• logo nu online
Home Warta Nasional Keislaman Regional Opini Kiai NU Menjawab Dinamika Taushiyah Obituari Fragmen Tokoh Sosok Mitra
Senin, 29 April 2024

Fragmen

Dedikasi Kiai Maimoen kepada Ilmu

Dedikasi Kiai Maimoen kepada Ilmu
KH Maimoen Zubair saat mengisi pengajian di halaman kantor PCNU Kota Surakarta (Dok. istimewa/ Timlo)
KH Maimoen Zubair saat mengisi pengajian di halaman kantor PCNU Kota Surakarta (Dok. istimewa/ Timlo)

Masih belum lekang dari ingatan, pertengahan Juli 2019 lalu, penulis berkesempatan untuk mewawancarai KH Maimoen (baca: Maimun) Zubair, yang kala itu hadir sebagai penceramah dalam acara yang diselenggarakan Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kota Surakarta. Mbah Moen, begitu sapaan akrabnya, menjawab satu demi satu pertanyaan yang penulis ajukan. Sekitar tujuh menit kami berbincang, akhirnya terhenti karena Mbah Moen mesti naik ke panggung untuk memberikan taushiyah.

 

Dalam ceramahnya kala itu, Mbah Moen banyak berpesan tentang bagaimana mensyukuri nikmat kemerdekaan yang telah diperjuangkan para pahlawan bangsa. Juga pesan agar senantiasa menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. Begitulah, ulama berusia 91 tahun tersebut, hampir di setiap kesempatan ketika ia berceramah di depan umum, menyampaikan tentang fakta-fakta penting pada sejarah perjuangan bangsa dan pentingnya menjaga persatuan.

 

Hal ini tentu sangat penting, karena kehadirannya sebagai ulama kharismatik menjadi sosok pemersatu umat, dan bukan sebaliknya.  Wejangan untuk menjaga NKRI dari Mbah Moen ini sekaligus menjadi pegangan ampuh, khususnya bagi umat Islam, untuk membendung kelompok yang ingin mengganti asas dan dasar Negara Indonesia dengan kedok agama.

 

Dalam kesempatan lain yang penulis ikuti, Mbah Moen menegaskan akan tiga bentuk persatuan (ukhuwah), sebagaimana juga yang pernah disampaikan Rais Am Syuriah NU (1984-1991) KH Ahmad Shiddiq,. Pertama, ukhuwah Islamiyah (persaudaraan sesama Muslim), kemudian ukhuwah wathaniyah (persaudaraan sesama bangsa [Indonesia]), dan ketiga, ukhuwah basyariyah (persaudaraan kemanusiaan-universal). Inilah resep penting dari para ulama untuk menjaga persatuan bangsa, karena di atas seluruh kesetiaan pada agama dan negara, ada nilai tertinggi yang harus tetap dijaga: kemanusiaan.

 

Hubungan persaudaraan yang dilandaskan dari kemanusiaan ini merupakan kunci dari semua persaudaraan, terlepas dari status agama, suku bangsa atau pun skat geografis, karena nilai utama dari persaudaraan ini adalah kemanusiaan. Hal ini mengingatkan kembali pada Sahabat Ali bin Abi Thalib yang mengatakan bahwa “dia yang bukan saudaramu dalam iman adalah saudara dalam kemanusiaan.” Artinya, bahwa kemanusiaan adalah nilai tertinggi dalam posisinya sebagai manusia.

 

Dedikasi Keilmuan
Wejangan akan persatuan bangsa tersebut, barangkali juga tertanam sejak lahir. Mbah Moen dilahirkan di Sarang Rembang Jawa tengah, bertepatan dengan peristiwa Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928. Sebuah momen yang menjadi persatuan masyarakat Indonesia untuk tidak terpecah-pecah karena perbedaan. Namun, hal tersebut tentu tidak sekedar kebetulan, namun tentu juga didukung dari latar belakang pendidikan yang ia terima.

 

Mbah Moen merupakan putra Kiai Zubair, Sarang, seorang alim dan faqih. Ayahnya merupakan murid dari Syaikh Saíd al-Yamani serta Syaikh Hasan al-Yamani al-Makky. Selepas mengaji dari ayahnya, ia meneruskan pendidikan mengajinya di Pesantren Lirboyo, Kediri, di bawah bimbingan Kiai Abdul Karim, Kiai Mahrus Ali, dan Kiai Marzuki. Mbah Moen kemudian belajar di Makkah pada usia 21 tahun. Di Makkah, mbah Moen mengaji kepada Sayyid Alawi bin Abbas al-Maliki, Syekh al-Imam Hasan al-Masysyath, Sayyid Amin al-Quthbi, Syekh Yasin Isa al-Fadani, Syekh Abdul Qodir al-Mandaly dan beberapa ulama lainnya.
 

 

Kiai Maimoen, semasa muda juga mengaji ke beberapa ulama di Jawa. Beberapa di antaranya kepada Kiai Baidhowi, Kiai Ma'shum Lasem, Kiai Bisri Musthofa (Rembang), Kiai Wahab Chasbullah, Kiai Muslih Mranggen (Demak), Kiai Abdullah Abbas Buntet (Cirebon), Syekh Abul Fadhol Senori (Tuban), dan beberapa kiai lain. Selepas ia nyantri di berbagai tempat, Maimoen muda mengabdikan diri untuk mengajar di Sarang, Rembang, tanah kelahirannya.

 

Pada tahun 1965, Mbah Moen kemudian istiqamah mengembangkan Pesantren al-Anwar Sarang. Pesantren ini hingga saat ini, masih menjadi rujukan santri untuk belajar kitab kuning dan mempelajari turats secara komprehensif. Setiap tahun, pesantren ini menerima dan meluluskan ribuan santri, yang kemudian juga menyebar ke seluruh pelosok Tanah Air.

 

Bila diamati dari proses hidupnya sebagaimana yang sudah dipaparkan di atas, hampir seluruh hidupnya ia dedikasikan untuk belajar dan mengajar. Kiai Maimoen juga menulis beberapa karya kitab, di antaranya kitab berjudul al-ulama al-mujaddidun, yakni, sebuah kitab yang memaparkan sejarah serta khazanah keilmuan berbagai tokoh ulama khususnya yang berhubungan dengan proses dan dinamika pembaharuan hukum Islam, mulai dari zaman sahabat hingga ulama yang hidup pada masa tahun 14 Hijriah. Kitab tersebut ditulis dalam bahasa Arab.

 

Hingga akhir hayatnya, 6 Agustus 2019 di Makkah Arab Saudi, Mbah Maimoen dikabarkan masih sempat menerima beberapa tamu, yang biasanya dalam prosesi tersebut Mbah Moen menyelipkan beberapa wejangan-wejangan untuk senantiasa dapat memberikan manfaat dan kebaikan kepada sesama, bahkan sekecil apapun yang bisa kita perbuat. Pernah suatu ketika penulis mendengarkan salah satu ceramah Mbah Moen tentang hal ini, yang antara lain masih penulis ingat:

 

Jika engkau menjumpai batu kecil di jalan yang bisa menggangu jalannya kaum muslimin, maka singkirkanlah, barangkali itu menjadi penyebab dimudahkannya jalanmu menuju surga. Jika engkau bukanlah seorang yang mengusai banyak ilmu agama, maka ajarkanlah alif ba' ta' kepada anak-anakmu, setidaknya itu menjadi amal jariyah untukmu yang tak akan terputus pahalanya meski engkau berada di alam kuburmu. Jika engkau tidak bisa berbuat kebaikan sama sekali, maka tahanlah tangan dan lisanmu dari menyakiti, setidaknya itu menjadi sedekah untuk dirimu,”

 

Semoga kita bisa meneladani kebaikan Mbah Moen. Khususon ila Simbah Kiai Maimoen Zubair. Lahu al fatihah.

 

Penulis: Ajie Najmuddin

Editor: M. Ngisom Al-Barony


Fragmen Terbaru