Keislaman

Meluruskan Mitos Kesialan Bulan Shafar

Rabu, 7 Agustus 2024 | 11:00 WIB

Meluruskan Mitos Kesialan Bulan Shafar

Safar yang memiliki arti sesuai keadaan masyarakat Arab yang selalu sepi pada bulan Safar.

Semarang, NU Online Jateng

Bulan Safar merupakan salah satu bulan Hijriyah yang dianggap memiliki mitos yang sangat kuat. Diantaranya mitos tersebut adalah akan terjadinya musibah dan kesialan yang lebih banyak dibandingkan bulan-bulan lainya. Hal ini sudah menjadi keyakinan yang mengakar kuat di lapisan masyarakat. lantas apakah hal demikian dapat dibenarkan dalam pandangan keagamaan. 


Sunnatullah dalam tulisanya di NU Online yang berjudul Bulan Safar: Latar Belakang Nama dan Mitos Kesialan di Dalamnya yang terbit pada (07/08/2024) mengatakan “bahwa anggapan atau keyakinan tersebut sebenarnaya tidak terlepas dari tradisi orang arab yang memiliki keyakinan bahwa bulan safar merupakan bulan kesialan dan penuh cobaan. Keyakinan yang salah itu akhirnya mengakar dan menyebar kemana-mana bahkan tidak sedikit Masyarakat Indonesia yang mengikutinya” ungkat Pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam tersebut.


Dari tradisi tersebut sebenarnya Rasullalah saw juga sudah memberikan penolakan dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari bahwa tidak ada wabah (yang menyebar dengan sendirinya tanpa kehendak Allah) tidak pula tanda kesialan, tidak (pula) burung (tanda kesialan) dan juga tidak ada (kesialan) pada bulan safar. Menghindarkan dari penyakit judzam sebagaimana engkau menghindar dari singa.


Artinya sebuah zaman atau bulan tidak dapat disimpulkan memiliki banyak kesialan dan kerusakan hanya dengan tradisi atau kebiasaan. Melainkan semua hal yang terjadi baik dan buruk itu adalah kehendak Allah swt. Dari penjelasan tersebut Syekh Abu Bakar Syata ad-Dimyathi (wafat 1302) memberikan titik terang bahwa hadis itu ditujukan untuk menolak keyakinan dan anggapan orang-orang Jahiliyah yang mempercayai setiap sesuatu dapat memberikan pengaruh dengan sendirinya baik kebaikan dan keburukan tanpa melibatkan kehendak Allah swt.


Sejalan dengan penjelasan diatas, Ibnu Rajab memberikan penjelasan bahwa keyakinan seperti keterangan diatas tidak dapat dibenarkan secara agama sebab baik dan buruknya suatu zaman tidak diukur dengan kejadian yang terjadi di dalamnya melainkan dengan amaliah yang dilakukan oleh mukmin yang menyibukkan diri dengan kebaikan.


Lebih lanjut, Sunnatullah dalam memberikan penjelasan “Sebuah zaman tidak diberkahi oleh Allah swt adalah dikarenakan banyaknya kemaksiatan yang dilakukan manusia, begitu juga penyebab suatu zaman bisa diberkahi apabila di dalamnya orang sibuk dengan melakukan ketaatan dengan kebaikan.