Tokoh

Kisah Hidup KH Muhammad Abdus Syakur: Pelopor Dakwah di Karangbrai Bodeh, Pemalang"

Jumat, 27 September 2024 | 09:00 WIB

Kisah Hidup KH Muhammad Abdus Syakur: Pelopor Dakwah di Karangbrai Bodeh, Pemalang"

KH. Muhammad Abdus Syakur (Foto: Istimewa)

Pemalang adalah sebuah kabupaten di Jawa Tengah yang terletak di sepanjang jalur Pantura, yang menjadikannya salah satu pusat perdagangan dan pendidikan penting di kawasan tersebut. Kabupaten Pemalang memiliki kekayaan budaya yang khas dan unik dibandingkan dengan keragaman budaya Jawa lainnya, yang dikenal sebagai budaya Pemalang. Kekhasan ini tercermin dalam dialek bahasa, seni, serta karakteristik sosial masyarakatnya.

 
Wilayah Pemalang memiliki bentang alam yang beragam, mulai dari dataran rendah hingga dataran tinggi, pegunungan, lembah, serta aliran sungai-sungai yang mendukung sistem irigasi tradisional. Kondisi geografis ini memastikan kesuburan tanah yang sangat baik, mencerminkan istilah "gemah ripah loh jinawi" yang berarti tanah yang subur dan makmur.


Wilayah tenggara Pemalang, khususnya Kecamatan Bodeh, Desa Karangbrai, dulunya terlihat biasa saja dan tidak memiliki keistimewaan. Namun, keadaan berubah ketika sejumlah ulama atau wali dari wilayah Kesesi datang dan menyebarkan dakwah di sana. Tokoh-tokoh tersebut antara lain Mbah Ki Ageng Cempaluk, Ki Ageng Nuruzzaman, Mbah Mahalli dan Mbah Mohammad Ashral (Mbah Wali Gendhon) dari Kesesi. Kehadiran mereka membuat perkembangan nuansa Islam di Karangbrai semakin pesat, menjadikannya sebagai desa yang dikenal sebagai pusat kegiatan keagamaan Islam (kampung santri) di Kecamatan Bodeh, serta melahirkan banyak pemimpin dan tokoh ulama hingga saat ini.

 
Salah satu ulama terkemuka dari Karangbrai adalah KH. Muhammad Abdus Syakur bin KH. Zainal Abidin, seorang Mursyid Thoriqoh Qodiriyah Naqsyabandiyah di Kabupaten Pemalang, Jawa Tengah, yang juga pernah menjabat sebagai Rois Syuriah NU Kabupaten Pemalang.


KH. Muhammad Abdus Syakur bin KH. Zainal Abidin telah berdakwah di Kabupaten Pemalang bersama para ulama setempat melalui organisasi Nahdlatul Ulama (NU) selama bertahun-tahun, sehingga namanya sudah sangat dikenal oleh masyarakat Pemalang. Beliau lahir di Desa Karangbrai, Kecamatan Bodeh, Kabupaten Pemalang, pada 4 Juli 1942 (bertepatan dengan 19 Jumadil Akhir 1361 H) dari seorang ibu bernama Muniroh binti Dawud.

 
KH. Abdus Syakur mulai menyebarkan ajaran Thariqah Qadiriyah Naqsyabandiyah pada usia 35 tahun, sesuai dengan amanah gurunya, Syaikh Al Hajj Ahmad Muthohar bin Syekh Abdur Rohman dari Mranggen, Demak, sekitar tahun 1397 H/1977 M. Setelah bertahun-tahun berjuang, pada tahun 1404 H/1984 M, beliau berhasil mendirikan sebuah pondok pesantren bernama “Al Ma'hadul Islami As Salafi”. Keberhasilan ini merupakan bukti nyata dedikasinya dalam menyebarkan ajaran Islam, di mana para santrinya tidak hanya datang dari wilayah sekitar, tetapi juga dari berbagai daerah lain.Setelah beliau wafat pondok pesantren tersebut diamanahkan kepada putra tunggalnya yaitu KH. Hammam Haris. KH. Muhammad Abdus Syakur bin KH. Zainal Abidin wafat pada usia sekitar 64 tahun pada hari selasa tanggal 25 Rabiul Akhir 1427 H./ 23 Mei 2006 M.


Silsilah dan Pendidikan


Pada tanggal 4 Juli 1942 (19 Jumadil Akhir 1361 H), di Desa Karangbrai, Kecamatan Bodeh, Pemalang, lahir seorang bayi mungil yang kemudian diberi nama Abdus Syakur bin KH. Zainal Abidin. Kelahiran ini terjadi pada hari Sabtu Manis, dan bayi tersebut kelak tumbuh menjadi seorang tokoh kharismatik yang dihormati oleh semua kalangan. KH. Abdus Syakur merupakan keturunan Mbah Mahalli, yang silsilahnya dapat ditelusuri hingga ke Maulana Ishaq, seperti tercatat dalam "kitab silsilah pribadinya."
 

Sejak kecil, KH. Muhammad Abdus Syakur bin KH. Zainal Abidin mendapatkan pendidikan dan pengasuhan langsung dari kedua orang tuanya. Setelah mempelajari Al-Qur'an dari ayahnya, beliau kemudian diperintahkan untuk melanjutkan pendidikannya kepada K.H. Masqom bin Kiai Ahmad bin Kiai Abdullah Bulqin, pengasuh Pondok Pesantren Luhur Dondong Mangkang, selama lima tahun. Ketika berusia 18 tahun, KH. Muhammad Abdus Syakur melanjutkan pendidikannya di Pondok Pesantren Salafiyah Banyuurip, Pekalongan, yang diasuh oleh KH. Zainal Abidin bin KH. Dimyati.
 

Di sana ia mempelajari berbagai disiplin ilmu agama, seperti Tafsir, Ulumul Qur’an, Hadits, Fiqih, Tasawuf dan lain-lain. Pada tahun 1968. Selama berada di Pondok Pesantren Banyuurip, Kiai Abdus Syakur bin Zainal Abidin menjalani berbagai tirakat. Salah satu tirakat yang dilakukan adalah tidak makan nasi selama tiga tahun serta sering menjalani puasa. Selama masa itu, beliau pernah hanya makan pisang atau cabai, dan bahkan bertahun-tahun tidak pulang ke rumah.

 
Setelah menuntut ilmu selama kurang lebih 15 tahun, KH. Muhammad Abdus Syakur akhirnya kembali ke kampung halamannya. Namun, beliau tidak langsung pulang ke desanya, melainkan singgah di beberapa tempat terlebih dahulu. Saat mendekati kampung halaman, beliau hanya sampai di area makam Karangbrai sebelum akhirnya memutuskan untuk masuk ke Desa Karangbrai. Setelah kembali, KH. Muhammad Abdus Syakur sepenuhnya mengabdikan diri merawat ibunya yang sudah lanjut usia.


Guru-Guru dan Sanad Thoriqah


KH. Abdus Syakur bin KH. Zainal Abidin memiliki banyak guru yang membimbingnya, baik saat menimba ilmu di pesantren maupun setelah menyelesaikan pendidikan pesantren. Di antara guru-gurunya adalah K.H. Masqom bin Kiai Ahmad bin Kiai Abdullah Bulqin, pengasuh Pondok Pesantren Luhur Dondong; K.H. Zainal Abidin bin K.H. Dimyati; K.H. Ahmad Muthohar bin Abdurrahman bin Qoshidil Haq dari Mranggen; K.H. Bisri Mustofa dari Rembang; dan K.H. Mudzakir dari Simbang Kulon.

 
Sanad Thariqah Qodiriyah Naqsyabandiyah yang dimilikinya diperoleh secara langsung dari K.H. Ahmad Muthohar bin Abdurrahman bin Qoshidil Haq dari Mranggen, yang bersambung hingga kepada Abu Al Faidh’ Alam Ad Diin Muhammad Yasin bin Isa Al Fadani.


KH. Muhammad Abdus Syakur bin KH. Zainal Abidin dikenal sebagai ulama yang sangat istiqamah dalam menjalankan ibadah. Para santri menjadi saksi atas ketekunannya dalam beribadah. Sepanjang hidupnya, kecuali saat kondisi kesehatan tidak memungkinkan, beliau selalu melaksanakan sholat wajib secara berjamaah bersama para santrinya. Salah satu teladan yang dapat diambil dari KH. Muhammad Abdus Syakur adalah keteguhan hatinya dalam beribadah. Meskipun menderita penyakit liver yang melemahkan tubuhnya, beliau tetap berusaha berjalan dari rumah ke masjid dengan penuh semangat, bahkan masih menyempatkan diri untuk membangunkan santri yang tertidur di masjid atau sekadar mengingatkan mereka tentang waktu sholat berjamaah.


Selain menjadi imam besar di Masjid Jami Sabilurrohman Karangbrai, KH. Muhammad Abdus Syakur bin KH. Zainal Abidin juga aktif mengajar kitab-kitab salaf setiap harinya. Sepanjang hidupnya, beliau dikenal sebagai ulama yang sangat mendalami kitab-kitab salaf dan sering membahas berbagai disiplin ilmu, seperti nahwu dan shorof (tata bahasa), aqidah (ketauhidan), akhlak (budi pekerti), fiqih (hukum Islam), tafsir, hingga ilmu mawaris (pembagian warisan).


Perjuangan dan Kepribadian


Pada masa-masa sulit di era G 30 S PKI, KH. Muhammad Abdus Syakur bin KH. Zainal Abidin tetap gigih dalam berdakwah. Karena aktivitasnya tersebut, ia menjadi salah satu target yang diincar oleh organisasi terlarang itu. Namun, alih-alih mundur, beliau justru bergabung dengan laskar-laskar pemuda Islam dan berani berada di garis depan untuk melawan serta membantu menumpas gerakan G 30 S PKI.


Sepanjang hidupnya, KH. Abdus Syakur bin KH. Zainal Abidin dikenal memiliki tingkatan amalan riyadhoh yang sangat tinggi. Beliau secara rutin mengamalkan wirid-wirid utama, seperti membaca Al-Qur’an, Hizib, ilmu Hikmah, ilmu Thibbiyah, serta memperbanyak bacaan shalawat. Shalawat yang paling sering beliau amalkan adalah Sholawat Kanjeng Syekh Abdul Qodir al Jailani, yang seringkali di ijazahkan kepada para tamu dan murid-muridnya. Selain itu, beliau juga mengamalkan shalawat-shalawat lain, seperti Shalawat Al-Fatih, Al-Anwar, dan sebagainya.
Beliau juga dikenal sebagai ulama yang mempunyai kepribadian yang sabar, zuhud, tawadhu dan sifat-sifat kemuliaan yang menunjukan ketinggian dari akhlak yang melekat pada diri beliau. Sehingga amat wajarlah bila masyarakat Pemalang dan sekitarnya sangat mencintai dan menghormatinya.


KH. Muhammad Abdus Syakur bin KH. Zainal Abidin adalah sosok yang sangat sederhana, santun, dan ramah kepada siapa saja. Beliau sangat menyukai silaturrahim melalui pengajian dan berbagai forum lainnya. KH. Muhammad Abdus Syakur juga dikenal memiliki hubungan yang baik dengan para ulama dan habaib, bahkan dianggap sebagai guru oleh mereka, seperti KH Sya’ban (Pemalang), Habib Ali Al Habsyi, KH. Abdul Aziz Syahmari, KH. Farihin, dan lainnya.

 
Di antara ulama yang sering berkunjung ke kediaman beliau adalah Habib Ali Al Habsyi (Pemalang), KH. Farihin (Karangtengah), dan KH. Abdul Aziz (Karang Tengah), yang rutin mengkaji kitab-kitab seperti Manba’u Usulil Hikmah, Al Adzkar karya Nawawi, dan Syarah Alfiyah Ibnu Malik oleh Ibnu Aqil. Selain menularkan ilmunya kepada santri-santrinya yang kemudian menjadi ulama dan pemimpin umat, Syekh Abdus Syakur juga memiliki santri dari berbagai kalangan.
 

Pada hari Kamis, 25 Rabiul Akhir 1427 H (23 Mei 2006), sekitar pukul 09.00 WIB, KH. Abdus Syakur bin KH. Zainal Abidin meminta izin kepada istrinya untuk melakukan khalwat di kamarnya. Tiga puluh menit kemudian, salah seorang santrinya mengetuk pintu, tetapi tidak ada jawaban. Setelah pintu dibuka, santri tersebut mendapati sang mursyid berbaring dengan posisi kepala menghadap barat dan kaki menghadap timur, dalam keadaan tidak bernafas. KH. Muhammad Abdus Syakur bin KH. Zainal Abidin kemudian dimakamkan pada hari Selasa, setelah shalat dhuhur, di makam Karangbrai.

 

Sumber Tulisan: Kiai Hamam Haris Bin KH. Abdussyakur bin Zainal Abidin