• logo nu online
Home Warta Nasional Keislaman Regional Opini Kiai NU Menjawab Dinamika Taushiyah Obituari Fragmen Tokoh Sosok Mitra
Kamis, 2 Mei 2024

Fragmen

HARLAH KE-95 NU

Jejaring Pesantren sebagai Embrio NU

Jejaring Pesantren sebagai Embrio NU
Para pendiri NU (foto ilustrasi)
Para pendiri NU (foto ilustrasi)

Kiai dan pesantren merupakan elemen yang sangat penting dalam sejarah perjalanan bangsa dan negara ini. Diakui atau tidak, pesantren merupakan lembaga pendidikan tertua yang memiliki andil besar, dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan negara, serta pengembangan dan penyebaran agama Islam. Termasuk bagi NU sendiri, kiai dan pesantren menjadi pusat embrio lahirnya NU.

 

Hubungan pesantren dengan NU dilukiskan oleh KH A Mustofa Bisri (Gus Mus) bahwa "NU itu adalah pesantren besar, sedangkan pesantren adalah NU kecil." Artinya, pesantren dan NU merupakan satu kesatuan yang tak bisa dipisahkan, baik dalam perspektif ideologis, psikologis, historis, kultur, maupun pemikiran dan gerakan keagamaan, kemasyarakatan, kebangsaan dan kemanusiaan.

 

Secara ideologis, mereka diikat oleh kesamaan paham islam Aswaja yang berhaluan mazhab. Secara psikologis, para pengurus dan anggota NU memiliki hubungan emosional yang sangat dekat. Mereka pada umumnya, masih memiliki hubungan kerabat, atau setidaknya hubungan guru dan murid, atau kiai dan santri. Figur kiai, santri dan pesantren inilah yang menjadi embrio dari keseluruhan proses perkembangan NU. bahkan, dapat dikatakan, embrio ini sudah ada bahkan jauh sebelum organisasi ini didirikan.

 

Sebagai gambaran, Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari yang merupakan pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng, merupakan santri Syaikhona Kholil Bangkalan serta Kiai Soleh Darat Semarang. Semasa di Makkah, ia juga pernah belajar kepada Syekh Ahmad Khatib Minangkabau, Syekh Nawawi Al-Bantani, dan Syekh Mahfudz At-Tarmasi.

 

Ketiga ulama yang berasal dari Nusantara tersebut merupakan guru besar terkemuka di Makkah. Dari mata rantai itulah, Kiai Hasyim Asy’ari kemudian juga menjalin hubungan dengan KH Wahab Hasbullah, KH R. As’ad Syamsul Arifin, KH. R. Asnawi, KH Ridwan Semarang, KH Ridwan Abdullah dan para kiai lain yang kemudian menjadi tokoh penting di awal berdirinya NU.

 

Abdul Gaffar Karim menegaskan keeratan NU dengan pesantren selaras dengan tujuannya yang hendak melestarikan ajaran Ahlussunnah wal Jamaah, yang tercermin dari diajarkannya kitab-kitab klasik (kitab kuning). Pesantren sendiri mempunyai perkembangan yang cukup unik. Antara satu pesantren dengan pesantren-pesantren lain pada umumnya terdapat suatu jaringan hubungan genealogis yang rumit dan kokoh. 

 

Jaringan ini tidak muncul dengan sendirinya. Ia lebih merupakan buah dari suatu upaya yang direncanakan secara matang dalam upaya melestarikan tradisi pesantren yang dilakukan dengan membangun solidaritas dan kerjasama sekuat-kuatnya antara sesama kiai.

 

Cara praktis yang ditempuh untuk itu antara lain adalah dengan mengembangkan suatu jaringan perkawinan endogamous di antara keluarga kiai: kaitan pesantren satu sama lainnya diperkuat oleh hubungan kekerabatan serta dipererat dengan kaitan perkawinan antara putra-putri kiai satu dengan lainnya. Eratnya hubungan antar pesantren yang diikat oleh tali kekerabatan ini, yang tentu saja ditopang oleh soko guru ikatan tali akidah, menjadikan pesantren sangat potensial sebagai basis gerakan politik. Inilah akar NU!

 

Penulis: Ajie Najmuddin

Editor: M. Ngisom Al-Barony


Fragmen Terbaru