Keislaman

Tafsir Surat Al-Muzammil Ayat 10: Etika Berdakwah dan Menghindari Masyarakat Toxic

Ahad, 1 September 2024 | 17:00 WIB

Semarang, NU Online Jateng

Berdakwah merupakan proses penyampaian ajaran-ajaran Islam kepada masyarakat agar mereka dapat memahami, mengamalkan, dan menyebarkan nilai-nilai kebaikan. Pola dalam berdakwah sangat beragam, setiap da’i memiliki gaya masing-masing. Namun pada dasarnya, nilai-nilai yang disampaikan harus sesuai dengan ajaran yang diajarkan oleh Rasulullah saw.


Dakwah memiliki peran penting dalam membentuk karakter moral dan spiritual masyarakat. Oleh karena itu, sangat penting bagi seorang da’i untuk memiliki kecakapan dalam bermasyarakat. Hal tersebut agar penyampaian yang berkaitan dengan nilai-nilai dapat diterima dengan baik.


Dengan demikian, bermasyarakat menjadi kunci utama dalam mengenali pola pikir masyarakat. Karena dengan bermasyarakat, seorang da’i bisa terlibat dengan seseorang, kelompok, atau komunitas dalam kehidupan sosial sehingga dapat berpartisipasi dalam membentuk kolektivitas dan keharmonisan.


Etika Menghindari Masyarakat Toxic


Dengan pendekatan yang tepat, dakwah di masyarakat dapat menjadi sarana yang efektif untuk menyebarkan nilai-nilai kebaikan, menciptakan perubahan positif, dan membangun masyarakat yang lebih baik dari segi spiritual, moral, dan sosial.


Namun, kenyataan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat kerap kali berbeda dengan teori. Seperti adanya masyarakat yang kurang terbuka dan tidak menyambut baik ajakan pendakwah. Dalam hal ini, Rasulullah saw pernah mengalami hal demikian, sehingga Allah swt menurunkan wahyu Al-Quran dalam surat Al-Muzammil ayat 10:


وَاصْبِرْ عَلٰى مَا يَقُوْلُوْنَ وَاهْجُرْهُمْ هَجْرًا جَمِيْلًا


Artinya: “Bersabarlah (Nabi Muhammad) terhadap apa yang mereka katakan dan tinggalkanlah mereka dengan cara yang baik”.


Wahyu ini merupakan jawaban Allah swt agar Nabi Muhammad saw memiliki dua pilihan pertama kesabaran yang besar dalam menghadapi masyarakat, kedua boleh meninggalkan tapi dengan cara yang baik. Ibnu Katsir dalam tafsirnya menerangkan:


يَقُولُ تَعَالَى آمِرًا رَسُولَهُ ﷺ بِالصَّبْرِ عَلَى مَا يَقُولُهُ مَنْ كَذَّبَهُ مِنْ سُفَهَاءِ قَوْمِهِ، وَأَنْ يَهْجُرَهُمْ هَجْرًا جَمِيلًا وَهُوَ الَّذِي لَا عِتَابَ مَعَهُ. ثُمَّ قَالَ لَهُ مُتَوَعِّدًا لِكَفَّارِ قَوْمِهِ وَمُتَهَدِّدًا -وَهُوَ الْعَظِيمُ الَّذِي لَا يَقُومُ لِغَضَبِهِ شَيْءٌ


Artinya: “Allah memerintahkan Nabi-Nya untuk bersabar terhadap apa yang dikatakan oleh orang-orang yang kafir dari kaumnya yang bodoh, dan meninggalkan mereka dengan baik, yaitu meninggalkan yang tidak ada celaan. Kemudian Allah berfirman kepadanya, sambil mengancam orang-orang kafir dari kaumnya, dan Dialah Yang Maha Besar yang kemurkaan-Nya tidak dapat dibendung”.


Imam Fakhruddin Ar-Razi dalam tafsirnya Mafatihul Ghaib menjelaskan hal yang sejalan. Sebagai seorang manusia memiliki pilihan untuk berbaur dengan masyarakat atau tidak bermasyarakat. Kedua pilihan tersebut memiliki resiko masing-masing, apabila memilih untuk bermasyarakat ia harus memiliki kesabaran yang besar, dan apabila memilih untuk meninggalkan bermasyarakat maka harus dengan cara yang baik.


واعْلَمْ أنَّ مُهِمّاتِ العِبادِ مَحْصُورَةٌ في أمْرَيْنِ: كَيْفِيَّةِ مُعامَلَتِهِمْ مَعَ اللَّهِ، وكَيْفِيَّةِ مُعامَلَتِهِمْ مَعَ الخَلْقِ. والأوَّلُ أهَمُّ مِنَ الثّانِي، فَلَمّا ذَكَرَ تَعالى في أوَّلِ هَذِهِ السُّورَةِ ما يَتَعَلَّقُ بِالقِسْمِ الأوَّلِ أتْبَعَهُ بِما يَتَعَلَّقُ بِالقِسْمِ الثّانِي، ؛ وذَلِكَ لِأنَّ الإنْسانَ إمّا أنْ يَكُونَ مُخالِطًا لِلنّاسِ أوْ مُجانِبًا عَنْهم. فَإنْ خالَطَهم فَلا بُدَّ لَهُ مِنَ المُصابَرَةِ عَلى إيذائِهِمْ وإيحاشِهِمْ، فَإنَّهُ إنْ كانَ يَطْمَعُ مِنهم في الخَيْرِ والرّاحَةِ لَمْ يَجِدْ فَيَقَعَ في الغُمُومِ والأحْزانِ، فَثَبَتَ أنَّ مَن أرادَ مُخالَطَةً مَعَ الخَلْقِ فَلا بُدَّ لَهُ مِنَ الصَّبْرِ الكَثِيرِ، فَأمّا إنْ تَرَكَ المُخالَطَةَ فَذاكَ هو الهَجْرُ الجَمِيلُ،


Artinya: “Ketahuilah, ada dua hal yang penting bagi seorang, Bagaimana mereka berhubungan dengan Tuhan, dan bagaimana mereka berhubungan dengan sesama makhluk. Yang pertama lebih penting dari yang kedua. Hal ini karena manusia berbaur dengan manusia lainya atau mengasingkan diri dari mereka. Jika dia bergaul dengan mereka, dia harus menanggung gangguan dan kejengkelan mereka, karena jika dia mengharapkan kebaikan dan kenyamanan dari mereka, dia tidak menemukannya dan jatuh ke dalam kesedihan, dengan demikian membuktikan bahwa siapapun yang ingin bergaul dengan orang lain harus memiliki kesabaran yang banyak. Sedangkan apabila memilih untuk tidak bermasyarakat maka harus meninggalkan berbaur dengan sikap yang baik”.


Dengan demikian, perihal dakwah di masyarakat harus memiliki jiwa yang besar dan kematangan yang dalam. Bekal tersebut menjadi pintu agar apa yang akan disampaikan bisa diterima dengan baik. Kemudian, apabila tidak dapat diindahkan maka sangat baik untuk meninggalkan dengan cara yang baik pula.


Menyesuaikan Metode Dakwah dengan Kondisi Masyarakat


Setiap masyarakat memiliki karakteristik yang berbeda, baik dari segi budaya, ekonomi, maupun pendidikan. Pendakwah perlu memahami kondisi tersebut agar metode dakwah yang digunakan dapat diterima. Misalnya, di masyarakat pedesaan, pendekatan personal dan langsung bisa lebih efektif dibandingkan dengan pendekatan digital. Setidaknya ada lima hal yang perlu dibangun dalam berdakwah untuk menemukan titik temu dengan masyarakat:


1. Memberi teladan yang baik (uswatun hasanah)

Dakwah tidak hanya dilakukan melalui kata-kata, tetapi juga melalui tindakan. Pendakwah harus menjadi contoh atau teladan yang baik dalam akhlak dan perilaku sehari-hari. Dengan melihat perilaku pendakwah yang mulia, masyarakat akan lebih mudah menerima ajaran yang disampaikan.


2. Mengedepankan sikap sabar dan bijaksana

Ketika berdakwah, penting untuk bersikap sabar dan bijaksana, terutama ketika menghadapi masyarakat yang mungkin belum siap menerima ajaran atau menunjukkan penolakan. Dakwah yang penuh dengan kesabaran akan lebih efektif dan dapat menghindarkan konflik.


3. Membangun dialog dan toleransi

Dakwah juga harus mempromosikan dialog antar umat beragama serta memperkuat nilai-nilai toleransi. Ini penting agar dakwah tidak memicu perpecahan atau konflik, terutama di masyarakat yang multikultural dan multireligius.


4. Fokus pada perbaikan akhlak

Dakwah di masyarakat sebaiknya fokus pada pembinaan akhlak dan moral, mengajarkan nilai-nilai kebaikan, kejujuran, kerja keras, dan kebersihan hati. Ini akan membantu membangun masyarakat yang damai, harmonis, dan beradab.


5. Menghindari sikap memaksakan

Dakwah sebaiknya dilakukan dengan cara yang santun dan tidak memaksakan. Ajaran Islam mengedepankan kebebasan beragama, sehingga pendekatan yang memaksa hanya akan menimbulkan pertentangan.