• logo nu online
Home Warta Nasional Keislaman Regional Opini Kiai NU Menjawab Dinamika Taushiyah Obituari Fragmen Tokoh Sosok Mitra
Jumat, 26 April 2024

Fragmen

​​​​​​​Banyurip Jadi Wilayah Sentral NU Pekalongan (Bagian 4)

​​​​​​​Banyurip Jadi Wilayah Sentral NU Pekalongan (Bagian 4)
KH. M. Ilyas, salah satu tokoh NU yang pernah tinggal di Banyurip Pekalongan (dok. istimewa)
KH. M. Ilyas, salah satu tokoh NU yang pernah tinggal di Banyurip Pekalongan (dok. istimewa)

Pada artikel sebelumnya, dijelaskan bahwa NU Cabang Pekalongan resmi berdiri pada tanggal 9 Rabi’ul Awwal 1347 H atau bertepatan dengan 25 Agustus 1928. Perwakilan dari Hoofd Bestuur Nahdlatoel Oelama’ (HBNO/ kini disebut PBNU) KH Abdul Wahab Chasbullah turut menyaksikan proses pendiriannya beserta sejumlah rombongan kiai lainnya.

 

Pada momen itu pula, disusun kepengurusan NU Cabang Pekalongan periode pertama, yang mengamanahkan kepada Kiai Abbas sebagai Rais Syuriah dan Haji Ambari Ismail sebagai Presiden atau ketua Tanfidziah.

 

Baca juga:

Di Bulan Maulud, NU Cabang Pekalongan Didirikan (1)

Kiai Amir bin Idris, Mustasyar Pertama NU Cabang Pekalongan (Bagian 2)

Kiprah Kiai Zuhdi Kergon, Rintis Madrasah hingga Dirikan NU Cabang Pekalongan (Bagian 3)

 

Adapun para kiai Pekalongan yang hadir, bila dilihat dari asal daerahnya, kebanyakan berasal dari kampong atau kelurahan yang kini masuk di wilayah Kota Pekalongan, seperti Kergon, Medelan, Pesindon, Kauman, Pejagalan, dan Banyuurip.

 

Yang menarik adalah penyebutan wilayah Banyuurip (biasa disebut Banyurip), yang secara geografis terletak agak jauh, dibandingkan kampung-kampung lain yang terletak saling berdekatan. Terletak di sebelah Selatan, berbatasan dengan daerah Simbang Kulon, Kecamatan Buaran, Kabupaten Pekalongan, Banyurip justru menjadi sentra pertumbuhan Nahdlatul Ulama (NU) Pekalongan, terutama di masa awal NU berdiri di Kota Batik itu.

 

Ini tentu tak lepas dari keberadaan beberapa ulama yang tinggal di wilayah Banyurip dan sekitarnya (Buaran, Simbangkulon, dan lain-lain). Mulai dari zaman Kiai Amir, hingga berlanjut ke era Kiai Ilyas, Kiai Syafi’i, Kiai Mudzakir Asyhuri, dan seterusnya.

 

Peran penting kehadiran KH Muhammad Ilyas, yang pindah dari Jombang ke Pekalongan sejak tahun 1936, juga menjadi faktor Banyurip menjadi sentra NU di Pekalongan. Kiai Ilyas menikah dengan Zahrah, salah satu putri saudagar batik dari Banyurip, H. Ismail.

 

Rumah keluarga H. Ismail di Banyurip Alit, di kompleks ini pula Kiai Ilyas tinggal (dok. Ajie)

 

Sebelum pindah ke Pekalongan, Kiai Ilyas, bersama dengan KH Abdul Wahid Hasyim, menjadi tokoh penting dalam usaha pembaharuan kurikulum di Pesantren Tebuireng Jombang yang kala itu diasuh Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari. Di usia yang masih tergolong muda, 17 tahun, ia ditunjuk menjadi kepala madrasah Pesantren Tebuireng.

 

Di masa sebelum kemerdekaan, rumah Kiai Ilyas di Banyurip menjadi kantor pengurus Wakil Konsul PBNU untuk wilayah Karesidenan Pekalongan. Sedangkan di Karesidenan lain di Jawa Tengah, seperti Kedu bertempat di rumah Kiai Saifuddin Zuhri di Purworejo, Pati di kediaman Kiai Abdul Jalil Kadjeksan Kudus, Semarang di rumah Kiai Chambali Kauman, Solo di rumah Kiai Djauhar Laweyan, dan Banyumas di rumah Kiai Moechtar Kebondalem Purwokerto.

 

Setelah Kiai Ilyas diangkat menjadi Menteri Agama di tahun 1955-1959, praktis kegiatannya banyak tersita di Jakarta. Di masa ini, kiprah Kiai Ilyas di Banyurip dilanjutkan oleh generasi penerusnya seperti Kiai Mudzakir Asyhuri, dan terus berlanjut hingga generasi di masa kini. Hingga kini, Banyurip masih menjadi salah satu basis NU di wilayah Pekalongan, yang ditandai dengan banyaknya pesantren, lembaga pendidikan, serta kegiatan organisasi NU dan Banomnya di wilayah tersebut.

 

Penulis: Ajie Najmuddin
Editor: M. Ngisom Al-Barony


Fragmen Terbaru