Keislaman

Benarkah Rebo Wekasan Hari Kesialan?

Jumat, 30 Agustus 2024 | 09:00 WIB

Benarkah Rebo Wekasan Hari Kesialan?

Ilustrasi (Freepik)

Semarang, NU Online Jateng 

Rebo Wekasan dalam tradisi Islam Jawa diyakini sebagai hari yang sangat sakral, sebab di hari tersebut akan diturunkan berbagai bala’. Keyakinan ini muncul dari pandangan seorang ahli tasawuf yang sudah mencapai tingkat kasyaf yaitu Syekh Ad-Dairobi. Menurut Ad-Dairobi ada sekitar 320 ribu bala' akan diturunkan pada hari rabu terakhir pada bulan Safar. 


Para ulama di Jawa khususnya, mengantisipasi hal tersebut dengan menjalankan ritual ibadah dan doa untuk meminta perlindungan kepada Allah swt. Ritual ibadah tersebut sangat beragam di setiap daerah, ada shalat Rebo Wekasan, doa bersama, perbanyak sedekah dan lain sebagainya.


Dalam hal kesialan secara umum sebenarnya tidak ada batasan waktu dan daerah. Sebab itu adalah ranah kewenangan Allah swt yang memiliki sifat iradah atau sifat Maha Berkehendak. Allah swt memiliki kebebasan untuk kapan dan di mana menurunkan bala’ sesuai iradah-Nya. 


Dalam persoalan akidah atau keyakinan, ketentuan keberuntungan dan kesialan seseorang sudah ditulis di Lauhul Mahfudz sejak alam semesta belum diciptakan. Oleh sebab itu, perihal kesialan tidak ada kaitannya dengan hari atau momen tertentu. Karena setiap waktu atau hari merupakan hal yang netral, bisa menjadi keberuntungan bagi seseorang dan bisa jadi kesialan untuk orang lainnya.


Abdul Wahab Ahmad pernah membahas di NU Online dalam artikel berjudul Mempercayai Hari Sial Justru Bisa Bikin Sial dengan mengutip keterangan dalam kitab Kasyf al-Khafa juz I halaman 19-20 karya Syaikh As-Suhaili bahwa kenahasan atau kesialan hanya bisa terjadi bagi orang-orang yang meyakini bahwa ia akan mendapatkan kesialan dan bagi orang yang mempercayai tanda-tanda kesialan. Ia juga mengutip pendapat dari Imam Mawardi yang mengatakan bahwa orang yang menjaga diri di hari Rabu dengan alasan thiyarah (menjadikannya sebagai tanda kesialan dan meyakini Akidah ahli nujum termasuk Tindakan yang diharamkan. Mengapa demikian, sebab semua hari adalah milik Allah swt, oleh sebab itu tidak ada celaka dan keberuntungan kecuali atas kehendaknya bukan dari momen atau harinya.


Oleh karena itu, Imam Mawardi memberikan kesimpulan bahwa siapapun seseorang yang meyakini adanya kesialan atau tanda-tanda kesialan, maka ia akan dikepung dengan kesialan tersebut. Sejalan dengan keterangan di atas, Al- Munawi pakar hadits terkemuka juga mengatakan hari sial secara umum tidak ada, melainkan anggapan-anggapan kesialan yang diyakini justru akan menjadi kenyataan. Dengan kata lain, seseorang bisa mendapatkan kesialan dari apa yang ia yakini.


Abdul Wahab Ahmad melihat dari sudut sosial masyarakat, menemukan perbedaan antara masyarakat perkotaan dan pedesaan. Masyarakat kota cenderung normal dalam menjalankan aktivitas kehidupannya, tanpa terpengaruh hari sial. Sementara, di lapisan masyarakat pedesaan yang masih kental dengan kepercayaan kesialan justru banyak  ditemukan testimoni kesialan, akibat meyakini pantangan-pantangan di hari sial.


Pandangan ini sangat masuk akal dan bisa dibenarkan, dari sudut pandang agama saja, Allah swt sudah memberikan peringatan dalam hadits qudsi bahwa Allah swt mengikuti prasangka hamba-Nya. Bisa seseorang memiliki keyakinan bahwa Allah swt akan memberikan kesialan atau hal negatif maka Allah swt boleh jadi akan menuruti fikirannya. Bahkan sebaliknya apabila seseorang memiliki keyakinan akan hal positif, bisa jadi Allah swt juga akan menurutinya.


Dengan demikian, pemahaman soal kesialan sudah semestinya kita kembalikan kepada Allah swt yang berhak memberikan keberuntungan dan kesialan kapan saja dan di mana saja. Sementara melakukan amalan-amalan di Rebo Wekasan alangkah baiknya juga dilaksanakan karena itu merupakan media kita untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah swt. Di samping itu, pola pikir kita sebagai seorang muslim perlu meninggalkan keyakinan akan kesialan.