• logo nu online
Home Warta Nasional Keislaman Regional Opini Kiai NU Menjawab Dinamika Taushiyah Obituari Fragmen Tokoh Sosok Mitra
Sabtu, 27 April 2024

Opini

Berbeda itu Biasa, Menjaga Persatuan adalah Perintah Agama 

Berbeda itu Biasa, Menjaga Persatuan adalah Perintah Agama 
Foto: Ilustrasi (nu online)
Foto: Ilustrasi (nu online)

Berbeda pendapat dan berbeda pandangan sebenarnya bukan hal yang aneh dan tabu dalam khazanah Islam dan itu hal yang sangat wajar. Bahkan tidak sedikit dari perdebatan perbedaan pendapat justru muncul ilmu baru dan menambah khazanah keilmuan dalam Islam itu sendiri. 


Kita mengambil contoh kisah guru dan murid, Imam Syafii dan gurunya (Imam Malik). Guru dan murid ini berselisih dan berbeda pendapat terkait masalah rezeki. Imam Malik berpendapat rezeki itu datangnya tanpa sebab, cukup bertawakal kepada Allah SWT, maka Allah SWT akan memberikan rezeki. Sementara Imam Syafii berpendapat bahwa rezeki itu diperoleh dengan usaha dan kerja keras. Mereka berpendapat bukan tanpa dalil. Imam Malik berhujah dengan hadits Nabi SAW : "Andai kalian bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benarnya tawakal, niscaya Allah akan memberikan rezeki kepada kalian sebagaimana Dia memberikan kepada burung yang pergi dalam keadaan lapar lalu pulang dalam keadaan kenyang." 


Pendapat Imam Malik ini juga sesuai dengan Al-Qur'an surah Hud ayat: 6 "Tidak ada satupun makhluk yang bergerak (bernyawa) di muka bumi melainkan semuanya telah dijamin rezekinya oleh Allah, serta di mana tempat tinggalnya nanti." Sementara argumen Imam Syafii juga sesuai dengan Al-Qur'an Surah Al-Jumuah ayat: 10 "Jika kalian telah menunaikan shalat, maka bertebarlah kalian di muka bumi untuk mencari karunia Allah, dan banyak-banyaklah mengingat kepada Allah supaya kalian beruntung." 


Mereka sama-sama bersikukuh dengan pendapatnya masing-masing, suatu waktu Imam Syafii keluar rumah melihat orang sedang panen anggur, kemudian beliau menawarkan jasa membantu panen tersebut, setelah selesai Imam Syafi'I diberi imbalan beberapa ikat anggur. Tentunya Imam Syafii sangat senang, selain mendapat beberapa ikat anggur, hal ini juga sekaligus sebagai bukti bahwa pendapatnya benar. Imam Syafii kemudian bergegas meuju Imam Malik untuk memberikan hadiah beberapa ikat anggur yang telah diperolehnya, sekaligus melaporkan bahwa pendapatnya adalah benar. "Wahai Guru, anggur ini saya peroleh karena usaha". Imam Malik tersenyum dan mengatakan "Saya bersyukur, hari ini saya beraktivitas seperti biasa mengajar, dan terbesit dalam hati ingin menikmati anggur. Dan kamu datang membawa anggur, tanpa membuat aku keluar untuk berusaha mencarinya,".


Imam Syafii tertawa mendengar jawaban dari gurunya, kemudian mereka tertawa bersama-sama meski berbeda pendapat dalam mengambil hukum. Inilah seharusnya sikap seorang muslim dalam menyikapi perbedaan. Selain kisah Imam Syafii dan gurunya, di Nusantara juga ada kisah yang tidak kalah menarik perbedaan pendapat atau sudut pandang, seperti kisahnya Kiai Hasyim Asyari dan Kiai Faqih Maskumambang terkait pendapat tanda masuknya waktu shalat. Kiai Hasyim melarang kentongan sebagai tanda masuknya waktu shalat karena mirip lonceng orang Nasrani. Sementara Kiai Faqih justru membolehkanya. Dan ini adalah hal yang sudah biasa dalam khazanah Islam.


Dalam tahun politik ini kita juga di hadapkan dengan  banyak perbedaan pilihan, mulai dari pilihan DPR, DRPD, DPD hingga Presiden, lalu bagaimana kita menyikapi perbedaan tersebut. Kadang karena perbedaan pilihan ini, hubungan  dengan tetangga jadi tidak harmonis, berpapasan di jalan tersenyum, pasca-pemilu karena tahu beda pilihan jadi cemberut, dengan teman jadi tidak akur, dll. Hal demikian rupanya masih menjadi problematika, masih menjadi masalah yang berkepanjangan, yang dampaknya sampai ke mana-mana, bahkan sampai ke pemilu lima tahun mendatang pun masih cemberut, cemberut masih belum selesai sudah pemilu lagi. Hal demikian seharusnya sudah terlewatkan, dan tidak terjadi lagi. Karena kita sudah berkali-kali berpengalaman mengikuti pemilu.


Kita kadang lupa, atau mungkin tidak tahu, bahwa dengan diadakannya pemilu oleh pemerintah, sebenarnya kita disiapkan, diperintah, dan dididik untuk berbeda, toh perbedaan itu sendiri sebenarnya sudah melekat dalam budaya kita, dalam keseharian kita, budaya nusantara. Kita berbeda warna kulit tidak masalah, berbeda baju lebaran oke-oke saja, berbeda suku, agama, ras, kita aman-aman saja, sudah biasa. Tapi kenapa perbedaan pilihan pemilu menjadi masalah? Dan Allah SWT menegaskan dalam Al-Qur'an Surat Al-Hujurat: 13 "Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal." 


Sebenarnya kita sudah selesai dengan masalah perbedaan ini, karena jika kita menghargai perbedaan, berarti kita ridha dengan kehendak Allah SWT., hal ini juga selaras dengan semboyan kita sebagai warga negara yang melekat pada lambang negara Garuda Pancasila "Bhinneka Tunggal Ika" yang bermakna berbeda-beda tetapi tetap satu. Pancasila sila ketiga juga menyebutkan, Persatuan Indonesia, yang sudah menjadi kesepakatan bersama oleh para pendiri bangsa menjadi dasar negara kita Indonesia. Maka kita dituntut untuk bersatu, menghindari perpecahan, dan tidak kaget dengan perbedaan. Terkait hal ini Al-Qur'an Surat Ali Imran ayat tiga belas menyebutkan; "Dan berpegang teguhlah kamu semuanya pada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa jahiliah) bermusuhan, lalu Allah mempersatukan hatimu, sehingga dengan karunia-Nya kamu menjadi bersaudara".


Kalau kita renungkan, perbedaan kita dalam pemilu yang 5 tahunan ini adalah sebagai sarana atau jalan untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. Maka kita syukuri proses pemilu ini dengan niatan menjalankan perintah agama, dan bentuk ketaatan kita pada negara, yang insyaallah bernilai pahala kebaikan. Setiap manusia pasti punya kelebihan dan kekurangan masing-masing, dan semua itu tidak luput pada calon pemimpin-pemimpin kita, oleh karena itu kita berdoa dan berusaha memilih pemimpin yang terbaik, dengan hak suara yang kita miliki. Dan siapapun yang terpilih nantinya kita juga harus menerima dengan lapang dada. Wallahu a'lam bis shawab


Sechudin, Wakil Katib Majelis Wakil Cabang Nahdlatul Ulama (MWCNU) Mandiraja, Kabupaten Banjarnegara


Opini Terbaru