• logo nu online
Home Warta Nasional Keislaman Regional Opini Kiai NU Menjawab Dinamika Taushiyah Obituari Fragmen Tokoh Sosok Mitra
Minggu, 5 Mei 2024

Fragmen

KH Nawawi Berjan dan Inisiasi Pendirian Jam'iyah Ahlit Thariqah Al-Mu'tabarah

KH Nawawi Berjan dan Inisiasi Pendirian Jam'iyah Ahlit Thariqah Al-Mu'tabarah
Almaghfurlah KH Nawawi, Berjan Purworejo, Jateng (Foto: Istimewa)
Almaghfurlah KH Nawawi, Berjan Purworejo, Jateng (Foto: Istimewa)

Jamiyah Ahlit Thariqah al-Mu'tabarah yang kini dikenal dengan nama Jamiyah Ahlit Thariqah al-Mu'tabarah an-Nahdliyyah (Jatman) tidak berdiri begitu saja, namun ada perjuangan panjang dari para ulama besar di balik pendirian organisasi yang sejak tahun 1979 masuk menjadi salah satu organisasi otonom di bawah Nahdlatul Ulama (NU).

 

Salah satu ulama besar yang menginisiasi berdirinya organisasi tersebut, yakni KH Nawawi, Berjan, Purworejo. Dalam buku berjudul 'Mengenal KH Nawawai Berjan, Purworejo' karya Tim PP An-Nawawi diceritakan, inisiasi pendirian Jamiyah Ahlit Thariqah al-Mu'tabarah tak bisa lepas dari peran serta para ulama di Jawa Tengah. 

 

Bahkan, Kongres I Jamiyah Ahlit Thariqah al-Mu'tabarah pada tanggal 12-13 Oktober 1957 juga digelar di wilayah Jawa Tengah, tepatnya di Pesantren Tegalrejo, Magelang.

 

Disebutkan, pemikiran perlunya sebuah organisasi yang menyatukan penganut thariqat, berangkat dari keprihatinan akan banyaknya pertentangan-pertentangan di kalangan para penganutnya sendiri.

 

Sebagian disebabkan karena minimnya ilmu syariat sehingga pemahaman mereka akan thariqat melampaui batas dengan mengikuti nafsunya sendiri, seperti prosesi tawajjuhan yang dilaksanakan antara laki-laki dan perempuan tanpa adanya pembatas serta banyaknya pengakuan menjadi khalifah padahal yang bersangkutan belum mendapat ijin dari syekhnya. Terkadang pengakuan ini bahkan berasal dari seseorang yang sama sekali belum memahami thariqat.

 

Sementara itu, di sisi yang lain para ulama pengamal thariqat justru menyaksikan menjamurnya thariqat yang menyimpang tetapi diorganisir dengan baik. Saat itu, para ulama thariqat di Jawa Tengah termasuk KH Nawawi Berjan dan KH Masruhan Brumbung dalam pertemuanya tanggal 31 Desember 1955 merasa perlu untuk meluruskan dan menyepakati perlunya membentuk jamiyah thariqat yang Sahihah.

 

Untuk memuluskan gagasan atau idenya tersebut, selama sekitar dua tahun lamanya KH Nawawi melakukan silaturahim ke beberapa daerah di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Jawa Barat bersama Kiai Mahfudz Rembang.

 

Sementara perjalanannya ke Kiai Rachmat di Pondok Gadingan Mojokerto pada tahun 1957 Kiai Nawawi didampingi oleh Kiai Abdurrohim Pagedangan. Untuk membedakan thariqat yang mu'tabarah dan yang tidak, dibentuklah Tim Pentasheh Thariqat yang beranggotakan enam orang, di antaranya yakni Kiai Muslih Mranggen dan Kiai Baedlowi Lasem.

 

Selain di Jawa Tengah, keprihatinan yang sama juga dirasakan di Jawa Timur. KH Wahab Hasbullah, salah satu tokoh di balik berdirinya NU sampai pergi ke  Pesantren Buntet, Cirebon tempat berkembangnya thariqat Tijaniyyah dan thariqat Syathariyyah. Sayangnya, kedua thariqat tersebut saling bertentangan dan saling mengkufurkan.

 

"Sama-sama orang NU-nya kok tidak ada kerukunan dan kecocokan," Gumam KH Wahab Hasbullah yang ditirukan oleh KH Musta'in Romli, Mursyid Thariqah Qodiriyyah, Peterongan, Rejoso Jombang.

 

"Alangkah bagusnya, kalau seandainya penganut-penganut thariqat itu disatukan," imbuh Kiai Wahab.

 

Untuk mencari informasi nama-nama thariqat di Indonesia yang muttasil atau yang bersambung kepada Rasulullah SAW dan yang tidak, pengasuh Pesantren Tambakberas tersebut kemudian pergi ke Saudi Arabia guna menemui beberapa syekh yang ada di sana. Kiai Wahab menyebut thariqat yang muttasil dengan sebutan muktabar.

 

Pada tanggal 13 Desember 1955 kiai Nawawi Berjan mengadakan silaturahim ke kediaman KH Masruhan Brumbung. Dalam pertemuan tersebut, dengan berbagai pertimbangan, di antaranya banyak bermunculan aliran thariqat batil, pengakuan sebagai khalifah padahal belum diizinkan oleh mursyidnya, berkembangnya pemahaman bahwa thariqat adalah penyebab kemunduran dan lain sebagainya maka keduanya bersepakat untuk membentuk jamiyah thariqat yang sahihah.

 

Satu tahun berikutnya, tepatnya pada tanggal 12 Desember 1956 sejumlah kiai sepuh NU saat itu, di antaranya KHR Asnawi Kudus, KH Ma'sum Lasem, KH Mandhur Temanggung, KH Juner Yogyakarta, dan KH Abdurrahman Kendal berkumpul dalam acara Haul KH Ibrahim, kakek KH Ihsan Mastur bin Abdurrahman al-Manur Brumbung.

 

Dalam pertemuan itu, kesepakatan untuk menghimpun penganut thariqat mu'tabarah semakin diperluas dan semakin menampakkan sosoknya dalam majelis Haul KH Zarkasyi Berjan, Purworejo pada tanggal 15 Sya'ban 17 Maret 1957 dengan terbentuknya sekretariat sementara untuk pembentukan panitia kongres.

 

Saat itu, panitia kongres belum terbentuk, tetapi rencana penyelenggaraan kongres sudah terdengar oleh KH Romli Tamim Peterongan. Panitia Kongres Thariqat Mu'tabarah I berhasil dibentuk dalam pertemuan konsultasi yang dilaksanakan di rumah bapak Romelan, Semarang pada tanggal 11 Agustus 1957 dengan susunan Pelindung dijabat oleh KH Romli Tamim, Rejoso, Jombang dan Andi Potopoi Bupati Grobogan.

 

Ketua I dijabat oleh KH Nawawi, Berjan Purworejo, Ketua II KH Mundhur, Temanggung, Sekertaris I Mahfudz, Purworejo, Sekretaris II Ma'sum Semarang, Bendahara I Mangku, Magelang, dan Bendahara II dijabat oleh Romelan, Semarang.

 

Dalam struktur panitia kongres tersebut juga disusun pembantu-pembantu, yang terdiri dari KH Khudlori Magelang, Kiai Juned Yogyakarta, Kiai Nawawi Parakan, Kiai Abdurrahman Kendal, Kiai Muslih Mranggen, Kiai Masruhan Brumbung, Kiai Madhan Rois Grobogan, Pak Abdul Wahab Magelang, Mas Sowam Solo, Kiai Ibrahim Semarang, Kiai Usman Mranggen, Kiai Raden Sulaiman Zuhdi, Purworejo, dan Pak Abdullah.

 

Kongres perdana ini menghasilkan presidium kepengurusan dengan anggota yakni KH Mandhur, KH Chudhori Tegalrejo, KH Usman, KH Chafidz Rembang, KH Nawawi, KH Masruhan Brumbung dengan sidang pertama di Rejoso, Jombang.

 

Kongres juga menyepakati tanggal 19/20 Rabiul Awal 1377 atau 10 Oktober 1957 sebagai hari lahir Jamiyah Ahlit Thariqah Al-Mu'tabarah. Pendirian jamiyah ini juga direstui oleh KH Dalhar Watucongol, walaupun saat itu beliau tidak berkenan naik ke panggung.

 

Dalam Kongres Jamiyah Ahlit Thariqah Mu'tabarah I pada tanggal 12-13 Oktober 1957 di Tegalrejo, Magelang itu, dalam kapasitasnya sebagai ketua panitia kongres, KH Nawawi dan Kiai Siraj Payaman yang paling banyak memberikan jawaban setiap muncul pertanyaan dari peserta, termasuk dari Kiai Mahrus Lirboyo.

 

Karena perjuangan yang gigih dalam memprakarsai berdirinya Jamiyah Ahlit Thariqah Mu'tabarah tersebut, KH Masruhan menilai bahwa KH Nawawi, Berjan, Purworejo patut disebut sebagai tokoh pelopor berdirinya jamiyah.

 

Pada tahun 1979, saat berlangsungnya Muktamar NU ke-26 di Semarang, Jamiyah Ahlit Thariqah al-Mu'tabarah kemudian dimasukkan sebagai salah satu organisasi otonom di bawah Nahdlatul Ulama (NU) dan dikukuhkan dengan Surat Keputusan (SK) Syuriah PBNU Nomor 137/Syur.PB/V/1980.

 

Sejak saat itu sampai dengan saat ini, jamiyah ini kemudian dikenal dengan nama Jamiyah Ahlit Thariqah al-Mu'tabarah an-Nahdliyyah (Jatman) dengan jabatan Rais Aam Idarah Aliyah dipegang Habib Muhammad Luthfi bin Yahya dari Kota Pekalongan, Jateng.

 

Kontributor: Syarif
Editor: M Ngisom Al-Barony


Fragmen Terbaru