Keislaman

Rebo Wekasan dan Narasi Kesialan

Selasa, 27 Agustus 2024 | 13:00 WIB

Rebo Wekasan dan Narasi Kesialan

Ilustrasi Rabu Wekasan (Foto: NU Online Jateng)

Rebo Wekasan atau di sebagian daerah disebut dengan Rebo Pungkasan merupakan hari Rabu terakhir dibulan Safar. Dalam kalender masyarakat Islam Jawa, Rebo Wekasan dikenal dengan Rabu yang paling keramat. Pemahaman ini sudah mengakar kuat di lapisan masyarakat, sebab mengambil dari penjelasan Syekh Ad-Dairobi seorang ulama ahli tasawuf yang sudah mencapai level kasyaf, mengatakan bahwa dalam setahun ada 320 ribu bala’ atau bencana yang diturunkan ke bumi pada hari Rabu terakhir dibulan Safar. Selain penjelasan Ad-Dairobi, juga disampaikan oleh para ulama yang ada di Jawa misalnya KH Abdul Hamid Kudus yang mengarang kitab Kanzu As-Surur.


Menurut Yusuf Suharto dalam tulisannya di NU Online Penjelasan mengenai Rebo Wekasan kesialan yang sering disematkan pada hari Rebo Wekasan oleh masyarakat Jawa, sebenarnya juga disebutkan dalam Hadits yang terdapat dalam kitab Faidh al-Qadir, juz 1, hal. 45.


“Istilah naas yang terus menerus atau yaumi nahsin mustamir juga terdapat dalam hadits nabi. Tersebut dalam Faidh al-Qadir juz 1, hal 45, Rasulullah saw bersabda: Akhru Arba’ai fi al-syahri yawmu nahsin mustammir (Rabu terakhir setiap bulan adalah hari sial yang menerus),” ungkap Yusuf


Dalam ilmu hadits tidak mudah untuk mendeteksi makna hadits yang sebenarnya sebelum melihat asbabul wurud atau kejadian diturunkannya hadis ini. Yusuf Suharto memiliki kesimpulan bahwa


“Kesialan yang terus menerus itu hanya berlaku bagi yang mempercayai. Bukankah hari-hari itu pada dasarnya netral, mengandung kemungkinan baik dan jelek sesuai dengan ikhtiar perilaku manusia dan ditakdirkan Allah swt,” jelas Yusuf


KH Abdul Kholik Mustaqim dari Tambakberas Jombang yang mengatakan bahwa para ulama yang menolak kesialan pada bulan Safar terutama pada Rebo Wekasan memiliki pendapat bahwa:


Pertama: Hadis yang menerangkan kesialan di hari rabu terakhir bulan Safar merupakan hadits dhaif yang tidak dapat dibuat pegangan, oleh sebab itu tidak bisa dibuat sebagai pijakan.


Kedua: Dalam Syariat tidak ada anjuran khusus untuk melakukan amalan tertentu di hari Rebo Wekasan. Sementara selama ini, anjuran tersebut dikemukakan oleh ulama tasawuf, sehingga belum dikategorikan sebagai hujjah secara syar’i.


Ketiga: Tidak ada shalat khusus dalam Rebo Wekasan, namun apabila ingin melaksanakan shalat sunnah diperbolehkan dengan niat sholat hajat lidaf'il bala dan sholat sunnah mutlaqah.


Sejalan dengan hal itu, Yusuf Suharto juga mengutip pandangan dari KH Miftakhul Akhyar Rais Aam PBNU yang mengatakan bahwa kesialan itu bisa terjadi sejalan dengan yang diyakininya.


Nahas (kesialan) yang dimaksud adalah bagi mereka yang meyakininya, bagi yang mempercayainya, tetapi bagi orang-orang yang beriman meyakini bahwa setiap waktu, hari, bulan tahun ada manfaatnya dan ada mafsadahnya, ada guna dan ada mudharatnya. Hari bisa bermanfaat bagi seseorang, tetapi juga bisa juga nahas bagi orang lain. Artinya hadits ini jangan dianggap sebagai suatu pedoman, bahwa setiap Rabu akhir bulan adalah hari naas yang harus dihindari. Karena ternyata pada hari itu, ada yang beruntung ada yang bunting. Tinggal kita berikhtiar meyakini bahwa semua itu adalah anugerah Allah,”


Lalu bagaimana dengan amalan-amalan yang sudah diamalkan di lingkungan masyarakat, apakah boleh diamalkan untuk menolak bala’? Disini muncul perbedaan pendapat di kalangan para ulama. Namun untuk melakukanya dengan melaksanakan amalan, tidak ada salahnya. Boleh merujuk pada Syekh Ad-Dairobi seorang ulama ahli tasawuf atau pada KH Abdul Hamid Kudus yang memiliki kitab Kanzun Najah Was-Surur fi Fadhail Al-Azmina Wash-Shuhur. 


Kitab ini sangat populer dan selalu menjadi rujukan tentang Rebo Wekasan. Semua amalan yang bisa diamalkan di Rebo Wekasan dengan catatan tidak melanggar nilai-nilai dan ketentuan syariat maka diperbolehkan.