• logo nu online
Home Warta Nasional Keislaman Regional Opini Kiai NU Menjawab Dinamika Taushiyah Obituari Fragmen Tokoh Sosok Mitra
Rabu, 24 April 2024

Tokoh

Mengenal Sayyid Awwadh bin Hasan Syamsuddin

Mengenal Sayyid Awwadh bin Hasan Syamsuddin
Makam Sayyid Awwadh di Sugihwaras, Pemalang (Foto: Dok)
Makam Sayyid Awwadh di Sugihwaras, Pemalang (Foto: Dok)

Sayyid Awwadh merupakan putra dari Syekh Maulana Hasan Syamsuddin yang wafat pada tahun 1199 H/1778 M dan dimkamkan di pesisir Tanjungsari Sugihwaras Pemalang. Nama Sayyid Awwadh juga sama dengan nama kakeknya yakni Sayyid Awwad Bin Hasan Bin Imam Idrus bin Yahya. Dari beberapa sumber Sayyid Awwadh dilahirkan pada sekitar tahun 1133-an hijriah atau 1720-an masehi dan wafat pada sekitar tahun 1212 H/ 1797 M  dimakamkan di Dusun Genuk, Kelurahan Tegalsari, Candisari, Kota Semarang. 


Sayyid Awwadh merupakan menantu dari Sayyid Syarif Bustaman Abdullah bin Husain Bin Abdurrahman Bin Yahya Baalawy atau Kanjeng Kiai Ketoboso (Suhardi Menggolo 1) yang pernah menjabat Bupati di Semarang. Sayyid Awwadh bin Hasan Syamsuddin memiliki empat anak laki-laki yakni Hasan, Husain, Muhammad, dan Abullah Al-Faqih. Sayyid Husain bin Awwadh merupakan menantu dari Jayeng Rono II. Bupati wiroto atau sekarang berubah menjadi Wiradeso Sayyid Mohammad bin Qasim yang memerintah Kabupaten Wiroto pada tahun (1772 -1795 M). Pada tahun 1807 Kabupaten Wiroto dihapus kolonial Belanda dan masuk dalam wilayah Kabupaten Pekalongan.


Pernikahan Sayyid Husain bin Awwadh dengan Raden Ayu Putri Jayeng Rono II (Putri Bupati Wiroto, Sayyid Muhammad bin Qasim memiliki lima anak laki-laki dan dua anak perempuan. Kelima anak laki-laki tersebut adalah Sayyid Alwi Syarif Bustaman, Sayyid Muhammad, Sayyid Ali, Sayyid Shaleh (Raden Saleh) dan Sayyid Awwadh. Kesemuanya merupakan para ulama, kesatria, pejuang, dan bangsawan Jawa. Sayyid Alwi Syarif Bustaman yang terkenal dengan sebutan nama Ki Agung Purworejo wafat di Purworejo dan dimakamkan di Desa Tedung, Pucang, Bener Purworejo. Sayyid Awwadh Syarif Bustaman dan Sayyid Ali Murtadho Wafat di Desa Ngaliyan, Wadas Lintang, Wonosobo dan dimakamkan di sana. Sementara Sayyid Shaleh Syarif Bustaman (Raden Saleh), Pelukis terkenal Indonesia, Wafat di Jakarta dan dimakamkan di Bogor pada Tahun 1880 M.

 
Sementara kedua anak perempuan tersebut adalah Sayyidah Ruqayyah istri dari Sayyid Abdurrahman bin Abdullah Al-Habsyi, Cikene atau ayah dari Habib Aly Al Habsyi Kwitang Jakarta. Dan Sayyidah Fatimah yang dikenal dengan nama Mbah Randu makamnya berada di Randu Dongkal Pemalang. Sayyid Awwadh bin Husain bin Awwadh bin Hasan Syamsuddin atau Cicit Syaikh Maulana Syamsuddin mempunyai dua orang anak, yaitu Al-Imam Alamah yang sangat Masyhur dengan kewaliaanya terkenal dengan sebutan nama Kiai Agung Semarang, Syarif Bustaman Sayyid Alwi bin Awwadh dan Wali min Auliya Sayyidul Al Allamah Syarif  Hasan bin Awwadh. 


Jejak Pengembaraan Cari Ilmu


Sayyid Awwad sejak kecil didik langsung oleh ayahnya yakni Syekh Hasan Syamsuddin. Hasil keterangan dari beberapa sumber saat menjelang remaja pernah diajak oleh ayahnya untuk berguru pada Syekh Jumadil Kubro. Selain itu juga pernah berguru pada Mufti Jawa Fi Zamanihi Habib Muhaammad Qodhi bin Thoha bin Muhammad bin Syekh bin Ahmad bin Imam Yahya Baalawy. Tokoh kelahiran Innat, Tarim, Yaman pada tahun 1078 H/1657 M yang tak lain merupakan kakek Habib Hasan bin Thoha Kramat Jati Semarang, atau yang dikenal dengan nama Raden Tumenggung Sumodinggrat, Wedono lebet kerajaan dan menantu Hamengku Buwono 2 (w 1818 M). Habib Muhammad Qodhi wafat pada tahun 1167 H dan dimakamkan di Terboyo Semarang.  


Setelah Sayyid Awwadh bin Hasan Syamsuddin menuntut ilmu kepada ayahnya kemudian pergi ke Yaman untuk belajar kepada para ulama di tanah kelahirannya yaitu Tarim. Setelah itu melanjutkan pengembaraanya ke Haramain hingga sampai ke India guna menimba ilmu ke beberapa ulama khususnya dari kalangan para Sadah Alawiyyin sendiri dan lainnya. Iniah yang memebuat Sayyid Awwadh sangat tabahhur (mendalami hingga dalam dan luas bagai lautan tak bertepi) dan mutaffanin (menguasai) dalam berbagai ilmu. 


Sepulang dari Tarim, Sayyid Awwadh langsung menuju ke Jawa untuk menyusul ayahnya di Semarang. Dari Semarang kemudian menuju ke Wiradesa, Kabupaten Pekalongan. Setelah ayahnya wafat di Pemalang dirinya melanjutkan perjuangan ayahnya menuju ke Lasem, Rembang. Sempat tinggal di Lasem beberapa tahun dan membangun beberapa majelis ilmu atau pesantren di daerah Bonang, Lasem. Dirinyau juga sempat pernah diangkat sebagi bdan akhirnya tinggal di Semarang dan diambil menantu oleh Sayyid Syarif Bustaman Abdullah bin Husain bin Abdurrahman bin Yahya Baalawy atau Kanjeng Kyai Ketoboso (Suhardi Menggolo 1).


Sayyid Husain Bin Abdurrahman Bin Yahya Baalawy atau yang lebih dikenal dengan sebutan Kiai Agung Djangki Wongsonoyo adalah sosok ulama yang mensyiarkan Islam dan thariqah shalafush shalihin di Jepara menantu dari Sayyid Umar atau yang lebih dikenal Pangeran Syarif Umar bin Abdurrahman bin ahmad Bin Yahya. Dari hasil pernikahannya dengan putri Pangeran Syarif Umar yang bernama Raden Ayu Syarifah lahirlah seorang putra yang bernama Sayyid Syarif Bustaman Kertoboso.


Kiprah Perjuangan Dakwah dan Mengusir Penjajah


Syayyid Awwadh adalah seorang ulama yang wawasan ilmunya sangat luas dan dalam, khususnya dalam ilmu Tafsir Al-Qur'an, hadits, fiqih atau syariat juga dalam ilmu Taswwuf. Di samping itu juga seorang ekonom, ahli pertanian, serta negarawan yang ahli strategi.


Karena pengetahuannya yang luas dari berbagai ilmu pengetahuan, maka Sayyid Awwadh kemudian diangkat oleh mertuanya menjadi guru besar dan tokoh agama. Perjuangan Sayyid Awwadh dalam menyebarkan agama Islam dan thariqah shalafush shalihin memiliki konsep dan pandangan sendiri yaitu bahwa dalam menentang penjajah tidak cukup dengan perlawanan fisik semata. Karena penjajah bukan sekadar menjajah bangsa ini secara fisik namun juga non fisik. Seperti penjajahan intelektual dengan membatasi putra-putri anak bangsa dan menuntut ilmu. 


Para penjajah lebih suka generasi pemuda anak bangsa berada dalam kebodohan. Karena dengan begitu mereka akan lebih mudah dan leluasa untuk menguasai berbagai lini kehidupan, khususnya perekonomian dan pertanian. Rempah-rempah beserta hasil bumi yang lainnya dari jerih payah rakyat dan anak bangsa dengan seenaknya mereka beli dengan harga yang snagat murah jauh dari standar atau bahkan tidak segan-segan mereka merampasnya. Sementara rakyat dan anak bangsa justru membeli dari mereka dengan harga yang mencekik. 


Pada masa Belanda sistem pendidikan didasarkan pada golongan penduduk menurut keturunan atau kelas sosial. Bebrapa sekolah yang didirikan pemerintah kolonial tidak bertuajuan memakmurkan rakyat, namun hanya untuk kepentingan pemrintah kolonial yakni mencetak tenaga kerja yang nantinya dipekerjakan oleh pemerintah seperti mandor pekerbunan, tenaga medis, tenaga pengajar, dan lain-lain. Namun pada kenyataanya, tidak sedikit dari kaum pribumi yang disekolahkan oleh pemerintah belanda, justru berbalik arah menentang kaum penjajah. Banyak di antara mereka yang diberi beasiswa untuk belajar di Hindia Belanda hingga ke perguruan ttinggi, yang dibangun oleh Spanyol dan Inggris, justru setelah mereka pulang ke negaranya mejadi penrntang penjajah yang sangat gigih. Sebagi contoh Raden Sugoro Syarif Sholeh Bin Husain bin Yahya dan Ayahya Syarif Husain bin Yahya. Keduanya sangat gigih dan semangat dalam melakukan perlawanan terhadap Belanda tetapi selalu gagal dan mendapatkan perlawanan tidak heran jika penjajah terus berusaha untuk menagkapnya, tetapi selalu gagal dan mendapatkan perlawanan yang sengit. Peristiwa ini terjadi setelah wafatnya Sayyid Awwadh bin Sayyid Hasan Syamsuddin. 


Sayyid Awwadh tampaknya telah membaca apa yang dilakukan oleh Belanda. Oleh karena itu dalam mengahadapi penjajah dirinya menggunakan strategi dan pola perjuangan sebagai berikut: 

  1. Pengalaman agama yang berpegang kuat pada Salafunash Shalihin 
  2. Membangkitkan serta membangun kecintaan kepada para shalihin, cinta kepada leluhur bangsa, dan cinta kepada tanah  air. 
  3. Membangun saran pnedidikan yang mmenitik beratkan kepada pendidiikan pesantren dan membangun ekonomi yang  terfokus pada ekonomi ppettanian, agar rakyat tidak mudah dipermainkan oleh Belanda.


Pengirim: Hafidh Yahya 


Tokoh Terbaru