• logo nu online
Home Warta Nasional Keislaman Regional Opini Kiai NU Menjawab Dinamika Taushiyah Obituari Fragmen Tokoh Sosok Mitra
Senin, 29 April 2024

Fragmen

Solo dan Malang, Dua Kota Bersejarah Saksi Lahirnya IPPNU

Solo dan Malang, Dua Kota Bersejarah Saksi Lahirnya IPPNU
foto para pengurus IPPNU Periode awal, dijadikan sampul buku Konbes I IPPNU di Solo, tahun 1956. (Dok. NU Online Jateng/ Ajie)
foto para pengurus IPPNU Periode awal, dijadikan sampul buku Konbes I IPPNU di Solo, tahun 1956. (Dok. NU Online Jateng/ Ajie)

Kota Solo dan Malang tak bisa dilepaskan dari sejarah awal berdirinya IPPNU. Di Solo, Ada tiga tempat yang menjadi saksi bisu proses lahirnya IPPNU, yakni Nahdlatul Muslimat (NDM), Mambaul Ulum yang kemudian sempat menjadi Sekolah Pendidikan Guru Agama (PGA) Surakarta, dan Masjid Sunniyah yang terletak di Jl. Ronggowarsito Keprabon, Solo. Sedangkan di Malang, arena Kongres ke-I IPNU, menjadi kelanjutan dari proses penggodokan ide dari Solo.

 

Sekitar tahun 1954, di kediaman Nyai Masyhud (ibu dari Ny. Mahmudah Mawardi, ketua umum PP Muslimat NU 1952-1979, dan nenek dari Farida Mawardi, ketua umum PP IPPNU periode 1963-1966) yang terletak di bilangan Keprabon Surakarta, berawal dari perbincangan ringan oleh beberapa remaja putri yang sedang menuntut ilmu di PGA Surakarta.

 

Mereka mencoba merespons keputusan Muktamar NU ke-20 di Surabaya tentang perlunya organisasi pelajar putri. Diskusi-diskusi ringan dilakukan oleh Umroh Machfudzoh, Atikah Murtadlo, Lathifah Hasyim, Romlah, dan Basyiroh Soimuri. Dengan panduan Ketua Fatayat Cabang Surakarta, Nihayah (yang di kemudian hari menjadi istri Rais Aam NU, KH Ahmad Siddiq), mereka berbicara tentang absennya pelajar putri dalam tubuh organisasi NU.

 

Lebih-lebih setelah kelahiran Muslimat NU (29 Maret 1946) yang beranggotakan wanita-wanita paruh baya dan Fatayat NU (24 April 1950) yang anggota-anggotanya banyak didominasi oleh ibu-ibu muda. Pembicaraan itu kemudian berkembang dengan argumentasi Nihayah tentang pentingnya didirikan satu wadah khusus bagi para pelajar putri NU.

 

Apalagi keputusan Muktamar ke-20 NU tahun 1954 menyatakan, bahwa IPNU adalah satu-satunya organisasi pelajar yang secara resmi bernaung di bawah NU dan hanya untuk laki-laki, sedangkan pelajar putri sebaiknya diwadahi secara terpisah. Nihayah juga berdalih bahwa banyak pelajar-pelajar putri dari kalangan NU yang dimanfaatkan oleh ormas-ormas yang kebanyakan berafiliasi kepada partai politik tertentu di luar NU. Semisal Nihayah sendiri, yang bahkan menjabat sebagai Ketua Departemen Keputrian Pelajar Islam Indonesia (PII) yang berafiliasi kepada Partai Masyumi, padahal menjelang Pemilu 1955 NU sudah berpisah menjadi partai sendiri.

 

Obrolan ringan yang biasanya dilakukan seputar waktu senggang setelah sekolah itu akhirnya berkembang menjadi sebuah gagasan kemungkinan pengiriman pelajar putri NU mendampingi pelajar-pelajar putra yang memang pada awal tahun 1955 sedang mempersiapkan Muktamar I IPNU yang akan diadakan di Malang, Jawa Timur.

 

Gagasan ini menjadi semakin matang dengan diusulkannya pembentukan sebuah tim kecil oleh Mustahal Ahmad, ketua PNU cabang Surakarta saat itu, yang juga secara rajin memantau perkembangan gagasan nahdliyyat muda tersebut untuk membuat draf resolusi pendirian IPNU Putri. Seperti yang disampaikan Umroh Mahfudhoh dan dikutip Caswiyono, dkk dalam buku Biografi KH Tolchah Mansoer (2009).

 

“Dulu saya kos di rumah Pak Mustahal Ahmad (putra Kiai Masyhud) Solo. Pada saat itu, Pak Mustahal-lah yang mendukung berdirinya organisasi pelajar putri. Dia selalu menyemangati kami agar mampu secara mandiri mendirikan organisasi,” terang Nyai Umroh.

 

Tim yang diketuai Nihayah dan sekretaris Atikah Murtadlo ini lalu menyusun draf resolusi di kediaman Haji Alwi di daerah Sememen-Kauman-Surakarta dan memutuskan untuk memberitahukan adanya rencana resolusi tersebut kepada PP IPNU yang  berkedudukan di Yogyakarta. Tim juga menetapkan dua orang anggotanya yaitu Umroh Machfudzoh dan Lathifah Hasyim sebagai utusan untuk menemui PP IPNU di Yogyakarta.

 

Malang 1955

Selanjutnya utusan tersebut berangkat ke Yogyakarta dan diterima langsung oleh Ketua Umum PP IPNU, M. Tolchah Mansoer. Dalam pertemuannya, Umroh menyampaikan permintaan tim resolusi IPNU Putri agar PP IPNU dapat menyertakan cabang-cabang yang memiliki pelajar-pelajar putri untuk menjadi peserta/wakil putri pada Kongres I IPNU di Malang. Kemudian disepakati pula dalam pertemuan tersebut bahwa peserta putri yang akan hadir di Malang nantinya dinamakan IPNU Putri.

 

Dalam Kongres di Malang, yang dilaksanakan pada tanggal 28 Februari-5 Maret 1955, ternyata keberadaan IPNU putri masih diperdebatkan secara alot. Rencana semula yang menyatakan bahwa keberadaan IPNU putri secara administratif menjadi departemen dalam organisasi IPNU. Namun, hasil pembicaraan dengan pengurus PP IPNU telah membentuk semacam kesan eksklusivitas IPNU hanya untuk pelajar putra.

 

Melihat hasil tersebut, pada hari kedua kongres, peserta putri yang terdiri dari lima utusan daerah (Yogyakarta, Surakarta, Malang, Jombang dan Kediri) terus melakukan konsultasi dengan jajaran teras Badan Otonom NU yang menangani pembinaan organisasi pelajar yakni PB Ma’arif (KH Syukri Ghozali) dan PP Muslimat (Mahmudah Mawardi).

 

Dari pembicaraan tersebut menghasilkan keputusan yakni IPNU putri secara organisatoris dan secara administratif terpisah dari IPNU. Untuk menjalankan roda organisasi dan upaya pembentukan-pembentukan cabang selanjutnya ditetapkan sebagai ketua yaitu Umroh Mahfudhoh dan sekretaris Syamsiyah Mutholib.

 

Maka, sejak tanggal 2 Maret 1955 M/ 8 Rajab 1374 H, yang kemudian diperingati sebagai hari kelahirannya, organisasi pelajar putri NU itu resmi berdiri. Sedangkan Pengurus Pusat (PP) IPNU putri pada saat itu berkedudukan di Surakarta, Jawa Tengah. Keputusan ini diperkuat pada keputusan Konferensi Besar (Konbes) I yang diselenggarakan di Kota Solo tahun 1956.

 

Setelah kepengurusan Umroh Mahfudhoh, beberapa kader IPPNU dari Surakarta juga masih dipercaya untuk menjadi ketua pengurus pusat. Bahkan, tiga Ketua PP IPPNU setelah Umroh, merupakan jebolan dari Surakarta. Mereka di antaranya Basyiroh Shoimuri yang dipercaya menjadi Ketua Umum PP IPPNU periode kedua dan ketiga (1956-1958 dan 1958-1960), Mahmudah Nahrowi (1960-1963), dan Farida Mawardi (1963-1966).

 

Penulis: Ajie Najmuddin

Editor: M. Ngisom Al-Barony


Fragmen Terbaru