• logo nu online
Home Warta Nasional Keislaman Regional Opini Kiai NU Menjawab Dinamika Taushiyah Obituari Fragmen Tokoh Sosok Mitra
Jumat, 29 Maret 2024

Nasional

Rais Aam PBNU: Dunia Sedang Membutuhkan Keberkahan dari Pesantren

Rais Aam PBNU: Dunia Sedang Membutuhkan Keberkahan dari Pesantren
Rais Aam PBNU KH Miftachul Akhyar (Foto: Dok)
Rais Aam PBNU KH Miftachul Akhyar (Foto: Dok)

Boyolali, NU Online Jateng
Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Miftachul Akhyar mengatakan, saat ini dibutuhkan keberkahan-keberkahan ketika dunia sudah menunjukkan sifat pancarobanya. Yaitu dunia yang di hadapan kita serba terbalik: orang benar dikatakan salah, orang salah malah dibenarkan.

“Ini memerlukan keberkahan-keberkahan yang menurut saya hanya ada di pondok pesantren. Termasuk Pesantren Al-Huda dengan semua lembaganya,” kata Kiai Miftach dalam rangka Pengajian Akbar dan Hari Lahir (Harlah) ke-59 Pesantren Al-Huda Doglo, Candigatak, Cepogo, Boyolali pada Ahad (13/11/2022) lalu.

Kiai Miftach menyoroti tentang banyak orang (Indonesia) pandai tapi salah jalan. Ia menyitir ungkapan Ronggo Warsito. “Banyak orang pinter padha keblinger,”. Padahal menurutnya, Indonesia ini negara kaya raya.

“Saya berjumpa dengan orang bangsa luar melihat Indonesia itu surga. Tanahnya, hutannya, bahkan saya pernah dengar Sayyid Muhammad Alwi Al Maliki ketika ke Indonesia melihat Indonesia semua hijau, subur makmur, kaya raya. Kekayaannya melimpah, kandungan buminya bermacam-macam. Lautnya memiliki kekayaan yang luar biasa,” ujarnya.

Tapi sayangnya lanjut Kiai Miftach, kekayaan itu belum dirasakan merata oleh rakyat. Rakyat Indonesia kebanyakan masih disebut kaum lemah, fakir, dan miskin.

Ia mengisahkan, suatu saat dia diajak bertemu sejumlah orang terkaya di Indonesia yang dikenal dengan 9 Naga. Aset kekayaannya mencapai 82 persen dari kekayaan seluruh bangsa Indonesia. Bahkan ada satu orang yang memiliki 51 persen kekayaan Indonesia.

Di situ mereka menjabat tangan saya sambil mengucapkan, "Terima kasih NU". “Hampir semua aset Indonesia diambil mereka. Tapi malah mengucapkan terima kasih NU? Saya menyimpulkan sendiri, mereka menjadi orang yang sukses bisnisnya sampai disebut 9 naga karena mendapat berkah NU yang ada di Indonesia ini,” katanya.

Kesuksesan bisnisnya sampai menggurita itu jelas Kiai Miftach, karena barakahnya warga NU yang neriman, tak pernah menggulingkan kekuasaan dan memberikan keamanan.

NU Bergerak

NU sekarang hemat Kiai Miftach, mulai bergerak dalam pendidikan termasuk pendidikan tinggi dan kesehatan dengan sejumlah rumah sakitnya.

Namun, ekonominya yang sampai saat ini belum bisa dikatakan memuaskan. Tapi tetap diusahakan bersama. “Kenapa mengurus ekonomi di NU itu begitu sulit? Ada tangan-tangan kuat yang tidak ingin ekonomi NU kuat. Karena jika ekonomi NU kuat maka habis yang lain,” jelasnya.

Selain itu Kiai Miftach juga memaparkan catatan Imam Ghazali bahwa dunia pernah dikuasai Majusi (penyembah api) tidak kurang 4 ribu tahun. Rahasianya, menerapkan kejujuran dan keadilan. Jadi jujur dan adil sebagai ajaran umat Islam mestinya menjadi kebiasaan kita.

“Kok non-muslim mempraktikkan itu (jujur dan adil), diterima Allah (di dunia), buktinya Majusi. Kalau orang Islam yang melakukan, mestinya lebih hebat,” terangnya.

Maka NU sekarang lanjutnya, di samping bergerak merawat sebuah program yang lama tetap dipertahankan, juga melakukan perubahan menyesuaikan zaman. “Saat ketemu tokoh agama di Bali (R-20), itu dalam rangka kita ketemu untuk menunjukkan sifat ‘kesempurnaan/mulia’ kita. Ini salah satu bentuk memakmurkan bumi. Karena memakmurkan bumi butuh masyarakat, butuh komunitas,” ujarnya.

Dari situ, Kiai Miftach menegaskan agar kita memahami dan mempraktikkan al-dharuriyah al-khamsah (lima kebutuhan asasi) yang harus diperjuangkan dan memang juga diakui oleh agama manapun, yakni menjaga agama, jiwa, akal, harta, dan keturunan.

Berkah NU dan Pesantren

Kiai Miftach merasa beruntung karena adanya organisasi atau jamiyah NU. Dari pimpinan organisasi inilah yang mengatur, memberikan petunjuk, serta bimbingan.

“Berjamiyah itu wajib, tidak bisa yang penting saya mengamalkan tahlil – qunut, tapi tidak berjamiyah. Ini kayaknya benar tapi salah. Karena kita ini manusia yang tertata sedemikian rupa,” tegasnya.

Disampaikan, saat ini posisi pesantren menjadi benteng terakhir. “Jadi NU itu kumpulannya pondok pesantren. Maka NU itu disebut pesantren besar, sedangkan pesantren itu NU kecil,” terangnya.

Diutarakan, pesantren juga perlu lebih paham dunia digital. Serta paham yang disebut era disrupsi: era perubahan, era yang tidak menentu terutama di dunia bisnis.

“Bagaimana santri dapat memberikan pencerahan. Jika era disrupsi dipegang orang yang tidak bermoral akan terjadi kekacauan-kekacauan. Sampai saat ini pesantren masih terus melahirkan kader 'pinter dan bener'. Inilah yang dibutuhkan. Itu, hanya pesantren yang bisa melahirkan,” jelasnya.

Maka ia meminta bagi yang punya anak, silakan dititipkan ke pesantren. Agar anak mulia. “Inilah berkah. Akan kita dapatkan Indonesia jaya, berkah sentosa rakyatnya, makmur penuh dengan keadilan,” pungkasnya.

Bupati Boyolali H Said Hidayat yang hadir mengucapkan selamat atas Harlah ke-59 Pesantren Al-Huda Doglo. “Teruslah mengajarkan ilmu para wali dengan dasar lima, Pancasila,” katanya.

Acara ini turut dihadiri Katib Aam PBNU KH Ahmad Said Asrori, Rais Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jateng KH Ubaidullah Shodaqoh, Ketua PWNU Jateng KH Muzammil, Rais dan Ketua PCNU se-Soloraya, Forkopimda Boyolali, pimpinan ormas, serta ribuan wali santri, santri, dan para jamaah.

Pengirim: Siswanto AR


Nasional Terbaru