Dinamika

Dosen UIN Gus Dur: Jangan Jadikan Hukum sebagai Instrumen Kekuasaan 

Jumat, 13 September 2024 | 08:00 WIB

Dosen UIN Gus Dur: Jangan Jadikan Hukum sebagai Instrumen Kekuasaan 

Seminar Hukum di UIN Gus Dur Pekalongan (Foto: istimewa)

Pekalongan, NU Online Jateng

Demokrasi hancur-hancuran karena hukum menjadi instrumen kekuasaan. Demikian ringkasan pokok dalam Seminar Hukum bertajuk ”Menakar Pelaksanaan Demokrasi di Indonesia: Berdiri Tegak atau Terdiam Gagap?,” yang diselenggarakan Himpunan Mahasiswa Program Studi (HMPS) Hukum Tata Negara, bertempat di Ruang Meeting, Lantai 4 Fakultas Syariah UIN K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan, Kamis (12/9/2024). 


Wakil Rektor Bidang Akademik dan Kelembagaan UIN Gus Dur Prof Maghfur yang pada kesempatan tersebut sebagai narasumber menyebut bahwa demokrasi merupakan tema yang menarik untuk dibahas. Akan tetapi, menurutnya ada sedikit hal yang menjadikan tema acara tersebut menjadi kurang menarik.


”Jangan Menakar Pelaksanaan Demokrasi lagi, tetapi Membangkitkan kembali mayat demokrasi dari kuburnya,” ujar Prof Maghfur sambil kelakar. 


Usulan Prof Maghfur bukan tanpa dasar, ia merujuk pada hasil-hasil riset di berbagai negara. Sambil merujuk How Democracies Die (2018), besutan Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt, ilmuwan politik dari Harvard University, Maghfur menyarankan agar mahasiswa berani membuat tesis ’Matinya Demokrasi’ agar ruh-ruh demokrasi dihidupkan kembali. 


”Sejauh ini, demokrasi masih sistem yang terbaik, meskipun harus diakui mengalami pasang surut,” imbuhnya. 


Lebih dari itu, Prof Maghfur menilai demokrasi di Indonesia saat ini sedang babak belur. Ia menegaskan bahwa pilar-pilar demokrasi, yang seharusnya menjadi penopang sistem pemerintahan, justru goyah karena hukum yang telah berubah menjadi instrumen kekuasaan. 


”Hukum tidak lagi menjadi alat keadilan, melainkan alat politik yang digunakan oleh penguasa untuk mempertahankan kekuasaannya. Ketika ini terjadi, maka kita tidak bisa berharap demokrasi berjalan dengan baik,” ujarnya.


Mestinya, lanjut Prof Maghfur, Rule of law harus menjadi panglima demokrasi. Ia juga menyebutkan bahwa Komisi Pemilihan Umum (KPU), yang seharusnya menjadi infrastruktur demokrasi, malah berubah menjadi ’pembunuh demokrasi.’


Menurutnya, masih ditemukan KPU tidak independen dan sering kali menjadi alat politik tertentu dalam proses pemilu, baik pilpres, pileg, maupun pilkada. Selain itu, Prof Maghfur menyoroti peran partai politik yang menurutnya telah kehilangan fungsi idealnya.


“Partai politik, yang seharusnya menjadi kanal aspirasi rakyat, kini dikelola seperti perusahaan pribadi atau keluarga. Tidak ada upaya serius untuk mereformasi diri dan mengembalikan kepercayaan publik,” katanya. 


Kritik tajam ini, lanjut Prof Maghfur, menggambarkan betapa pentingnya reformasi partai politik untuk mengembalikan demokrasi yang sehat dan partisipatif di Indonesia. Tanpa reformasi, menurutnya partai politik akan terus menjadi sarang oligarki dan nepotisme yang merusak esensi demokrasi.


Prof Maghfur juga berharap, target seminar, mestinya tidak hanya menggugah kesadaran peserta mengenai betapa gentingnya situasi demokrasi di Indonesia, melainkan mampu memunculkan  solusi untuk membangun demokrasi yang lebih subtansial dan berkelanjutan. 


Acara dihadiri oleh Dr. H. Akhmad Jalaludin, M.A.,  Dekan Fasya dan sejumlah narasumber ahli dan terkemuka, di antaranya Senator DPD MPRI RI Dr. H. Abdul Kholik, S.H., M.Si., Abi Rizal, mantan Ketua KPU Kabupaten, dan Dr. Ahmad Muchsin, S.H.I., M. Hum., dosen hukum tata negara. Diskusi ini mengangkat isu-isu krusial terkait kelangsungan demokrasi yang semakin terancam.


Kontributor: Gus Huda, Khairul Anwar