesia

Kiai Maimoen Zubair dan Perpolitikan di Indonesia
KH Maimoen Zubair (Foto: NU Online)
KH Maimoen Zubair (Foto: NU Online)

Mungkin yang kita ketahui saat mendengar seseorang dengan sebutan 'kiai' hanyalah seorang agamawan atau pengasuh pondok pesantren. Namun pada kenyataannya banyak ulama atau kiai-kiai yang menggeluti peran di bidang Politik. Hal ini tidak terlepas dari pengaruh besar seorang kiai yang memiliki kharismatik, wibawa, ilmu keagamaan dan massa yang banyak yang mencakup santri dan masyarakat setempat.


Selain sebagai seorang agamawan, keberadaan ulama sebagai warasatul anbiya (penerus para nabi) dalam bidang politik juga tidak kalah penting. Keberadaan ulama di bidang politik sangatlah penting untuk dapat menasehati dan menuntun para politisi agar bergerak ke arah politik yang benar. Sebagaimana dalam ilmu fiqih terdapat bab siyasah yang membahas mengenai masalah politik yang Islami, yang sesuai dengan dasar-dasar ajaran Al-Quran dan hadits. Seperti halnya peran KH Maimoen Zubair dalam dunia politik di Indonesia juga tidak kalah penting, terutama dalam pemikirannya mengenai politik yang berpengaruh dalam dunia politik di Indonesia.


Profil Kiai Maimoen Zubair


KH Maimoen Zubair atau yang akrab dengan sebutan Mbah Moen, merupakan seorang tokoh ulama kharismatik juga nasionalis. Selain itu merupakan pendiri Pesantren Al-Anwar Sarang, Rembang, Jawa tengah. Kiai Maimoen merupakan putra pertama dari KH Zubair Dahlan dan Nyai Mahmudah lahir 28 Oktober 1928 dan wafat  6 Agustus 2019 pada saat sedang menunaikan ibadah haji. 


Kiai Mimoen menempuh pendidikan agamanya sejak kecil kepada ulama di daerah Sarang, kemudian pada tahun 1945 melanjutkan pendidikannya ke Pesantren Lirboyo, Kediri, Jawa timur. Di Lirboyo berguru kepada KH Abdul Karim (mbah manaf), Kiai Marzuqi dan lainya. Tak lama setelah itu pada tahun 1949 kembali ke Sarang kemudian mendirikan Madrasah Al-Ghazaliyah Asy-Syafi’iyah guna mengamalkan ilmunya. Kemudian pada tahun 1950, Mbah Moen melanjutkan pendidikannya ke Makkah selama dua tahun dan berguru kepada ulama-ulama besar seperti Sayyid Alawi Al-Maliki.


Pemikiran Politik Kiai Maimoen
     
Menurut Kiai Maimoen, politik bukanlah hanya kepentingan sesaat, melainkan jauh lebih dari itu, yaitu benar-benar untuk mengharmoniskan Islam dan kebangsaan, religius dan nasionalis, serta untuk mengharmoniskan ulama dan umara agar berjalan beriringan. Hal ini sejalan dengan pemikiran Imam Al-Ghazali mengenai kepemimpinan yang dituangkan dalam karyanya At-Tibr Al-Masbuk Fi Nasihat Al-mulk yang mengkategorikan kepemimpinan menjadi dua golongan. Pertama, dari golongan Umara (pemerintah) yang diwakili oleh Wazir dan Imam. Kedua, dari golongan para ulama yang diwakili oleh para fuqaha dan para hukama (ahli hikmah). (Subaidi, 2019)


Imam Ghazali menegaskan bahwa urusan kenegaraan dengan urusan keagamaan tidak bisa dipisahkan. Keduanya seperti sisi mata uang logam yang berbeda akan tetapi tidak dapat dipisahkan. Seorang pemimpin harus bisa memposisikan otoritas kenegaraan dengan otoritas keagamaan agar berjalan seimbang dan saling menguntungkan. Hal ini menyatakan bahwa berdirinya sebuah negara bukan hanya untuk kepentingan duniawi saja, kepentingan agama pun harus dapat diperhatikan. Negara merupakan sebuah lembaga yang memiliki kekuasaan dan menjadi tempat di mana syariat itu bisa ditegakkan. Sebab tujuan yang paling mendasar dari syariat tidak lain adalah kemaslahatan umat. (arafah, 2022)


Dengan demikian sebagaimana yang dilakukan Mbah Moen dalam berpolitik sangat menghargai perbedaan. Mbah Moen sangat menekankan terhadap kepentignan kemaslahatan umat. Seperti menjunjung tinggi nilai-nilai perdamaian dan pluralisme, saling menghargai perbedaan dan dapat menerima perbedaan pendapat. Selain itu, juga menekankan nilai-nilai amar ma’ruf nahi munkar. Konsep Ma’ruf dalam hal ini yaitu hubbul wathan minal iman yang artinya mencintai tanah air sebagian dari iman bertujuan demi kemaslahatan umat dan perdamaian. Hal tersebut memberikan pesan bahwa betapa pentingnya umat Islam untuk menjaga perdamaian bangsa dan membela NKRI dan Pancasila. (arafah, 2022)


Pandangan Mbah Moen mengenai NKRI, Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, dan UUD 1945 sudah final, maksudnya bangsa indonesia harus rela bertumpah darah untuk membela dan menjaga keutuhannya dari segala ancaman. Karena negara sudah merdeka dan disepakati oleh para ulama, maka dari itu siapapun tidak boleh mengubah ideologi yang sudah ditetapkan. Atas hal tersebut ia menyatakan bahwa NKRI harga mati. (Khoridatunisa, 2022)
KIPRAH POLITIK KH MAIMOEN ZUBAIR 


Selain sebagai sosok ulama kharismatik, KH Maimoen Zubair juga memiliki jejak karir di dunia politik pada tahun 1971-1978, dirinya pernah menduduki jabatan sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Rembang. Kemudian pada tahun 1987-1999, menjadi anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI, serta menjadi ketua Majelis Pertimbangan Partai (MPP) PPP pada tahun 1995-1999. Kemudian ditahun 2004 menjabat sebagai ketua Majelis Syariah PPP.
    

Kemudian juga pernah menjadi juru damai konflik internal partai yang disebabkan oleh perbedaan pendapat antara kubu Suryadharma Aly dengan kubu Romahurmuzy dengan mengeluarkan fatwa Islah (damai) kepada dua belah pihak. Hal ini sejalan dengan pemikirannya yang menjunjung tinggi nilai-nilai perdamaian dan kesatuan. (arafah, 2022)


Hingga pada saat Pilpres 2019 lalu, Mbah Moen menjadi rebutan dari dua kubu capres. Kedua kubu tersebut mengunjungi dan meminta restu kepada Mbah Moen, meskipun pada akhirnya Mbah Moen berada di kubu Jokowi. Akan tetapi, Mbah Moen yang teguh pada prinsipnya yang mengutamakan perdamaian dan kemaslahatan umat, Mbah Moen tetap menerima kunjungan dari Prabowo meskipun secara politik ia tidak berada dipihaknya, namun ia tetap menghormati dan tetap membesarkan hati tamunya. Hal ini menjadi bukti bahwa Mbah Moen sangat menjaga perdamaian dan keharmonisan dalam politik agar terciptanya kemaslahatan umat. 


Seperti yang diterangkan bahwa politik bukan hanya sekadar kepentingan sesaat, akan tetapi jauh lebih dari itu, yaitu untuk mengharmoniskan Islam dan kebangsaan, religius dan nasionalis, dan mengharmoniskan ulama dan umara agar dapat berjalan beriringan. Juga sejalan dengan nilai-nilai amar ma’ruf nahi munkar. Wallahu a'lam bis shawab


M Salman Al-Farizy, mahasiswa Prodi Sejarah peradaban islam pada Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunungdjati Bandung


Opini Terbaru