• logo nu online
Home Warta Nasional Keislaman Regional Opini Kiai NU Menjawab Dinamika Taushiyah Obituari Fragmen Tokoh Sosok Mitra
Kamis, 25 April 2024

Fragmen

Sepenggal Kisah Perjumpaan Kiai Sahal dan Syekh Yasin di Tanah Suci

Sepenggal Kisah Perjumpaan Kiai Sahal dan Syekh Yasin di Tanah Suci
KH Muhammad Ahmad Sahal Mahfudh (Dok. Istimewa)
KH Muhammad Ahmad Sahal Mahfudh (Dok. Istimewa)

Tujuh tahun yang lalu, sepekan menjelang peringatan Hari Lahir (Harlah) ke-91 Nahdlatul Ulama (NU), warga NU dilanda duka. Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Muhammad Ahmad Sahal Mahfudh wafat pada Jumat, 24 Januari 2014 sekitar pukul 01.05 WIB, di kediamannya, Kompleks Pondok Pesantren Maslakhul Huda, Kajen, Pati, Jawa Tengah.

 

Kabar tersebut tentu menjadi duka yang mendalam, tidak hanya bagi warga NU, tetapi juga bagi bangsa Indonesia. Mbah Sahal, begitu beliau biasa dipanggil para santrinya, saat itu masih menjabat sebagai Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI). Ini menunjukkan bahwa sosok Mbah Sahal memang seorang ulama yang mendapatkan kepercayaan umat serta memiliki kedalaman ilmu dan keluasan wawasan.

 

Pengasuh Pondok Maslakul Huda Pati ini juga dikenal sebagai ulama yang produktif menulis. Karya tulisnya lebih dari 100 judul artikel di berbagai media masa dan sebagian telah dibukukan, di antaranya berjudul Nuansa Fiqih Sosial, Ensiklopedia Ijma. Oleh karenanya wajar apabila Mbah Sahal mendapatkan gelar Doktor Honoris Causa (HC) dalam bidang ilmu fiqih dan pemikiran keislaman dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada 2003.

 

Selain dalam bahasa Indonesia, Mbah Sahal juga menulis dalam bahasa Arab, atau yang di pesantren biasa dikenal dengan istilah kitab kuning. Salah satu karya fenomenal beliau adalah kitab Thariqatul Husul 'ala Ghayatil Wushul Thoriqotul, sebuah kitab yang merupakan penjelasan dari kitab Ghoyatul Wusul. Kitab Ghoyatul Wushul merupakan karya Syekh Abu Zakariya Al-Anshori, salah seorang ulama Syafi’iyyah yang hidup di abad ke-9 Hijriah.

 

Ironisnya, kitab Thoriqotul Husul yang telah menjadi bahan kajian di Universitas Al-Azhar Mesir dan sejumlah perguruan tinggi di Yaman, malah belum banyak dikenal di kalangan pascasarjana perguruan tinggi Islam di Indonesia.

 

Ada kisah menarik di tengah proses ia menulis kitab Thoriqotul Husul ini. Ketika Sahal muda tengah berguru kepada Kiai Zubair di Pesantren Sarang Rembang. Salah satu kitab yang didiskusikan adalah Ghoyatul Wushul karya Syekh Zakariya Al-Anshori. Diskusi berlangsung secara intensif. Kiai Zubair juga senang membuat pancingan. Terjadilah perbincangan dan Kiai Sahal pun rajin membuat ta’liqat (catatan) dalam bahasa Arab.

 

Hobi menulis dilanjutkan dengan mengirimkan surat kepada Syekh Muhammad Yasin Padang, seorang kiai tersohor dari Indonesia yang menjadi ulama besar dan menetap di Tanah Suci. Kiai Sahal mengomentari tulisan Syekh Yasin dalam salah satu kitab, membantahnya dengan argumentasi berdasarkan kitab yang beredar di Jawa. Satu surat berisi sekitar 3-4 lembar berbahasa Arab.

 

Syahdan, ketika turun dari kapal, saat Kiai Sahal menginjakkan kaki di Makkah, seseorang tak dikenal langsung memeluknya dan menariknya ke sebuah warung. Seseorang itu tidak lain adalah Syekh Yasin sendiri. Mungkin dalam surat terakhir Kiai Sahal menuliskan bahwa dirinya akan menunaikan ibadah haji.

 

Kiai Sahal diminta tinggal di rumah Syekh Yasin. Setiap pagi ia bertugas berbelanja ke pasar membeli kebutuhan Syekh Yasin. Setelah itu, Kiai Sahal berkesempatan belajar dengan ulama besar yang diseganinya itu selama sekitar dua bulan. Dalam diskusi dan perdebatan, Syekh Yasin mendudukkan Kiai Sahal seperti teman diskusi.

 

Dua bulan pertemuan, Syekh Yasin mengijazahkan banyak kitab yang menginspirasi Kiai Sahal menulis banyak kitab. Ta’liqot yang ditulisnya saat belajar bersama Syekh Zubair dirapikan kembali. Terkumpul 500-an halaman dan belakangan dibukukan menjadi satu kitab bertajuk Thoriqatul Husul. (Anam, 2013)

 

Fiqih Sosial

Sebagai Rais Aam PBNU, Mbah Sahal memiliki sumbangan tersendiri bagi perkembangan organisasi. Ia meneruskan sumbangan-sumbangan pemikiran dan misi yang telah dibawa oleh para pendahulunya.

 

Seperti yang pernah dipaparkan Abdurrahman Wahid (1991), setiap Rais Aam membawa pemikiran dan misinya. Hadratus Syekh KH Hasyim Asy’ari Rais Akbar membawakan ketinggian derajat kompetensi ilmu keagamaan yang sangat tinggi ke dalam tubuh NU. KH Wahab Hasbullah membawakan kegigihan pluralitas politik yang masih bertahan dalam tatanan politik kita saat ini.

 

Lain lagi dengan KH Bisri Syansuri yang membawakan dua hal yang sebenarnya saling berlawanan; kegigihan membela hukum agama di hadapan proses modernisasi yang sering berbentuk sekuler. KH Ali Maksum, KH Achmad Shiddiq, dan lain sebagainya, masing-masing membawa misi yang konstruktif dan saling memantapkan satu sama lain.

 

Sedangkan pada sosok Kiai Sahal, yang menjadi Rais Aam sejak 1999, memiliki karakter khas pada pengembangan fiqih sosial dan fiqih kontekstual. Masalah muamalat dan sosial menjadi banyak sorotan Mbah Sahal. Pendekatan yang sering dipakainya adalah pendekatan maslahah atau kemaslahatan.

 

Hal ini pernah disampaikan Mbah Sahal seusai menerima gelar HC, ".. Pilihan-pilihan tersebut saya dasarkan pada kenyataan yang menunjukkan, betapa banyak masyarakat yang belum mampu menyentuh gagasan-gagasan yang njelimet dari pakar. Karena itu saya concern , inilah yang membuat saya menetapkan fiqih sebagai pilihan untuk dijadikan jembatan menuju pengembangan masyarakat". (Sahal, 2003)

 

Fiqih dipandangnya tidak saja memberikan hukum halal dan haram secara normatif, tetapi juga jalan keluar (solusi) terhadap permasalahan yang dihadapi. Pendekatan kontekstual ini tentu sangat cocok apabila kita kaitkan dengan zaman sekarang, yang dihadapkan pada segala hal dan permasalahan yang senantiasa mengalami perkembangan dan perubahan. Inilah yang menjadi warisan Mbah Sahal bagi bangsa, sekaligus tantangan bagi Rais Aam PBNU berikutnya. Lahu al-Fatihah.

 

Penulis: Ajie Najmuddin

Editor: M. Ngisom Al-Barony


Fragmen Terbaru